webnovel

1010

'Kau membiarkan tangan seorang gadis pendek gemetaran? Apa kau pria? Kau tidak punya hati!'

Tian memalingkan wajahnya membaca baris pertama dari bab 2 di majalah itu. Sepertinya ini sudah jadi kebiasaan. Apa dia bahkan perlu membacanya seperti ini?

"Jangan bercanda! Kenapa aku membaca ini?!" Tian marah-marah sendiri dan melemparkan majalah itu hingga menabrak dinding samping dekat kasurnya.

"Ada-ada saja."

Tian mengambil ponsel di meja, men-scrool media sosialnya, berusaha mengalihkan pikirannya. Namun ia tidak bisa kabur, dirinya mencari alasan untuk menguburnya dan terjebak di dalam ingatan saat di kafe itu.

Tian memang melihat tangan kecil Maya gemetaran saat memunguti pecahan kaca yang tajam. Hingga akhirnya ia memilih untuk menarik lengannya dan marah karena gadis itu ceroboh, pecahan runcing itu akan melukainya. Tangan kecilnya yang ia genggam itu gemetaran. Maya sangat panik namun berusaha menahannya. Tian tidak tega melihatnya direndahakan seperti itu, hingga yang ia luapkan malah kemarahan.

"Aku menarik tangannya agar tidak terluka, tapi kenapa aku memarahinya? Aaaargghhh kenapa aku melakukannya pada gadis yang tengah dirundung di tempat umum? Kenapa aku menunggunya di luar hingga tengah malam? Sebenarnya kenapa? Kenapa aku melakukannya?"

Tian hanya rebahan menggunakan tangannya sebagai tumpuan kepala, sedang bantalnya ia gunakan untuk menutupi wajahnya yang hampir mirip kepiting rebus. Di atas kasurnya dia dengan meninju-ninju selimutnya hingga lecek. Dia sendiri bingung dan tidak pernah bersikap seperti itu kepada gadis yang tidak dia sukai sebelumnya. Tapi saat dicarinya alasan melakukannya kemarin, tidak ia temukan jawaban.

Tiba-tiba ia duduk dan menghela napas panjang. Tian menemukan alasan melakukannya.

"Aku melakukannya karena dia tetanggaku. Ya benar, kita kan tetangga, jadi aku harus menolongnya. Kita bertemu setiap pagi dan menyapa, kita juga senior junior di klub olahraga, jadi aku merasa harus membantunya. Ya! Pasti itu alasannya!" Tian menghela napas lega. "Akhirnya aku menemukan alasan yang logis."

Paginya Tian menunggu sampai Maya keluar dari kamarnya terlebih dahulu. Ia mendekatkan telinganya ke pintu, beberapa menit kemudian dirinya baru keluar setelah suara pintu kamar Maya tertutup. Tian meraih majalah laknat itu dari raknya segera. Dengan agak tergesa dibukanya pintu namun naas. Ia menabrak Maya yang ternyata berdiri di depan pintu kamarnya. Majalah itu terjatuh. Keduanya saling melihat satu sama lain kemudian mata mereka tertuju pada majalah yang tergeletak di bawah.

Maya membelalakkan mata.

"Senior…kau…membaca buku itu?"

"Anu….itu begini…."

Maya mengambilnya dengan menahan rasa penasarannya, karena sampul majalahnya adalah seorang gadis imut. Ia kemudian memberikannya pada Senior Tian sembari menatap lama buku itu.

"Maaf ya, Senior. Aku tidak sengaja mengagetkanmu. Ini bukumu." Maya memberikan majalah itu pada Tian. Ia berusaha menjaga ekspresinya karena saking terkejutnya.

Tian segera mengambilnya dan memasukkannya ke dalam tas.

"Kau mau pergi ke kampus?" Tian berusaha mengganti topik, mengalihkan pembicaraan.

"Iya. Kau juga?"

"Em. Mau barengan?"

"Anu Senior begini, sebenarnya aku merasa tidak nyaman di dekatmu."

Degh. Tian tersentak mendengarnya.

"Kenapa?"

"Bukan salahmu kok. Aku cuma…" Maya menunduk, ia memainkan jarinya. "Kau tidak perlu bersikap baik padaku seperti kemarin jika tidak mau. Aku tahu kau seniorku di klub, kita juga tinggal bersebelahan. Meskipun fisikku tidak sebagus yang lain, kau tidak perlu mengasihaniku sampai seperti kemarin. Tapi tentu saja aku bersyukur kau peduli pada juniormu, aku juga sedikit merasa bersalah karena menganggapmu menyebalkan, sikpamu yang dingin dan kaku membuat adik tingkat yang lain takut padamu. Kau pasti tidak menyadarinya? Maafkan aku ya, Senior karena mengatakan ini. Aku juga berterima kasih." Maya mengangguk sopan dan membalikkan badan. Ia melangkah meninggalkan Tian yang masih diam mematung.

"Ulangi lagi."

Maya berhenti. Sesaat matanya melebar. Ia khawatir senior marah.

"Ulangi lagi kata-katamu."

Maya menoleh. Tian berjalan mendekatinya.

"Coba jelaskan. Bagian mana aku yang terlihat mengasihanimu? Mengolokmu saat pertama kali masuk klub? Membelamu dari Alex saat mengolokmu di hari orientasi? menyelamatkanmu dari pria aneh di dekat minimarket? membantumu saat hampir jatuh dari tangga." Tian agak kesal. Ia mendekat selangkah lagi ke Maya. "Jelaskan, May. Bagian yang mana aku mengasihanimu?"

"S..senior…"

"Aku memang tipe yang dingin, dan aku tahu kau memang pendek. Terus kenapa? Apa itu masalah besar? Apa hal itu cukup untuk membuatku mengasihanimu? Sadarlah, May, kau terlalu cepat menyimpulkan karakterku. Aku hanya tidak paham kenapa kau tidak nyaman di dekatku."

"Itu bukan masalah besar untumu, tapi ini penting untukku! Aku merasa buruk, merasa sangat buruk kemarin. Kita belum lama kenal, tiba-tiba kita tinggal bersebelahan dan kau melihat diriku yang menyedihkan kemarin. Asal kau tahu…" Maya berkaca-kaca. "Pria yang bersama Ella kemarin adalah mantanku. Dia tidak akan berhenti merundungku begitu saja. Bagaimana aku bisa menghadapi Senior seterusnya jika kita setiap hari bertemu di depan pintu kamar begini?! Kalau bukan menyedihkan apa lagi? Kau akan terus mengasihaniku mulai sekarang, ah tidak, sepertinya kau terlihat sangat ingin membantuku sejak kejadian di hari orientasi. Karena aku tidak cukup kuat menahannya sendirian, aku jadi menyedihkan di mata siapapun. Bagaimana mungkin kau tidak mengasihaniku?"

"Lalu kau sendiri? Apa kau mengasihani dirimu sendiri? Kalau begitu teruskan, jangan bawa-bawa aku. Aku adalah pria yang benci basa-basi. Aku tidak mau membantu orang lain yang tidak mau aku bantu. Jadi berhentilah kepedean. Sebeneranya siapa yang mengasihani siapa? Cih!"

Tiba-tiba pintu samping sebelah kanan Maya terbuka. Kamar unit nomor 1010. Seorang pria menguap lebar dan terkejut mendapati dua orang yang tak asing tengah berbicara dengan serius di depan pintu kamarnya.

Maya dan Tian sontak menoleh. Ketiga orang yang berada di situasi aneh itu terkunci pada keadaan. Maya tanpa sadar meneriakkan namanya.

"Kak Oska?!"

***

Ella tengah duduk santai sembari menyilangkan kakinya di lobi kampus dengan sebotol americano dingin. Sesekali ia tersenyum sembari enonton video Tik Tok di ponselnya. Dari jauh Tian berjalan mendekatinya.

"Ella," panggilnya.

Ella segera memperbaiki duduknya dan menjaga sikap.

"Kau pacaran dengan pria yang bersamamu kemarin, kan?"

"Oh itu…" Ella melirik ke samping, ia tidak berani menatap Tian.

"Dia anak jurusan mana, semester berapa?"

"Dia seangkatan denganku. Anak jurusan komunikasi."

"Oke. Makasih." Tian melenggang pergi setelah menerima informasi itu. Namun Ella menghentikannya.

"Anu kak Tian, tentang kemarin aku menyesal tidak mengatakan yang sebenarnya di kafe."

"Apa?"

"Bukan maksduku membuat Maya terlihat bersalah."

"Aku kan tidak mengatakan apapun."

"Eh?" Ella menutup mulutnya. Benar juga yang dikatakannya. Tian smaa sekali tak menyinggung masalah itu. Ia merasa bodoh.

"Jadi kemarin kau benar-benar berbohong?" tanya Tian

"Aku minta maaf, Kak."

"Kau minta maaf denganku? Kenapa?"

Ella paham arah pembicaran Tian. Senior secara tidak langusung menyuruhnya untuk minta maaf pada Maya, bukannya dia. Ella tak bisa mengelak apapun. Ia terdiam, mulutnya tertutup rapat.

"Oh ya Ella, aku mau minta izin."

"Eh? Izin apa?"

"Izin untuk meninju wajahmu pacarmu yang menyebalkan itu."

Tian menekankan tiap kata yang ia ucapkan. Ella hanya bisa menganga.

"Aku janji akan memukulnya sekali dengan menyakitkan. Akan kupastikan dia tidak bisa mengunyah selama seminggu. Jadi…kau siap-siaplah di sisinya 24 jam untuk merawat pacarmu itu."