webnovel

Fons Cafe #2

Tatsuya Maruyama is a success lawyer. Alexander Kougami is genius physic teacher. Carlos Takamasa is the womanizer scriptwriter. Leonardo Shibasaki is the cold hand oncology surgeon. David Kajima is the funniest comedian of the year. Kris Aikawa is the funky business man. They all have the same problem about woman. --- Berteman sejak masa sekolah, menjadikan mereka berenam selalu paham satu sama lain, dan hingga pada akhirnya satu per satu di antara mereka pun memutuskan untuk mulai melangkah dan mencari pasangan hidupnya. Setelah Tatsuya, Alex dan Carlos menemukan tulang rusuk mereka. Mungkin kisah ini sudah selesai bagi mereka bertiga. Namun, tidak demikian bagi Leo, David dan Kris! Apakah Leo, David dan Kris mendapatkan kesempatan mereka juga untuk bahagia?

Abigail_Prasetyo · Teenager
Zu wenig Bewertungen
46 Chs

Episode 56

"Eugene ada di rumah sakit sekarang," kata Lita setelah menutup telepon rumah. "Barusan yang menelepon adalah Kak Leo. Dia bilang kita tidak perlu memikirkan Eugene. Karena Eugene di rumah sakit sekarang.

"Eugene kenapa?" Tanya Bibi Linda.

"Kak Eugene... harus di operasi katanya, untuk pengangkatan tumor di otaknya."

"Tumor otak?" Seru Bibi.

"Bohong!" Balas Reza, "Eugene sehat dan dia tidak mungkin terkena penyakit seseram itu!"

"Aku hanya menyampaikan apa yang dikatakan Kak Leo saja."

"Apapun itu, lebih baik kita berdoa saja untuk Eugene sekarang," putus Bibi Linda untuk menengahi, "Semoga Eugene akan baik-baik saja. Dia wanita yang sangat baik. Terlalu baik malah untuk Leo."

"Ya, aku juga berpikir begitu saat melihat Eugene pertama kali, Bi," tambah Davies, "Eugene benar-benar perempuan yang sangat baik."

-----

Pagi natal Leo di sambut dengan tumpukkan status pasiennya. Bukannya ucapan hangat selamat natal.

Winna dan Eltha tidak mengambil cuti, karena mereka memang di jadwalkan untuk tetap di rumah sakit. Winna menitipkan anaknya kepada orangtuanya di luar kota selama dia harus bekerja di waktu--yang seharusnya--libur ini.

"Kau sudah memulai jadwal konsul?" Tanya Eltha yang asal masuk begitu saja saat Leo sedang membuka status pasien pertamanya. "Rumah sakit libur hari ini Le. Dan seharusnya kau juga tidak mengecek status itu. Mana mungkin ada pasien yang mau berkonsultasi di hari libur seperti ini?"

Leo tersenyum miris, ia pun menutup status pasiennya yang sedang di lihatnya. "Aku tidak tahu kalau kau sekarang peduli juga pada orang di sekitarmu, Tha."

"Jangan geer! Aku hanya mengatakan yang sebenarnya," balas Eltha, "Karena hari ini libur, aku tidak bisa mengoperasi siapapun, karena tidak ada pasien yang harus di operasi!"

"Kau ke departemen bedah umum saja. Kalau tidak salah ada tiga pasien yang harus operasi usus buntu hari ini. Siapa tahu kau bisa mengoperasi salah satu diantaranya," jawab Leo asal.

"Itu terlalu mudah. Kau tahu? Operasi yang hanya memotong usus buntu, lalu menutup bekas operasinya lagi. Itu terlalu mudah. Aku ingin sesuatu yang menantang!" Seru Eltha, sambil mengambil tempat duduk di sebelah Leo.

"Operasi itu bukan main-main, Tha! Kenapa kau ringan sekali saat mengatakannya?"

"Karena aku lebih senang untuk membongkar habis-habisan orang, mencari dimana titik tumor berada, bahkan menyebar sampai bagian mana, lalu merekonstruksinya ulang," jelas Eltha, "Kau tahu? Seperti Tuhan, dengan versi lowest downgrade. Itu sebabnya aku senang menjalani pekerjaanku sebagai bedah tumor. Kau sendiri?"

Leo tersenyum. "Aku tidak suka melihat orang sakit. Manusia memang lemah, begitu pula aku. Tujuanku adalah melindungi keluargaku setidaknya dari penyakit yang sangat menyeramkan seperti kanker." Eltha mendengarkannya dengan tenang, sambil membayangkan perasaan Leo. Well, untuk kali ini dan hanya kali inilah Eltha memikirkan perasaan orang lain. "Tapi apa yang ku dapat? Dua anggota keluargaku sudah terkena penyakit sialan itu! Aku merasa benar-benar tidak berguna."

"Kalau di pikir-pikir, tidak sepenuhnya adalah salahmu. Oke, mungkin kau memang bersalah untuk Ayahmu, karena kau anaknya, tapi kau tidak memerhatikannya dari awal," kata Eltha, "Jelas-jelas kanker tidak memiliki gejala awal yang mencolok. Sekali kau melihat gejalanya, pasti sudah masuk stadium III atau IV. Dan itu yang terjadi pada Ayahmu kan?"

Leo mengangguk.

"Kau boleh salahkan dirimu sepuasmu. Tapi untuk Eugene, jangan salahkan dirimu sendiri. Karena dia sudah sakit, bahkan dari sebelum menikah--ah, bukan, sebelum bertemu denganmu," jelas Eltha.

Pikiran Leo langsung terbuka. Dia kira Eltha baru tahu penyakit Eugene saat Dokter Fritz mengajukan cuti natal-tahun baru, makanya Eltha harus merawat Eugene. Tapi, mendengar penjelasan Eltha barusan, membuat Leo sadar.

"Tunggu sebentar. Sudah sejak kapan kau tahu penyakit Eugene, Tha?" Tanya Leo dengan suara rendah.

Eltha mau mengelak, tapi tak ada gunanya juga, "Sejak dia di bawa kemari sekitar satu atau dua bulan lalu."

Leo menarik napas dalam-dalam. "Lalu kenapa kau tidak mengoperasinya saja? Pasti kau bisakan? Dan bukankah tanganmu itu selalu gatal ingin mengoperasi orang lain?"

Eltha mendengus kesal. Leo memang selalu berada di bawahnya dalam akademik, dia selalu menjadi nomor dua. Tapi dalam urusan perasaan, harus Eltha akui bahwa sebenarnya Leo jauh lebih baik darinya. Eltha tidak pernah mau mendengarkan keluh kesah pasiennya, dan hanya straight to the point. Dan hal lain yang mendukung adalah kenyataan kalau Leo sudah menikah lebih dulu dari Eltha.

Tapi sepertinya perasaan dan otak tidak akan pernah sejalan untuk seorang dokter Shibasaki.

"Hei, aku tidak pernah menolak jika istrimu itu mau di operasi olehku. Malah aku senang sekali. Tapi, untuk apa dia di operasi olehku saat memiliki seorang suami yang berprofesi sebagai dokter yang sama persis denganku?!"

Leo masih bingung.

"Maksudku adalah, ayolah, kau bujuk dia untuk di operasi. Setidaknya kau bisa menyelamatkan hidupnya. Buatlah dirimu menjadi sesuatu yang berguna juga untuk keluargamu, Bodoh!"

Leo pun akhirnya mengerti. Mungkin selama ini Leo selalu egois dengan bekerja giat, dan pulang malam. Tanpa memerhatikan istrinya itu.

Ponsel Eltha berbunyi, "Halo Win? Operasi usus buntu? Aku tidak mau!"

"Tapi tidak ada dokter lain lagi, Tha! Ini hari libur. Dan dokter bedah umum juga tidak mau melakukannya kalau bukan dijadwalnya!"

"Siapkan semuanya. Dan kau sebagai anestesinya. Mengerti?" Eltha menutup ponselnya, lalu beranjak dari kursinya duduk. "Temui istrimu. Aku yakin dia sudah sadar."

Leo akhirnya tersenyum, dan mengangguk.

Eltha membuka pintu ruang kerja Leo dan melangkah keluar. Sebelum menutup pintunya, Eltha teringat satu hal, "Ah! Aku hampir lupa. Selamat natal, Dokter Leo!" Kata Eltha sambil tersenyum dengan rentetan gigi rapihnya lalu menutup pintu itu.

-----

2304

Kamar itu berisi Eugene yang sudah sadar sejak jam 12 siang. Leo pun memberanikan diri untuk melihat Eugene, yang sedang menekan-nekan remote TV mencari tontonan yang setidaknya dapat menghilangkan pikirannya yang kacau.

Leo yakin Eugene saat ini sedang kesal terhadap dirinya sendiri, karena rahasia besarnya sudah ketahuan.

Leo tidak akan marah. Awalnya memang dia ingin sekali marah kepada Eugene karena sudah menutupinya selama ini. Tapi setelah dia pikir-pikir lagi, marah hanya akan memperburuk keadaan. Lagi pula drama seperti itu bukanlah plot yang disukai oleh Leo.

Setelah berbicara dengan Eltha tadi pagi, Leo memiliki kekuatan untuk berbicara dengan Eugene, tanpa emosi ataupun drama yang membuat air matanya bisa meleleh.

Leo melangkah mendekat kepada Eugene, lalu ia mengusap puncak kepala Eugene dan mengecupnya kemudian. "Selamat natal, Eugene."

Eugene tersenyum riang, "Selamat natal, Le!!" Seruan riangnya itu membuat Leo tenang. "Kau tidak ada jadwal operasi?"

Leo menggeleng. "Aku mengosongkan jadwalku hanya untuk istriku yang sakit hari ini. Dan aku ingin berbicara tentang sebuah hal yang serius denganmu."

Senyum riang Eugene lenyap begitu saja saat mendengar hal itu. Malahan, Eugene merasa serba salah, dan dia meletakkan remote TV yang dipegangnya di atas nakas. Kemudian Leo mengambil remote itu dan mematikan TVnya.

"Baiklah, bisa kita mulai dari mana kira-kira?" Tanya Leo.

Eugene menunduk. "Aku minta maaf Le. Kau boleh memarahiku sesukamu, aku tidak akan melawan. Jadi aku mohon maafkan aku..."

Leo malah tersenyum, dia duduk di pinggiran tempat tidur Eugene, sebelah tangannya mengangkat kepala Eugene yang menunduk. "Untuk apa memarahimu? Toh, aku hanya akan memperburuk suasana hatimu jika aku melakukan itu bukan?"

Kini Eugene membulatkan matanya, sambil memonyongkan bibirnya.

"Astaga, apa kau benar istriku? Eugene Anastasia Gunawan yang berumur 29 tahun? Wajahmu terlalu baby-faced untuk di bilang 29 tahun, Eugene. Aku sendiri kesal jika harus bercermin denganmu. Padahal kita hanya beda dua tahun!"

Wajah Eugene berubah menjadi riang lagi.

"Jadi, bisakah kau memberitahuku alasan mengapa kau tidak mau di operasi?"

"Sebenarnya aku sudah pernah di operasi di Amerika waktu itu," kata Eugene, "Tapi, setelah setahun, ternyata tumornya membesar, dan memengaruhi indera pengecap rasaku. Sehingga makanan yang aku buat terkadang menjadi aneh."

"Aku tahu itu."

"Kau tahu?" Tanya Eugene terkejut.

"Ya. Aku sempat mencicipi masakan yang kau buat di tengah malam beberapa minggu yang lalu. Aku yakin kau lupa membuang sisa masakanmu yang ada di dalam wajannya walaupun yang lainnya sudah kau buang. Rasanya asin sekali, dan puding yang kau buat mungkin akan membuat orang yang memakannya langsung terkena diabetes."

"Maaf. Tapi aku merasa lidahku benar-benar mati rasa sepanjang hari itu."

"Lanjutkan ceritamu."

"Saat itu aku berkencan dengan Tite yang bekerja di kantor walikota. Dia sibuk. Dan aku tidak tahu harus cerita pada siapa," katanya, "Jadi aku putuskan untuk pulang dan ternyata aku bertemu denganmu."

"Itu baru awal ceritanya, Eugene. Cepat katakan intinya saja," balas Leo.

"Baiklah. Pada intinya aku bertemu Om Fritz dan dia menyanggupi akan mengangkat tumorku secara menyeluruh. Tapi aku rasa, ini tidak akan berhasil. Nyatanya aku sudah pernah di operasi di Amerika dan tumornya tumbuh kembali," jawab Eugene. "Kalau aku di operasi lagi, berapa lama kira-kira umurku akan bertahan disini?"

Leo segera memeluk Eugene, tanpa peduli dengan ocehannya selanjutnya.

"Kau akan hidup Eugene. Selama aku masih menjadi suamimu, aku tidak akan membiarkanmu pergi dari dunia ini!"

Eugene membalas pelukan Leo dengan erat dan hangat. "Aku mencintaimu."

"Aku pun begitu. Bahkan sangat mencintaimu. Maukah kau percaya padaku?"

Eugene melepaskan pelukannya Leo lalu menatap kepada dua mata Leo yang berbinar.

"Seumur hidupku. Aku akan memercayaimu, Leo."

Eugene mendekatkan bibirnya kepada Leo untuk berciuman, tepat pada saat itu juga Eltha masuk.

"Upss! Maaf, aku tidak lihat apa-apa kok!" Serunya sambil menutup mata dengan kedua telapak tangannya.

Leo memandangnya dengan sinis, "Elthaaaa!"

Sementara Eugene tersenyum dan tak henti-hentinya tertawa bahagia.