Shirou tiba di lokasi yang telah ia tuju—sebuah gereja tua yang ditinggalkan, tempat Hestia Familia tinggal. Namun, saat ia mengintai dari bayangan, yang tersisa di sana hanyalah puing-puing bekas pertempuran. Tidak ada seorang pun yang terlihat di sekitar gereja. Tanah di depan bangunan itu penuh dengan jejak kaki yang bergerak acak, bercampur dengan bekas ledakan kecil dan tanda-tanda pertempuran sengit.
"Hanya sisa-sisa pertempuran..." pikir Shirou sambil menajamkan penglihatannya, berusaha mencari petunjuk. Angin dingin yang berembus melewati gereja semakin menambah suasana muram. Pecahan kaca dari jendela yang hancur berserakan di sekitar, sementara pintu kayu di depan gedung tampak remuk, tergantung dengan engsel yang hampir putus. Dinding-dinding gereja dipenuhi retakan dan goresan, seperti bukti perlawanan dari Bell yang telah berjuang untuk mempertahankan diri.
Namun, tak ada tanda-tanda kehidupan. Seolah-olah Hestia Familia telah disapu bersih.
Dengan tenang dan penuh kewaspadaan, Shirou menyusuri reruntuhan, bergerak tanpa suara, memperhatikan setiap detil di sekitarnya. Tidak ada suara, tidak ada gerakan. Hanya kesunyian yang mencekam. Namun, di balik kesunyian itu, ada perasaan mendesak yang semakin kuat di dalam hatinya.
"Dimana mereka?" gumam Shirou dalam hati, sementara dia menjejakkan kaki di atas lantai yang berdebu, melangkah masuk ke dalam gereja. Di dalam, situasinya sama; hancur, penuh debu, dan kosong. Sebuah altar yang dulu mungkin menjadi pusat ibadah sekarang tertutup debu tebal. Bangku-bangku gereja terbalik, dan beberapa bahkan hancur berkeping-keping. Namun tidak ada satu pun jejak tubuh atau tanda perlawanan yang jelas.
Dengan napas tenang, Shirou melangkah lebih dalam. Matanya tertuju pada noda darah kecil yang terciprat di lantai batu, lalu pandangannya beralih ke beberapa senjata yang tergeletak di sekitar gereja. "Ini tidak baik," pikirnya. Shirou mencoba mengumpulkan fragmen-fragmen dari apa yang mungkin telah terjadi di sini.
Bekas pertempuran ini baru saja terjadi, tidak lebih dari beberapa jam yang lalu. Tapi... di mana Bell dan Hestia sekarang?
"Jika mereka kalah, mereka pasti sudah ditangkap... atau lebih buruk..." pikir Shirou. Namun, dia cepat-cepat mengusir pikiran itu dari benaknya. Dia tahu Bell, dan dia tahu betapa kuatnya tekad pemuda itu. Jika ada sedikit peluang untuk bertahan, Bell pasti akan melawan hingga akhir.
Shirou kemudian berjongkok di dekat altar dan menyentuh tanah yang tercampur darah. Bekas darah itu belum sepenuhnya mengering, mengindikasikan bahwa pertarungan itu belum terlalu lama berlalu. Meskipun situasi ini tampak suram, Shirou yakin bahwa Bell dan Hestia masih hidup.
Dengan tekad yang membara di dalam dadanya, Shirou berdiri dan menajamkan inderanya, mencoba merasakan energi prana atau jejak magis yang mungkin tertinggal. Dia tahu, jika dia bergerak cepat, masih ada kesempatan untuk menemukan Bell dan Hestia sebelum semuanya terlambat.
"Dunia bayangan akan menjadi senjataku," bisik Shirou, saat dia sekali lagi mengaktifkan Presence Concealment. Dengan tenang, dia melesat keluar dari gereja tua itu, bertekad untuk menemukan ke mana Bell dan Hestia dibawa.
Shirou dengan cepat memanjat bangunan tinggi yang berada di dekat gereja tua untuk mendapatkan pandangan yang lebih luas. Saat ia mencapai atap bangunan itu, angin berhembus kencang, membuat jubah hitam yang ia kenakan berkibar. Di puncak bangunan, Shirou memperkuat penglihatannya menggunakan Reinforcement, mengaktifkan prana di kedua matanya agar bisa melihat lebih jauh.
Pandangannya menembus jalanan Orario yang sibuk, dan akhirnya ia menemukan Bell dan Hestia. Dari kejauhan, terlihat mereka sedang berlari dengan cepat, arah tujuan mereka jelas—markas Apollo Familia. Jantung Shirou berdegup lebih kencang. Meski ia tak tahu apa yang sedang terjadi, instingnya berkata bahwa sesuatu yang besar akan segera terjadi.
Tanpa membuang waktu, Shirou berlari di sepanjang atap bangunan, melompat dari satu atap ke atap lainnya dengan kecepatan yang mengagumkan. Presence Concealment miliknya membuatnya tak terlihat, hanya bayangan hitam yang bergerak dengan cekatan di atas kota.
Saat ia mendekati markas Apollo Familia, Shirou melihat dari kejauhan bahwa suasana tegang terjadi di depan gerbang besar keluarga Apollo. Di bawah, Hestia berdiri tegak di hadapan Apollo dan para pengikutnya yang terlihat angkuh. Bell ada di sampingnya, napasnya masih terengah-engah setelah berlari, tetapi tekad di wajahnya begitu jelas. Apollo tersenyum mengejek, sementara anggota Familianya menatap Hestia dan Bell dengan pandangan merendahkan.
Dari posisinya di atas, Shirou memperhatikan momen penting itu.
Tiba-tiba, Hestia dengan marah meraih sarung tangan putih dari tangannya. Tanpa peringatan, dia melemparkan sarung tangan itu dengan kuat ke arah Apollo, dan sarung tangan itu mengenai wajah Apollo dengan tepat. Suasana langsung berubah. Kerumunan orang yang melihat kejadian itu terdiam seketika. Ekspresi Apollo berubah menjadi keterkejutan, lalu perlahan senyum liciknya muncul di wajahnya.
"Ini... adalah tantangan untuk War Game," bisik Shirou dalam hati sambil mengamati dari atas atap.
Dengan gerakan cepat, Apollo menangkap sarung tangan itu dari tanah. Dengan suara yang lantang dan penuh kesombongan, dia menyatakan, "Baiklah, Hestia. Aku terima tantanganmu untuk War Game. Kita akan lihat siapa yang lebih kuat."
Mata Shirou menyipit, menganalisis situasi. Hestia dan Bell jelas berada di posisi yang sulit. Apollo Familia jauh lebih besar, lebih terorganisir, dan kuat. Meskipun Bell telah tumbuh pesat dalam waktu singkat, dia tidak mungkin bisa menghadapi seluruh Apollo Familia sendirian.
"Ini gila," pikir Shirou, tetapi dalam hatinya ia juga mengagumi keberanian Hestia.
"Aku tidak bisa hanya berdiri dan melihat," gumam Shirou, tekadnya semakin kuat. Dia tahu apa yang harus dilakukan. Meski identitasnya sebagai anggota Loki Familia membuatnya terikat oleh aturan, di bawah topeng Hassan, dia masih bisa bertindak tanpa diketahui siapa dirinya.
Shirou menarik napas dalam-dalam, memperkuat kembali Presence Concealment, dan menunggu waktu yang tepat untuk bertindak.
Apollo, dengan penuh percaya diri, melemparkan pandangan penuh ejekan kepada Hestia dan Bell. Namun, alih-alih menahan mereka atau bertindak kasar, dia membiarkan mereka pergi dengan damai. Keyakinan Apollo jelas terlihat, dia sepenuhnya percaya bahwa kemenangan dalam War Game nanti akan menjadi miliknya dengan mudah. Senyum sombong terlukis di wajahnya, seolah kemenangan sudah di tangan.
Dari atas atap, Shirou melihat saat Hestia dan Bell mulai berjalan kembali menuju gereja tua mereka. Mata Shirou mengikuti setiap langkah mereka, memastikan bahwa tidak ada ancaman lain yang mengincar. Setelah yakin bahwa keduanya aman, dia perlahan mundur ke sudut gang yang sepi.
Di sana, Shirou menarik napas dalam-dalam, melepaskan Presence Concealment yang telah dia aktifkan, dan membiarkan topeng serta jubah Hassan larut menjadi partikel prana, hilang begitu saja. Dengan identitasnya kembali sebagai Shirou Emiya, dia mulai berjalan tenang menuju Twilight Manor, meski pikirannya masih dipenuhi oleh apa yang dia saksikan.
Dalam benaknya, Shirou merenung. War Game ini jelas-jelas merupakan pertempuran antara Hestia Familia yang kecil dan lemah melawan Apollo Familia yang jauh lebih kuat dan besar. Dia merasa terjepit dalam situasi ini—tidak mungkin dia bisa membantu secara langsung tanpa melanggar aturan yang melarang campur tangan Familia lain. Bagaimana bisa dia menolong Bell tanpa melibatkan Loki Familia?
Setelah perjalanan yang panjang, Shirou akhirnya tiba di gerbang Twilight Manor. Saat dia mendekat, dia melihat sosok Aiz yang berdiri di sana, tampak sedang menunggunya dengan sabar. Cahaya senja yang menyinari wajahnya menambah keanggunan alami yang selalu terpancar dari Aiz.
Saat Shirou mendekat, Aiz menoleh, menatapnya dengan tatapan tenang dan penuh perhatian. "Apakah kau baik-baik saja?" tanya Aiz, suaranya lembut "Apakah identitasmu ketahuan?"
Shirou tersenyum tipis, sedikit lega melihat kekhawatiran di wajah Aiz. "Aku baik-baik saja," jawabnya sambil menggelengkan kepala. "Aku hanya melihat dari jauh. Sepertinya Hestia terdesak hingga harus menantang Apollo untuk War Game."
Aiz terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Itu pertarungan yang tidak adil," katanya pelan, seolah berbicara kepada dirinya sendiri.
Shirou menyadari betapa sulitnya situasi Bell dan Hestia. "Aku ingin membantu mereka," gumam Shirou. "Tapi ini adalah duel antara Hestia Familia dan Apollo Familia. Campur tangan dari luar tidak akan diperbolehkan."
Aiz menatap Shirou dengan mata yang dalam, seolah mencoba membaca isi pikirannya. "Kau tidak suka hanya menjadi penonton, kan?" tanyanya lembut.
Shirou mengangguk. "Aku tidak bisa diam saja ketika tahu ada orang yang butuh bantuan. Tapi kali ini... Aku tak tahu bagaimana caranya."
Aiz terdiam lagi, merenungkan kata-kata Shirou, sebelum akhirnya berkata, "Mungkin ada cara lain... Kita hanya perlu memikirkannya."
Aiz menghela napas ringan sebelum memulai ceritanya. "Sebenarnya, aku sudah melatih Bell secara diam-diam selama beberapa minggu terakhir."
Shirou terkejut mendengarnya. "Kenapa aku tidak tahu soal ini?" tanyanya, penasaran.
Aiz menoleh ke arah Shirou, tampak tenang, seperti biasa. "Aku melatihnya saat subuh," jawabnya dengan suara yang lembut. "Biasanya saat itu kau sedang mengajarkan Riveria di gudang, jadi kau tidak akan tahu."
Shirou terdiam, merenungkan apa yang baru saja didengarnya. Ia tahu Bell memang berlatih keras, tapi ia tak pernah membayangkan Aiz diam-diam terlibat dalam kemajuan Bell. Setelah beberapa saat, ia berbicara lagi. "Tapi, Aiz... kau harus berhati-hati. Kalau ini ketahuan oleh orang lain, terutama Apollo Familia, mereka bisa menuduh Loki Familia ikut campur dalam persiapan Bell. Itu akan menjadi masalah besar."
Aiz menatap Shirou dengan serius, mengangguk pelan. "Aku tahu. Itu sebabnya aku merahasiakannya. Aku selalu memastikan tidak ada yang melihat kami," jawabnya. Dia tampak tenang, tetapi ada sedikit kekhawatiran di matanya.
Shirou mengangguk, tetapi tetap merasa khawatir. "Itu bagus, tapi kau harus benar-benar hati-hati. Aku tidak ingin kau terjebak dalam masalah hanya karena membantu Bell."
Aiz tersenyum tipis, sebuah senyum muncul di wajahnya, lalu berkata, "Aku akan berhati-hati. Lagipula, Tiona dan Tione juga tahu tentang ini. Mereka bisa membantuku mengalihkan Bell ke tempat latihan rahasia jika aku harus melakukannya secara langsung."
Shirou memandang Aiz dengan rasa hormat. Dia tahu bahwa Aiz memiliki perasaan simpati yang besar terhadap Bell, bahkan jika dia tidak mengatakannya secara terang-terangan. Dalam hatinya, Shirou merasa lega bahwa Bell memiliki seseorang seperti Aiz yang membantu, tapi dia juga sadar risiko yang diambil Aiz sangat besar.
"Kalau begitu, aku serahkan pada kalian," kata Shirou akhirnya. "Aku yakin kau dan Bell bisa menanganinya. Tapi jika kau butuh bantuan... aku di sini."
Aiz hanya mengangguk sebagai balasan. Mereka berdua lalu terdiam, menikmati momen kedamaian di antara mereka, di tengah kekhawatiran besar yang mereka hadapi.
Shirou dan Aiz berjalan bersama menuju Twilight Manor, keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing setelah percakapan panjang tentang Bell dan tantangan War Game yang baru saja diumumkan oleh Apollo Familia. Ketenangan sesaat itu berubah ketika mereka baru saja memasuki mansion. Suara Bell terdengar dari luar, memanggil nama Aiz, meminta untuk bertemu dengannya.
Aiz langsung merasa khawatir, ekspresi di wajahnya menjadi tegang. "Apa yang dia lakukan di sini?" gumamnya pelan. Shirou bisa melihat kekhawatiran di mata Aiz.
Namun, sebelum Aiz bisa melangkah keluar, Tione yang berada di dekat pintu segera melangkah maju, memandang ke luar ke arah Bell. Dengan seringai di wajahnya, Tione menepuk pundak Aiz dengan ringan. "Tenang saja, Aiz. Kamu cukup pergi ke gang sepi. Aku yang akan memberitahu Bell ke mana harus pergi."
Aiz mengangguk pelan, lalu berpamitan pada Shirou dengan tatapan penuh kecemasan. "Aku akan bertemu Bell di gang nanti."
Shirou hanya bisa mengangguk dan berkata, "Hati-hati, Aiz."
Sementara Aiz berjalan menuju gang yang disarankan Tione, Tione berjalan keluar, mendekati Bell yang masih memanggil-manggil Aiz.
Tione bertanya dengan nada kasar "Sedang apa kamu di sini?"
Bell terkejut dengan sikap Tione yang biasanya baik dengannya tiba-tiba berubah "Aku ingin bertemu dengan Aiz, walaupun sebentar."
Dengan langkah mantap, dia berjalan ke arah Bell dan dengan cepat meraih kerah baju Bell dengan kedua tangannya. Dengan mudah, dia mengangkat tubuhnya beberapa inci dari tanah.
Bell terkejut, tidak siap untuk menerima perlakuan kasar seperti itu. "E-eh?! Tione, tunggu! Aku hanya ingin bertemu dengan Aiz!" katanya dengan panik.
Tione menurunkan suaranya saat mendekatkan wajahnya ke Bell. "Dengar, bocah. Kalau kau ingin bertemu Aiz, jangan di sini. Dia akan menunggumu di gang sepi, jauh dari pandangan orang lain." Suaranya sedikit menggoda, tetapi serius.
Bell mengangguk dengan tergagap, masih tergantung di udara. "O-oke, baiklah."
Setelah memastikan Bell mengerti, Tione menurunkannya kembali dengan kasar dan menyuruhnya pergi. "Jangan lama-lama di sini. Dan jaga rahasia."
Shirou yang melihat kejadian itu dari jauh hanya bisa mengangguk dalam hati, mempercayakan rencana tersebut pada teman-temannya. Dia tahu bahwa mereka semua melakukan ini untuk menjaga agar Loki Familia tidak dicurigai ikut campur dalam urusan War Game. Meski Shirou masih merasa khawatir, ia memilih untuk tidak ikut campur lebih jauh, terutama karena Finn sudah memperingatkan sebelumnya.
"Aiz pasti bisa menangani ini," pikir Shirou, sebelum akhirnya memutuskan untuk beristirahat dan mempercayai teman-temannya dengan rencana mereka.
Setelah itu, Shirou membantu memasak di dapur. Dia mulai menyajikan hidangan ke meja makan Twilight Manor. Namun, saat dia melihat kursi-kursi yang sudah dipenuhi anggota Loki Familia lainnya, perhatiannya tertuju pada satu kursi yang kosong. Aiz, yang biasanya sudah duduk dan tak sabar menunggu makanan buatan Shirou, tidak terlihat di antara mereka.
Shirou tersenyum kecil, berpikir dalam hati, "Pasti Aiz sedang melatih Bell dengan intensif untuk persiapan War Game." Dia tahu betapa seriusnya Aiz dalam membantu Bell meningkatkan kemampuannya.
Dengan penuh perhatian, Shirou menyiapkan porsi besar untuk Aiz. Dia menatanya dengan baik dan meletakkannya di atas nampan. Kemudian, dia membawanya menuju kamar Aiz, memastikan makanannya tetap hangat. Setibanya di depan kamar, Shirou meletakkan nampan itu di depan pintu, berpikir bahwa Aiz mungkin akan pulang larut malam setelah sesi latihan yang panjang.
Saat Shirou sedang berbalik hendak pergi, Lefiya muncul dari arah koridor, dalam perjalanan menuju kamarnya. Dia melihat Shirou meletakkan makanan di depan pintu kamar Aiz dan langsung bertanya dengan cemberut, "Kenapa Aiz belum pulang? Apa dia masih di luar?"
Shirou awalnya merasa ragu untuk menjawab, namun setelah berpikir sebentar, dia mengingat bahwa Lefiya mungkin sudah tahu tentang hubungan Aiz dengan Bell dan latihannya selama ini. Dengan nada tenang, Shirou menjawab, "Sepertinya Aiz sedang melatih Bell untuk War Game."
Wajah Lefiya langsung berubah menjadi cemberut yang lebih jelas. "Hah, Bell lagi? Kenapa dia menyita begitu banyak waktu Aiz akhir-akhir ini?" katanya dengan nada kesal, namun terlihat ada sedikit kekhawatiran di balik keluhannya. "Bell harus menang. Kalau tidak, dia hanya akan membuat Aiz malu."
Nada suaranya terdengar seperti ancaman, tapi Shirou tahu bahwa Lefiya sebenarnya khawatir. Dia menyembunyikan kecemasannya di balik sikap tegasnya. Shirou tersenyum lembut, menanggapi sikap Lefiya yang, meski terlihat marah, sebenarnya sangat peduli.
"Jangan khawatir, Lefiya," kata Shirou dengan tenang. "Bell pasti akan berusaha sekuat tenaga. Dan Aiz, seperti biasa, akan memastikan dia siap."
Lefiya hanya mendengus ringan, tapi dia tampak sedikit lebih tenang. "Iya, aku harap begitu. Bell tidak boleh mengecewakan Aiz." Sambil melanjutkan jalannya, dia melirik kembali ke arah makanan yang disiapkan Shirou untuk Aiz. Meski dengan ekspresi cemberut, tampak jelas bahwa Lefiya memperhatikan Shirou yang peduli pada teman-temannya.
Shirou memandangnya pergi, merasa lega bisa sedikit menenangkan Lefiya, meskipun ia tahu perasaan cemburunya terhadap Bell mungkin masih ada.
Shirou kembali ke kamarnya setelah makan malam. Rasa lelah fisik dan mental menyelimutinya. Ia melepas pakaiannya dan berbaring di atas tempat tidur, mencoba memejamkan mata. Namun, pikirannya berputar tak henti-henti, seperti roda yang tak bisa berhenti bergerak. Bayangan Bell terus melintas dalam benaknya, membuat Shirou buntu memikirkan apa yang bisa ia lakukan untuk menolong Bell dalam War Game yang akan datang.
Berbaring di atas kasur, Shirou menatap langit-langit kamar. Pikirannya bercabang, memikirkan berbagai kemungkinan dan skenario. Ia sangat berharap War Game yang dipilih adalah duel satu lawan satu, bukan perang besar yang melibatkan banyak anggota Familia. Itu akan menjadi jalan terbaik bagi Bell—jika itu adalah duel langsung, Bell masih punya kesempatan untuk menang, terutama dengan pelatihan yang telah ia jalani bersama Aiz dan bantuan dari Hestia Familia.
Namun, ada rasa khawatir yang terus menghantui Shirou. Jika Apollo Familia memilih bentuk lain dari War Game, seperti pertempuran berskala besar yang akan mempermalukan Hestia Familia dengan keunggulan jumlah, peluang Bell akan semakin menipis. Shirou tahu, Apollo Familia memiliki banyak anggota dan sumber daya yang jauh lebih besar. Bell, meskipun kuat, hanya satu orang melawan Familia yang jauh lebih kuat dalam jumlah dan pengalaman.
Dalam kepalanya, skenario terburuk mulai terbentuk. "Bagaimana jika Bell kalah?" Sebagai pahlawan yang selalu ingin melindungi orang lain, Shirou tak bisa menerima pikiran itu. Rasa tanggung jawab untuk membantu Bell dan Hestia Familia, meski secara teknis ia tak bisa ikut campur secara terbuka, terasa seperti beban yang terlalu berat.
Di sudut hati kecilnya, Shirou mulai merencanakan sesuatu yang lebih ekstrem. "Kalau memang tidak ada jalan lain..." pikirnya dengan tekad. "Aku sendiri akan turun tangan. Aku akan menyembunyikan identitasku lagi dan menghabisi Apollo Familia satu per satu."
Dia tahu tindakan itu berisiko. Melanggar aturan dan menciptakan masalah besar. Namun, bila situasi sudah benar-benar di luar kendali, dia tak bisa berdiam diri dan membiarkan teman-temannya ditindas oleh tirani Apollo Familia.
Dengan pelan, Shirou menutup matanya, mencoba untuk tidur. Namun, hatinya tetap resah. Dia tahu, jalan apapun yang akan dia tempuh, baik itu membiarkan Bell berjuang sendiri atau mengambil langkah ekstrim untuk menghancurkan Apollo Familia dari bayangan, akan membawa konsekuensi besar.
Tapi, Shirou sudah bersiap. Apa pun yang terjadi, dia tidak akan membiarkan Bell atau Hestia terseret ke dalam kehancuran tanpa melakukan sesuatu.