Lydia memijat pelipisnya yang berdenyut. Gara-gara Erika, dua sahabatnya yang lain juga ikut merecokinya sampai malam. Mereka semua bahkan kompak berkunjung ke rumah Lydia, selepas jam pulang kantor.
Andai kata Cinta yang sudah menikah tidak dicari suami, mungkin para sahabat Lydia itu akan menginap. Apalagi karena tuan rumah yang lainnya tidak keberatan sama sekali.
Dan acara begadang itu membuat Lydia lesu keesokan harinya. Padahal dedemit berkedok sahabat itu hanya sampai jam sepuluh dan Lydia sudah tertidur sebelum jam sebelas.
“Good morning. Kok lesu banget,” salah seorang rekan kerja Lydia menyapa.
“Good morning juga. Aku cuma masih ngantuk saja,” jawab Lydia seraya duduk di kursinya.
Sesuai rencana, hari ini Lydia kembali bekerja. Dan rasa sakit yang dirasakannya juga sudah jauh berkurang. Yang tersisa hanyalah bekas kemerahan yang kini sudah mulai menghitam.
Untung saja semua tanda itu masih bisa ditutupi dengan concealer yang banyak. Erika yang punya alat make up paling lengkap, memberinya concealer mahal yang masih baru. Lengkap dengan sponge dan kuas make up. Lydia amat berterima kasih untuk yang satu itu karena dia tidak punya itu semua. Cushion, lipstik, pensil alis dan eyeliner, itu saja yang dipunyai Lydia.
“Cih. Baru juga minum sedikit wine mahal sudah sakit. Dasar orang miskin manja,” celetukan berisi hinaan dari supervisornya membuat Lydia mendonggak dari kubikelnya.
Pria pertengahan empat puluh yang masih terlihat lumayan itu, menatap Lydia dengan pandangan kesal. Dirinya tidak tahu kenapa supevisornya sebenci itu pada dirinya, tapi seingat Lydia lelaki itu tidak seperti ini waktu dia awal kerja. Dan Lydia lebih memilih untuk mengacuhkannya saja.
“Lyd, kita ngopi saja dulu yuk.” Seorang pria muda yang duduk di seberang kubikel Lydia mengajak.
“Yuk. Mau ikut gak, Ki?”
Lydia yang malas mendengar hinaan lain dari supervisornya, mengajak Kiara ikut serta. Dia enggan jadi bahan gosip supervisornya karena pergi berdua saja dengan Revan.
“Si tua itu benar-benar keterlaluan deh. Aku gak habis pikir kenapa dia sebenci itu denganmu,” gerutu Kiara begitu mereka sudah cukup jauh dari ruangan.
“Tau juga tuh. Aku sendiri bingung, padahal rasanya gak ngapa-ngapain,” jawab Lydia seraya mengangkat bahunya.
“Dia cuma jealous karena kerjaanmu bagus, Lyd. Belum lagi masalah tahun lalu kamu yang temukan padahal masih anak baru. Ditambah reward dari bos kemarin,” Revan membela.
“Kalau aku disentimen sama bos gitu, kira-kira bisa diangkat jadi pegawai tetap gak sih? Atau minimal perpanjang kontrak lah,” keluh Lydia, khawatir dengan masa depan keuangannya.
Bertepatan dengan itu, denting lift yang akan membeawa mereka turun diikuti pintunya yang membuka, menghentikan obrolan tiga orang itu. Lydia baru mau melangkahkan kaki ketika melihat Reino dan sekretarisnya beserta wakil CEO ada dalam lift, membuatnya membeku di tempat.
“Silakan duluan, Pak,” Revan yang segan satu lift dengan bos, mempersilakan tiga orang itu duluan. Dan itu merupakan sebuah keuntungan bagi Lydia yang segera menunduk menghindari tatapan bosnya itu.
“Gak apa-apa masuk aja, kita bareng. Toh tempatnya masih luas,” si wakil CEO yang jauh lebih tua dari Reino Andersen itu mengajak dengan ramah, sambil menahan piintu lift.
“Pak Reino gak keberatan kan?” tanya pria tua itu lagi ketika menyadari lirikan takut dari Kiara dan Revan.
“Sure,” jawab Reino yang sejak tadi menatap Lydia dengan intens.
Dan jawaban dari Reino membuat Lydia menggeram dalam hati. Apalagi begitu mendengar jawaban Reino, Kiara langsung melompat masuk dengan senyum terkulum. Lalu karena Revan juga sudah ikut masuk ke dalam lift, Lydia mau tidak mau juga harus ikut. Akan aneh jika dia tiba-tiba pergi.
“Sekali-kali Pak Reino tersenyum dong. Biar anak-anak gak pada takut semua,” canda Pak Wakil CEO.
“Saya merasa itu tidak perlu. Dan saya juga tidak begitu peduli pada pendapat orang lain, selain rekan bisnis,” jawab Reino dengan angkuhnya.
Tatapan Reino berpindah dari Lydia yang membelakanginya di sisi kiri, berganti menatapi pantulan wanita itu di pintu lift. Reino melakukannya karena dia tidak sengaja melihat titik kebiruan di belakang telinga, ketika wanita itu menyelipkan rambutnya di belakang telinga. Membuat Reino mengingat kejadia dua malam lalu dan itu membuatnya gelisah.
Reino yang kala itu lebih sadar dari Lydia ingat betul di mana saja dia meninggalkan tanda. Salah satunya yang ada di belakang telinga Lydia. Tidak terlalu terlihat sebenarnya, tapi karena Reino ingat maka dia memusatkan tatapannya di sana.
Reino nyaris saja tersentak ketika tidak sengaja tatapannya bertemu dengan Lydia, dengan pintu lift sebagai media. Untungnya Reino bisa mengendalikan ekspresinya dan segera mengalihkan tatapan.
‘’Berhentilah menatap tubuh ratanya itu, Reino. Apa yang kau cari dari tubuh kurus itu,” gumamnya dalam hati.
“Pak Reino?”
“Hah, ya?” Reino tersentak dan refleks menoleh ke arah Pak Wakil CEO.
“Apa sih yang anda lamunkan?” pria paruh baya itu terkekeh melihat raut wajah sedikit terkejut Reino.
“Sepertinya Pak Reino perlu seegera cari istri agar tidak melamun seperti ini,” lanjut pria paruh baya itu, masih dengan senyum menggodanya.
Lydia sedikit berjengit mendengar candaan pria tua di belakangnya itu. Sebagai mantan istri Reino Andersen, dia sedikit tersentil. Sikap gila Reino sama sekali tidak ada hubungannya dengan mencari istri. Buktinya dulu pria itu sama sekali tidak berubah. Dan rupanya pria itu sepemikiran dengannya.
“Hal seperti itu tidak ada hubungannya sama sekali, Pak. Itu pemikiran yang aneh,” protes Reino tidak mau terbantah.
Tepat setelah itu, denting lift terdengar dan pintu terbuka di lantai dua. Lydia yang sudah merasa sesak di dalam lift sempit itu, apalagi berdekatan dengan Reino. Mana tatapan Reino terasa melubangi kepalanya.
Lydia tidak tahu kenapa Reino menatapnya sampai seperti itu, tapi dia sudah mengambil keputusan untuk menghindari CEO arogan itu. Karenanya dia langsung bergegas keluar dari lift, kemudian berbalik sebentar untuk pamit dan segera berjalan cepat ke arah kafetaria.
Revan dan Kiara segera menyusul setelahnya. Terburu mengejar Lydia yang sudah duluan.
Pemandangan itu tak luput dari mata elang Reino. Egonya merasa tersentil karena lagi-lagi wanita itu menghindarinya dan Reino tidak suka itu. Harusnya yang terjadi adalah sebaliknya.
“Perempuan sialan itu,” geramnya sangat lirih.
“Ada apa, Pak?” tanya sekretaris Reino bingung.
“Tidak apa-apa,” sergah Reino masih kesal saja.
“Dia itu karyawan kontrak cemerlang dari divisi keuangan kan?” Pak Wakil bertanya dengan penasaran.
“Dari mana anda tahu hal seperti itu?” kening Reino berkerut bingung.
“Semua orang, terutama bagian atas tentu tahu penyelamat perusahaan dari kerugian besar tahun lalu, Reino.” Pak Wakil menggeleng heran melihat tingkah aneh CEO muda itu.
“Bahkan kudengar tim audit mengincarnya untuk pidah ke divisi mereka. Dengan ketelitian tinggi seperti itu wajar sih.” Kali ini pria tua itu mengangguk setuju.
“Dan karena dia sebenarnya cantik, kudengar ada satu dua orang yang tertarik padanya.”
“Apa?”
***To Be Continued***