webnovel

Jangan Seperti Dia

“Ayo kita perbarui kontraknya. Jadilah teman tidurku kapan pun dan dimanapun aku mau.”

Lydia mengerjapkan matanya beberapa kali, sedang berusaha mencerna kata-kata pria di hadapannya itu. Tapi entah dia sedang lemot atau apa, Lydia gagal memahami. Atau mungkin juga dia salah dengar.

“Sorry, tadi Pak Reino ngomong apa?” tanya Lydia karena dia merasa amat sangat yakin dia salah dengar.

Reino menggeram kesal. Padahal dia sudah memutuskan urat malunya untuk mengatakan semua itu, tapi wanita kurus ini bahkan tidak mendengar dengan baik?

“Aku ingin membuat kontrak baru denganmu,” kali ini Reino 100 persen menanggalkan kesopanannya.

Jika biasanya lelaki itu masih sesekali menggunakan saya kamu, maka kali ini tidak lagi. Mulai detik ini Reino akan menggunakan bahasa yang lebih santai demi kenyamanannya sendiri kedepannya. Dia percaya diri pengajuannya akan disetujui Lydia.

“Dan kontrak apa yang anda maksud, Pak?”

Reino menggeram marah ketika Lydia masih belum bisa menangkap maksudnya. Apa dia bodoh atau apa?

“Rasanya tadi aku sudah bilang. Jadi teman tidurku, friend with benefits atau apalah itu namanya.” Reino melotot marah pada Lydia.

“Maaf saya masih tidak paham,” balas Lydia yang makin membuat Reino makin marah.

“Apa kau bodoh? Apa kata-kataku kurang jelas?” teriak Reino benar-benar merasa marah dan diremehkan.

“Kata-kata Pak Reino cukup jelas. Saya hanya tidak paham maksudnya. Lagipula kenapa harus saya?”

Yeah. Lydia mendengar dengan jelas ketika Reino mengajaknya tidur bersama, tapi kenapa. Untuk apa dan kenapa dirinya yang ditawari kontrak aneh seperti itu?

“Maksudnya sudah jelas juga, Lydia. Aku membutuhkanmu untuk memuaskan nafsuku. Dan harus kamu karena aku tidak bisa dengan perempuan lain.”

Penjelasan Reino barusan tidak membuat Lydia lebih baik. Sebaliknya itu membuat kernyitan di dahi Lydia makin dalam saja. Apa juga maksudnya dengan tidak bisa dengan perempuan lain?

“Jangan suruh aku menjelaskan lebih dari itu lagi,” geram Reino kesal dengan ekspresi Lydia. Reino tidak mau merendahkan diri lebih jauh lagi untuk memberitahu kalau sejak malam itu, tubuhnya hanya menginginkan satu wanita.

Sejujurnya Lydia belum puas dengan penjelasan pria blasteran di depannya, tapi dia jelas sudah sangat tahu apa jawaban atas permintaan gila atasannya itu.

“Maaf, Pak. Saya bukan perempuan panggilan yang bisa anda ajak tidur kapan saja.”

Raut wajah Reino langsung berubah menjadi gelap. Penolakan Lydia tidak pernah terlintas dibenaknya dan itu membuatnya merasa gagal. Sesuatu hal yang paling tidak disukai Reino karena selama ini dia selalu berhasil.

“Aku akan membayarmu,” geram Reino mulai emosi.

“Maaf, Pak. Saya bukan wanita seperti itu,” jawab Lydia seraya berdiri dari kursi.

“Kalau tidak ada lagi saya pamit.”

Tanpa peduli dengan wajah marah Reino, Lydia menunduk untuk pamit dan berjalan keluar seolah tak ada apa-apa. Tapi begitu Lydia sudah mencapai area lobi, dia segera berbelok ke area toilet.

Dengan buru-buru, dia masuk ke salah satu bilik toilet dan menguncinya. Setelahnya Lydia langsung merosot ke lantai. Kakinya menjadi lemas.

“Oh, my God serem banget,” gumamnya pelan.

Ya. Walau tadi terlihat cukup tenang, tapi pada kenyataannya Lydia merasa ketakutan. Apalagi setelah wajah Reino berubah menjadi lebih gelap. Saking mengerikannya bulu kuduk Lydia sampai meremang.

Lydia sama sekali tidak bisa mendeskripsikan apa yang dilihatnya di wajah Reino. Pria itu terlihat amat sangat marah, sampai pupil matanya terlihat sedikit memerah karena pembuluh darahnya tercetak jelas akibat marah.

“Apa sudah aman sekarang? Apa dia sudah pergi?” gumam Lydia seorang diri, masih tidak berani keluar dari toilet.

“Astaganaga.” Lydia terlonjak ketika tiba-tiba ponsel yang dipegangnya berdering.

“Ya, Ma,” sapanya setelah berhasil mengendalikan ketakutannya.

“Kamu kok belum pulang?” tanya Liani khawatir.

“Oh, iya Ma. Maaf tadi Lydia lupa kasih tahu, di kantor lagi ada acara makan-makan. Ini lagi ada di tempat makan,” dusta Lydia.

Liani adalah wanita yang sering merasa parno, terutama setelah kemalangan yang menimpa keluarga mereka dulu. Karena itu Lydia senantiasa mengatakan hal-hal bohong untuk menenangkan ibunya. Bukan hal yang patut dicontoh, tapi lebih baik daripada ibunya histeris.

“Iya, maaf. Nanti aku izin pulang duluan deh. Iya, Ma. Love you.”

Lydia mendesah, dia merasa bersalah. Tapi tidak mungkin kan dia mengatakan yang sebenarnya. Bisa-bisa di disuruh berhenti kerja, padahal gaji di tempat Polar Bear itu cukup besar.

Dan karena Lydia masih takut untuk keluar dari toilet, jadilah dia menghubungi Vanessa. Sahabatnya itu biasa lewat di sekitaran hotel ini dan mungkin bisa menjemputnya.

“Ngapain sih sampai sembunyi di toilet?” gerutu Vanessa begitu sampai di toilet.

“Nanti kuceritakan, tapi jangan di sini. Bawa mobil kan?” tanya Lydia sambil mengamati sekitar dengan seksama.

***

“What?” pekik Vanessa ketika Lydia sudah selesai menceritakan apa yang baru menimpanya.

“Aku juga kaget waktu dia ngomong gitu,” jawab Lydia menghembuskan napas lelah.

Untung saja Lydia meminta Vanessa menjemputnya karena rupanya Reino belum pergi dari hotel itu. Vanessa yang parkir di dekat mobil pria itu membuat Lydia tahu.

“Apa kau sehebat itu di atas ranjang sampai dia tergila-gila padamu?” tanya Vanessa masih dengan raut tidak percaya.

“Aku saja setengah sadar, gimana bisa tahu. Dan, hei. Itu kali pertamaku.”

“Who knows? Siapa tahu kau punya bakat alami gitu. Atau mungkin kau perempuan perawan pertama yang ditemuinya,” balas Vanessa mengedikkan kedua bahu.

“Gila kali. Orang badan rata gini.”

Vanessa tertawa mendengar pengakuan sahabatnya itu. Tapi tetap saja Vanessa yang memang seringnya berpikiran ‘ melenceng’ tetap menggoda Lydia. Membuat Lydia makin kesal saja.

“Eh, ngomog-ngomong jangan bilang Mama kalau kita dari hotel ya. Bilang saja kebetulan ketemu di restoran bareng sama teman kerjaku.”

“Kau masih saja membohongi mamamu?” tanya Vanessa dengan ekspresi tidak percaya.

“Kau tahu Mamaku bagaimana Nes.”

“Yeah, I know it so well Lyd. Kita udah temenan dari kelas satu SMA. Dan for your information, kita satu SMP. Hanya saja waktu itu kita tidak akrab, tapi aku tahu apa yang terjadi pada keluargamu.”

Lydia menghela napas mendengar penjelasan panjang lebar Vanessa. Dia tahu ini tak benar, tapi tetap saja.

“Dan dari apa yang pernah kudengar, kau terlihat persis sama dengan papamu. Sama-sama suka menutupi banyak hal, terutama hal yang jelek dan menanggung semuanya sendiri.”

“Kau tentu tahu kalau justru hal itu yang membuat Tante Liani bersedih, bahkan mungkin sampai sekarang.”

Lydia tidak menjawab. Dia juga tahu itu dan mungkin juga merasakan yang sama dengan ibunya. Lydia amat sangat tahu.

“Jangan mengulang hal yang sama dengan papamu, Lyd. Jangan buat Tante Liani bersedih karenamu,” tambah Vanessa dengan lebih lembut.

“I know.”

*** To Be Continued***