webnovel

Lapangan Bola Basket

Luna melepaskan pelukannya, tetapi rambutnya tersangkut ke resleting jaket Chan. Dia berusaha untuk melepaskan rambutnya sebelum Yona menyadari mereka. Wajah Chan hanya santai, dia membiarkan Luna sendirian yang melepaskan rambut itu.

"Tolong bantu, Kak."

"Aku tidak bisa membantumu jika kamu tidak tenang."

"Bagaimana bisa aku tenang. Nanti kalau Yona melihat kita dan mengira kita berhubungan bagaiman. Apa yang akan dipikirkan orang nanti. Aku tidak mau menjadi bahan omongan di sekolah."

"Pikiranmu terlalu jauh. Jangan pernah berpikir begitu jika kamu belum bisa melewati masalah ini. Seperti kamu ingin melakukan ujian, jangan memikirkan hasilnya tetapi pikirkan prosesnya. Kamu ingin melewati sebuah jembatan tetapi kamu malah berpikir apa yang ada di seberang jembatan tersebut. Pikirkan cara untuk ke sana. Cari strategi yang bagus, seperti ini kamu harus tenang dan itu strateginya. Apa yang kamu pikirkan saat tidak tenang bisa menjadi kenyataan, jadi berpikiran positif saja."

Chan memberikan energi positif dengan menggunakan caranya sendiri, dia menyuruh Luna menutup mata, dan kosongkan pikiran seakan tak terjadi apapun. Angin tiba-tiba menyapu wajahnya dalam hitungan detik.

"Luna."

Suara Yona terdengar di telinga Luna, jelas dan bisa dikenali meskipun mereka baru berteman hari ini. Dia menoleh ke belakang dan membuka matanya, dia melihat temannya itu berdiri tanpa ekspresi.

"Mampus," batin Luna berkata.

"Apa yang kamu lakukan disini?"

Luna kembali mengarahkan pandangan ke depan, sosok Chan sudah tidak ada dan kalungnya baik-baik saja. Dia mengambil buku novelnya yang ada di lantai lalu mengajak Yona segera keluar dari perpustakaan.

"Sekarang kita harus cepat masukke kelas. Kata Kakakku guru mata pelajaran matematika galaknya level gold. Terlambat sedikit bisa di hukum."

Yona berbicara dengan melangkahkan kaki cepat seakan hantu mengejar mereka. Disayangkan perut Luna tiba-tiba tak bisa menahan karena ingin buang air besar, dia berlari meninggalkan Yona setelah menitipkan buku novelnya.

"Kamu mau ke mana?"

Yona mengeluarkan volume keras bertanya kepada Luna membuat orang yang ada di sekitarnya merasa kaget.

"Maaf, Kak."

Suara Yona merendah.

Karena takut dengan guru matematika Yona meninggalkan Luna menjadi teman yang egois.

Setelah keluar dari toilet kelegahan dirasakan, wajahnya bisa terenyum murni dan dia mencari-cari Yona. Karena tidak mendapatkannya dia ke kelas, tetapi semua orang sudah duduk di kelas dengan seorang guru laki-laki yang mengajar. Mereka semua yang ada di kelas menatap Yona.

"Murid kelas ini?"

Yona menggeleng memberitahu Luna untuk tidak jujur, tetapi dia tidak mengerti dengan apa yang disampaikan oleh Yona dengan raut wajah dan gerakannya.

"Iya, Pak."

Luna mengatakan iya tetapi kepalanya menggeleng, pria berkumis dan kepala botak tersebut merasa dirinya dipermainkan. Dia menyuruh Luna untuk membersihkan sampah yang ada di selokan area lapanga basket. Luna seperti orang gila dan seperti pemulung mengambil sampah itu dan memasukkannya ke dalam tong sampah sekitar. Tak tanggung-tanggung guru itu memberikan hukuman, dia menyuruhnya mengutip sampah ke semua area sekolah halaman sekolah. Mungkin dia berharap sekolah bersih kinclong seperti kepala botaknya.

Bola basket terarah kepadanya,bola itu mengenai punggung ketika dia merendahkan tubuh mengambil sampah plastik. Dia merubah posisi berdirinya, dia mencari-cari orang yang melemparnya menggunakan bola. Namun, dia tidak menemukan siapa pun, semua murid sekolah berada di kelas mereka masing-masing. Dia kembali melanjutkan aktivitas mengutip sampah di bawah panasnya matahari.

Dia menepi duduk di bangku yang berada tidak jauh dari lapangan, lebih tepatnya berada di tepi lapangan. Meskipun hanya mengutip sampah tetapi panasnya matahari membuatnya lelah dan haus, sebuah botol minuman di sodorkan kepadanya. Kepala yang tadi menekuk memperhatikan sepatu kini terangkat dengan menatap sebuah sepatu dan menjalar ke wajah pemilik yang memberikannya sebotol minuman tersebut sambil berkata, "Terima kasih."

"Kak Chan."

Chan duduk di samping nya setelah dia menggeser posisi, senyuman dilayangkan Chan sempurna membuat Luna tak sanggup untuk menatap kedua bola matanya. Kembali Luna mengarahkan tatapan ke sepatu dengan sedikit menggerakkannya. Dia masih memegang botol minuman itu karena dia merasa malu untuk meminumnya dihadapan Chan.

"Buang rasa malumu dan anggap saja aku tidak ada di sini. Minum saja airnya karena aku tahu kamu haus."

PAKK PAKK!

Chan menepis bahu Luna dua kali, tolehan diberikan oleh gadis itu dengan wajah yang masih sedikit ditekuk menunjukkan kepolosannya. Tangan Chan bermain mengangkat dagunya menyuruh dia untuk menatap kedua bola matanya tanpa berkedip dan menyuruhnya untuk tersenyum. Apa yang dilakukan Chan seakan memberikan energi positif kepada Luna.

"Sekarang minum airnya. Aku akan sedih jika kamu tidak meminumnya dalam jangka satu menit. Kamu menjadi satu-satunya orang yang pernah aku temui dan tidak bisa menghargai ku. "

"Bukan begitu."

"Minumlah."

Chan mengambil botol minuman itu dari tangan Luna, lalu memutar penutup botol dan kembali menyerahkannya kepada gadis itu sambil menyuruhnya minum. Luna dengan wajah cekatan meminum air yang ada di dalam botol tersebut. Dia sangat polos dan mau-maunya mengikuti apa yang dikatakan oleh Chan sehingga mulutnya dipenuhi oleh air. Pipi menggembung karena air yang masih berada di dalam mulut perlahan dia teguk hingga akhirnya mengempis. Hidungnya ditarik oleh Chen karena merasa geram dengan tingkah lucu Luna. Andaikan semua gadis yang ada di sekolah mendapatkan perhatian yang begitu lembut pasti mereka akan merasa masa sekolah menengah atas adalah masa yang paling indah percintaan seperti apa yang dikatakan oleh kebanyakan orang.

"Berteman?"

Chan menunjukkan jari kelingkingnya dengan sedikit gerakan kearah Luna, pasti membingungkan apalagi baginya pertemanan antara cowok dan cewek sangat sulit terjadi karena takut akan ada perasaan satu sama lain. Chan menarik tangannya dan dia sendiri yang mengaitkan jari kelingking mereka dan menggerakkannya ke bawah.

"Mulai sekarang kita berteman dan kamu boleh meminta bantuan ku atas kesulitan apapun. Jangan pernah segan untuk berbicara."

Bola Basket tiba-tiba menggelinding ke kaki Luna, Chan menggesernya menggunakan kaki lalu mengambilnya dan memainkannya di tengah lapangan sendirian mencetak sebuah poin dengan memasukkan bola kedalam keranjang. Sosok yang sangat sulit digambarkan oleh Luna, tetapi dia merasa pemuda yang ada di hadapannya saat ini adalah pemuda yang baik. Untuk pertama kalinya dia bertemu dengan pemuda yang bisa membuatnya tersenyum karena sebelumnya dia tidak pernah dekat dengan cowok manapun.

"Luna!"

Pemuda itu berseru dari kejauhan sambil melemparkan bola basket ke arahnya, dengan tangan gerak cepat Luna menangkap bola itu dengan posisi yang masih terduduk di bangku. Ekspresi kaget nya masih terlihat setelah menyadari bola hampir mengenai wajahnya. Dia menghembuskan nafas lega dan kembali melempar bola itu ke arah Chan tetapi arahnya malah berbelok dan mengenai seorang guru yang kebetulan lewat di depan salah satu kelas.

Ekspresi yang ditunjukkan oleh Chan membuatnya semakin takut. Chan berlari mendekat lalu menggenggam pergelangan tangannya membawa dia pergi dengan cepat sebelum guru itu menyadari bahwa Luna lah yang sudah melempar nya menggunakan bola basket.

"Kamu!"

Guru yang bergenre pria itu berlari mengejar mereka, dia juga meminta bantuan kebersihan sekolah yang sedang beristirahat di bawah pohon dengan angin sepoi-sepoi.

"Kedua orang tuaku bisa dipanggil kesekolah gara-gara ini."

Luna ketakutan hebat sambil berlari dengan gandengan tangan Chan.

"Jangan panik. Ingat apa yang aku katakan tadi di perpustakaan."

"Iya."

Next Chapter berikutnya....