webnovel

3. Mas Alesander

Dinding-dinding kaca di depannya memantulkan sebuah bayangan berupa perawakan tegap yang tengah berdiri tepat di depannya.

Tubuh atletis dengan otot yang merayap bagai akar serabut membuatnya terlihat nyaris sempurna. Di tambah wajah tampannya yang sangat memukau dengan rambut kecoklatan yang sedikit panjang.

Dia, si pemilik perusahaan fashion terbesar nomor satu di Asia. Alesander Morozova namanya. Si tampan yang menawan dengan tinggi kurang lebih seratus sembilan puluh sentimeter dan manik matanya yang berwarna biru kehijauan.

Dia berdiri tegap dengan mata tajamnya, menunggu seseorang yang katanya adalah calon menantu dia.

Rambutnya yang memanjang dia ikat setengah ke belakang. Matanya yang tajam terlihat semakin menggelap seolah baru saja di asah.

Tubuh bagian belakangnya teramat kekar. Dengan punggung lebar yang dipenuhi oleh otot, dan juga lengan atletisnya yang cukup besar. Dan saat dia berbalik, ketampanannya semakin terlihat jelas. Dada bidangnya yang sangat pas dan atletis, ditambah dengan rahangnya yang cukup runcing.

Pahatan dewa Yunani yang satu ini terlihat hampir sempurna. Indah, dan memukau.

Namun, alisnya yang semula terlihat tenang lama kelamaan terangkat pelan. Dia terusik dengan suara di luar ruangannya yang terdengar gaduh.

Alhasil, Alesander melangkah perlahan menuju pintu, kemudian membukanya.

Sewaktu pintu terbuka, Alesander sedikit terkejut mendapati seorang gadis muda yang terlihat cantik dan menarik. Tanpa perlu bertanya sekalipun, dia sudah langsung mengerti tentang siapa sosok gadis muda tersebut.

Siapa lagi jika bukan calon menantunya? Kekasih dari putranya sendiri.

Mata Alesander mengamati gadis muda tersebut dari ujung rambut hingga ke ujung kakinya.

Hanya satu kata yang bisa mewakili penglihatan Alesander saat ini.

Cantik.

Ya, hanya itu.

Rupanya, putranya memiliki selera perempuan yang cukup baik.

Di tengah pemikirannya sendiri seputar gadis itu, tiba-tiba suara merdu mengusik telinganya.

"T-tuan Morozova?" Tanya gadis muda di depannya.

Melihat gadis itu mendongakkan kepalanya, Alesander tanpa sadar mengunci manik mata berwarna hitam legam di depannya.

"Hm. Dengan saya sendiri. Jadi, kamu calon menantu saya?" Tanya Alesander.

"B-bukan… Ciel bukan calon menantu. Tetapi, calon istri Anda." Dalam sejarah empat puluh tahun Alesander hidup, tidak pernah terpikir sekalipun dalam hidupnya untuk mendengar hal mengejutkan yang dikatakan Ciel. Meski Alesander sendiri digilai banyak perempuan, tetap saja tidak ada yang seberani gadis di depannya ini.

Saking kagetnya, Alesander sampai mematung beberapa saat dengan keningnya yang berkerut sempurna.

Tak hanya Alesander yang terkejut. Adi, sekretarisnya juga demikian. Sama kagetnya dengan Alesander. Dia berdeham pelan, berusaha menyadarkan mereka yang saat ini saling pandang satu sama lain.

"Saya akan segera menyiapkan mobil Anda, Pak Ales. Apa Bapak ingin berpesan sesuatu?" Tanya Adi.

Alesander menyadarkan pikirannya sendiri, berdeham pelan. "Ekhem… ya, tolong reservasi restoran di dekat sini. Kamu suka makan apa?"

Adi sedikit kebingungan karena tidak biasanya Alesander menanyakan hal itu. Dengan sedikit ragu, Adi menjawabnya. "Saya makanan Indonesia saja—"

"Bukan kamu, Adi. Tetapi, Ciel. Kamu suka makanan mana, Ciel?" Tanya Alesander pada gadis yang digadang-gadang merupakan calon menantunya itu.

Ciel yang tidak menyangka akan mendapat tawaran seperti ini, membulatkan matanya sempurna. Dengan gugup dan terbata-bata, dia menjawabnya. "Ehm… Ciel sukanya makan makanan mana ya? Ciel suka apa aja, Om." Jawab Ciel, sedikit gugup. Dia sampai tidak bisa berpikir karena gugup.

"Kalau begitu, reservasi restoran Indonesia di dekat sini. Untuk lima belas menit kedepan…"

"Mari Ciel, kita turun ke basement. Ada banyak yang ingin saya bicarakan dengan kamu." Alesander berjalan terlebih dahulu, diikuti Ciel yang mengekor di belakangnya. Dia benar-benar kicep. Bagaikan kerupuk yang terlalu lama di luar. Tak bersuara sedikitpun. Hal itu dikarenakan aura Alesander terlalu kuat untuk dia lawan.

Sesampainya di basement, Alesander langsung di sambut oleh seorang supir dan juga beberapa orang bodyguard. Mereka membukakan pintu untuk tuannya dan juga Ciel.

Sepanjang semua itu terjadi, Ciel hanya bisa menurut. Dia masuk ke dalam mobil mewah Alesander, diam-diam mengaguminya.

Tidak, Ciel bukanlah orang tidak mampu. Nyatanya, dia juga anak seorang pengusaha. Ayahnya memiliki sebuah perusahaan properti sedangkan ibunya sendiri bekerja sebagai seorang pengacara yang cukup kondang.

Selama di perjalanan, Ciel benar-benar bungkam. Dia tidak berkata-kata sedikitpun. Yang dia lakukan hanyalah memandangi gedung-gedung tinggi di luar sana, bahkan sampai menghitungnya.

Di tengah keheningan yang ada, sebuah ponsel tiba-tiba ter sodorkan di depan mata. Ciel mengerutkan keningnya, menatap si pemilik ponsel tersebut yang rupanya adalah Alesander.

"Ciel juga punya handphone kok, Tuan." Ucap Ciel, dengan bodohnya.

Alesander menaikkan sebelah alisnya, terkejut. Apa gadis itu baru saja berpikir bahwa Alesander membelikannya ponsel? Yang benar saja. Dia pikir Alesander adalah sugar Daddy?

"Saya bukan memberi mu handphone. Saya ingin meminta nomor handphone mu." Kata Alesander.

Pipi Ciel mendadak memerah sempurna. Dia menangkupnya, berujar malu-malu. "Ternyata Tuan Morozova agresif juga ya? Ciel pikir akan seperti di novel-novel. Sikapnya dingin dan tidak tersentuh. Apa karena kecantikan Ciel yang tidak terbantahkan ini?" Gumam Ciel.

Alesander semakin dibuat kebingungan dengan tingkah abstrak gadis di sampingnya. Sudut bibir sebelah kanannya sampai tertarik ke atas. "Ehm… saya meminta nomor handphone kamu bukan karena saya tertarik. Saya memintanya karena kamu adalah kekasih putra saya. Apa salah?"

Lagi-lagi, Ciel merasa tersambar petir di siang bolong. Dia terdiam dengan rasa malu yang meningkat hingga ke ubun-ubun. "Ciel kirain Tuan tertarik sama Ciel… kalau Tuan tertarik 'kan Ciel jadi gak usah susah payah godain Tuan." Gumamnya tanpa sadar.

Tangannya meraih ponsel Alesander, mengetikkan kombinasi angka yang berupa nomor ponselnya.

"Ini, Tuan… nomor handphone Ciel— Astaga!" Ciel terkejut sewaktu ponsel di tangannya tergelincir dan jatuh begitu saja.

Alesander yang melihatnya juga sama terkejutnya. Dia langsung meraih ponselnya, tercekat sewaktu melihat layarnya sedikit pecah. "Seriously?! Perasaan bukan jatuh dari lantai dua. Hanya dari tangan dia ke lantai mobil." Gumam Alesander.

Ciel merasa cukup bersalah. Dia menggigit bibir bawahnya, ketakutan. "M-maaf, Tuan… Ciel gak sengaja." Cicit Ciel.

Menyadari ketakutan Ciel, Alesander mencoba untuk terlihat tenang dan biasa saja. Meski dalam benaknya, dia cukup kebingungan. "Ya, tidak masalah. Saya bisa membelinya lagi."

"M-maaf sekali lagi, Tuan… Ciel tidak sengaja." Katanya, sekali lagi.

Alesander jadi semakin tidak tega. Dia menghembuskan nafas kasar, kembali menenangkan gadis muda yang katanya calon menantu dia. "Kamu tidak perlu ketakutan seperti itu. Saya tidak mempermasalahkannya. Dan juga, berhenti memanggil saya dengan sebutan Tuan karena saya bukan Tuan kamu. Panggil saja saya dengan sebutan yang lebih santai."

"Hm? Seperti apa, Tuan?"

"Pikir sendiri saja."

"Om?"

Bola mata Alesander berputar malas. "Saya bukan paman kamu."

"Kalau begitu, Daddy?!"

"Dan saya bukan sugar Daddy kamu!"

"Ya maaf… terus, Ciel harus panggil Tuan dengan sebutan apa?! Om gak mau, Daddy gak mau?! Masa Ciel panggil dengan sebutan Kakek?!" Ciel yang habis kesabaran mulai mengeluh. Dan itu terdengar hingga ke telinga Alesander.

Alesander menghela nafas berat, ikut berpikir. "Panggil Om saja. Sepertinya, itu yang paling normal."

"Enggak! Ciel tahu yang paling normal apa!"

"Apa?!"

"Mas… Mas Alesander. Duh, rasanya seperti suami istri."