webnovel

Dugaan Pesugihan

Kali ini aku mengunjungi tempat yang jauh berbeda dari kediaman milik Pak Kusumo, karena di sini terlihat jauh lebih menyeramkan.

Kupikir di kota tak semenyeramkan dan sesepi ini, tetapi aku salah, nyatanya di sini sangatlah sepi.

Akan tetapi, kalau aku takut, tentu masalah ini tak akan mendapatkan jalan keluar sesuai yang aku mau, jadi suka tak suka, harus diteruskan.

Langkah kakiku menyusuri jalan yang teerlihat sangat bersih. Jalan ini hanya bisa dilalui dengan kendaraan roda dua, sedangkan aku tadi menggunakan taksi.

Kususuri jalan sambil mencari nomor rumah  kediaman Ibu Rohani. Sewaktu aku pulang mengantar Gina, Gina bilang dia sempat bertemu juga dengan wanita itu yang kebetulan datang saat dia sedang berobat ke Pak Kusumo, mereka hanya berbasa-basi dan berkenalan saja, tanpa berbincang banyak.

Gina tak punya banyak informasi apapun lagi, dan aku sudah cukup mengganggunya juga, jadi lebih baik dia tak tahu banyak daripada terlibat semakin dalam dan dia menjadi incaran dari wanita yang terus saja menggangguku semenjak pergi dari Mas Fadil.

Aku terus berjalan dengan hati-hati dan perlahan, kepala tengok kanan dan kiri juga untuk memastikan tak melewatkan satu nomor pun, tetapi tak jua menemukan di mana rumah orang itu.

Hingga aku menemukan sebuah warung yang sepertinya menjual minuman, karena ada seorang pria tua dengan handuk melingkar di lehernya sedang menikmati minuman sambil duduk di bangku kayu panjang.

Tanpa pikir panjang, aku menghampirinya saja, ingin bertanya di mana letak rumah orang yang aku cari.

Ketika aku sampai di depan warung,  aku langsung menghampirinya, dia yang menyadari gerak-gerikku tampak kaget mungkin karena aku terlalu tiba-tiba.

Pria yang tadinya meletakkan kaki di atas bangku, menurunkannya sambil tterus matanya mengawasiku. Ekspresinya hanya terlihat terkejut sesaat, kemudian dia terlihat biasa saja dan malah jadi datar.

Pemilik warung yang tadi kulihat sedang menata gorengan di atas nampan, menengok juga ke arahku, dia juga tak tersenyum. Kupikir aneh, mana ada pemilik warung yang tak menyambut seorang pengunjung.

Dari sini aku lebih baik basa-basi dulu dengan memesan minuman saja dulu, kebetulan haus sehabis jalan dari depan.

"Bu, saya pesan es teh tawar, satu, ya."

Ibu dengan rambut yang dicepol itu mengangguk, ada seulas senyum yang terbit, walaupun sebentar setidaknya aku bisa mengambil hatinya.

"Pak, saya duduk di sini, ya?" Aku mengambil duduk di samping bapak itu yang memberi respons anggukan sambil meneruskan acara minum kopinya yang terlihat nikmat sekali.

Es tehku disajikan, Ibu pemilik warung mengambil duduk di kursi seberang sambil merapikan aneka roti dan juga makanan ringan yang tersaji di meja.

Setelah meneguk sedikit teh tawar dingin yang menyejukkan tenggorokan, aku mulai memberanikan diri untuk bertanya kepadanya.

"Bu, apa Ibu tahu di mana rumahnya Bu Rohani?"

Wanita itu langsung menghentikkan kegiatannya dan menatapku cukup lama, kemudian dia bangkit dari duduk dan segera mendekat kepadaku dengan terburu-buru. Pria yang ada di sampingku juga bersikap sama, dia menggeser duduknya dan mendekat kepadaku sampai membuat tak nyaman.

"Iya, kami semua tahu, tapi tak berani  menyampaikannya  ke Mba, emang ada urusan apa nanya orang itu? Memang gak ada orang lain?"

Aku merasa ada yang tak beres, benar kata Pak Kusumo jika dia dikenal, bahkan pria yang kupikir adalah pedagang yang sedang beristirahat di warung ini saja tahu.

"Kebetulan saya hanya diminta mencari alamatnya untuk menyampaikan pesan Bos saya di kantor."

Lebih baik aku berbohong saja, dibanding membuat dua orang ini meras curiga dan akhirnya mereka malah tidak mengarahkanku ke kediaman Ibu Rohani.

"Oh, mau cari pesugihan, ya?" tanya Ibu itu dengan nada yang sinis.

Mendengar pertanyaannya untung saja tak membuatku sampai terlonjak. Jujur saja aku takut mendengarnya. Ternyata Ibu Rohani adalah orang yang lebih parah dari pada Pak Kusumo.

Biasanya orang pintar lebih kepada hal positif, ini malah menjadikan orang menjadi sesat.

Agar tak disangka mau mencari pesugihan sesuai pesugihannya, membuatku harus terburu-buru dengan menggelengkan kepala, membantah dan tak mau sampai dicurigai.

"Iya, kamu ga akan tahu, tapi bisanya memang orang-orang kaya itu tak punya kemampuan banyak untuk mencari banyak pelanggan, makanya mereka mencari banyak pesugihan agar bisa terus bertaahan. Iya, kan, Pak?"

Bapak itu setuju dengan pertanyaan Ibu warung.

Aku menelan saliva susah payah karena takut sekali jika ada yang menerka-nerka lebih dalam tentang tujuannku. Walaupun aku tak mencari pesugihan, tetap saja aku ini termasuk dari orang yang diincar menjadi tumbal sebuah ritual pesugihan. Kalau aku nekad bicara tentuu saja ini akan jadi tanda tanya besar, dan mereka tak akan perduli juga karena tak percaya. Mana ada mangsa yang datang ke kandang pemangsa.

Akan tetapi, aku tidak boleh menyerah dan terpancing mengatakan hal di luar tanggung jawabku sebagai orang yang mengaku mau mengantarkan pesan. Jadi, daripada berbohhong dengan banyak alasan lebih baik aku bertingkah bodoh sekalian dengan tertawa.

"Saya gak tahu pesan appa yang pasti saya hanya diminta mengantar saja."

"Yasudahh kkalau kamu gak cerita gak apa=apa, kamu lurus aja, ya di jalan sana, lalu belok kanan dan kamu akan menemukan rumah yang mau dituju, tetapi setelah kamu menemukan yang kamu cari, tolong jangan beritahu dia kalau saya yang memang menunjukkkannya kepada kamu, setuju?"

Aku mau cepat dan aku mengangguk saja daripada mesti menunjukan ketakutanku pada ibu ini.

Sebelum pergi aku lebih dulu membayar minumanku dan ibu yang memeperkenalkan dirinya yang bernama Lia, tersebut berjalan di depanku dengan langkah yang kecil-kecil aku mengikutinya dari belakang dan meniru kelakuannya.

"Saya harap kamu ga ikut terjerumus dalam pesugihan yang santer sekali di infokan oleh pihak yang mengaku tahu apa kegiiatan yang dilakukan Rohani, kami tak punya bukti jadi kami belum bisa menjebloskan dia kesana."

Aku mengangguk, sedikit yang kutau rasanya lebiih baik, karena aku juga harus mencari wiji marry yang sangat baik dan bagus.

Sekian berjalan dalam keheningan lalu Ibu Lia mendapat banyak sapaan serta pertanyaan kenapa aku ada di sampingnya dan kenapa berjalan menuju ke rumah Rohani yang menyyeramkan.

Ibu Lia terus berbohong, dan tak mau mengatakan kalau aku ini adalah orang yang mau pergi ke rumah temannya dekat dengan sekolah aku.

Hingga kini dia berhenti di depan sebuah rumah yang sangat tak terawat dengan banyaknya sampah di depan pintu masuk. Rumahnya cukup besar tapi entah mengapa jadi seperti itu.

"Ini rumahnya dan saya hanya bisa sampai di sini. Saya permisi."

"Makasih, ya, Bu," kataku sambil memegang tangannya dan kemudian masuk ke dalam.

Aku menarik napas dan akhirnya mengetuk pintu , lalu tak beberpa lama kemudian suara decitan pintu terengar nyaring seiring dengan detak jantungnya yang semakin cepat.