Rara yakin, hati Ayman pasti sangat kacau, karena balonnya tinggal empat ... eh, enggak ... maaf, beda konteks.
"Oh ... oke, Ra. Makasih infonya." Ayman kembali mendekati meja kompor yang masih kotor, lalu dibersihkannya.
Dengan tangan yang menggenggam kain lap berwarna kuning, Ayman menggosok noda membandel di meja itu dengan perlahan.
Tampak lemas dan tidak bertenaga. Raut wajahnya pun terlihat datar, bibirnya membulat tanpa lengkungan.
Tata yang mendengar berita itu pun mulai penasaran. Matanya melebar dan mulai memotong jarak antara dirinya dan Rara.
"Kenapa, Ra? Kok ditolak?"
Mendengar pertanyaan Tata, Ayman sedikit menoleh karena penasaran juga dengan jawabannya. Ya, sekalian mengasah diri. Siapa tau, alasan bos menolak resep donatnya bisa menjadi pelajaran untuk Ayman kedepannya.
"Ya ... kata bos, sih ... donatnya enak, unik. Kemarin juga satu mangkuk donat yang Kak Ayman kasih, dimakan semua sama bos." Rara tertawa kecil.
Tata makin tidak sabaran. "Cepet deh, Ra. Jangan muter-muter. Udah ... alesannya apa ditolak?"
"Ish! Sabar, dong! Biar Kak Aymannya juga ada rasa bahagianya. Kalo to the point kan takutnya Kak Ayman kena mental."
Ayman merapatkan bibirnya agak sebal.
"Hehe ... becanda, Kak."
"Jadi ... kata bos, donatnya harus bisa tahan lama. Soalnya kalo udah dibikin, terus dalam waktu singkat belum habis, kan sayang ...," lanjut Rara.
Ayman kembali mendekati Rara.
"Ra ... pelanggan kita kan udah dari mana-mana. Masa iya khawatir gak habis? Bisa dijadiin sistem 'pre-order' juga, kan."
"Yeh ... Kak Ayman kalo mau ngajuin saran jangan ke Rara, ke pak bosnya aja langsung."
Ayman memiringkan bibirnya kelelahan. Kembali ke tempat semula dia bersih-bersih. Tak lama, dia mengambil satu baskom adonan donat. Dan tak disangka, dia malah membuangnya ke tempat sampah.
Rara yang melihatnya pun menjadi tidak tega. Jiwanya yang tidak suka menghambur-hamburkan makanan pun turut mengomentari perbuatan Ayman itu.
"Eh! Kak Ayman ...," tegur Rara dengan nada memelas.
"Kok dibuang? Kan sayang ... mending goreng aja sekarang, lumayan buat Rara makan di rumah," lanjutnya.
"Apa sih, Ra ... ini tuh adonan donat jamur yang baru. Udah lama, tadi saya lupa goreng sekalian. Udah basi!" jawab Ayman. Tata pun tertawa meledek Rara. Rara mendengus.
Plastik sampah itu kemudian diikat Ayman. Rara hanya terdiam melihat Ayman membuang adonan donat yang super lezat itu. Ingin rasanya dia memutar waktu dan mengingatkan Ayman untuk menggorengnya tadi.
Tapi, keinginan itu hanyalah sebuah kemustahilan yang tak dapat diwujudkan. Seperti dia yang sudah menjadi milik orang lain dan kau tak mempunyai hak untuk merebutnya. Eaa
***
"Selamat pagi, Mas Ayman!" sapa Hilmi dengan tenaga dalam sambil menepuk pundak Ayman.
Ayman pun terkejut hingga bahunya terangkat. Hari ini masih sangat pagi. Embun sejuk masih menyelimuti. Toko donat pun belum sepenuhnya dibuka.
"Udah sarapan, Man?" tanya Hilmi yang sedang duduk santai di kursi bawah tangga sambil meminum kopi hangat.
Ayman hanya melamun, lalu duduk di samping Hilmi tanpa membuyarkan lamunannya terlebih dahulu.
"Man?"
Ayman sadar dari haluannya.
"Udah, Mi," jawab Ayman singkat, lalu menundukkan pandangannya ke bawah.
Hilmi merasa ada yang tidak beres dengan sahabatnya itu.
"Eh, eh, eh ... galau, Man?" ledek Hilmi.
"Sama siapa? Cerita, dong ... cantik, gak?" lanjutnya.
Ayman mengalihkan pandangannya ke arah Hilmi. Menatap matanya dengan malas dan penuh emosi yang tidak bisa terlampiaskan karena kesedihannya.
Hilmi tertawa kecil. "Kenapa? Ada masalah apa?"
Sebagai sahabat yang baik, Hilmi mencoba untuk mendorong Ayman agar mau berbagi cerita.
Ayman hanya terdiam. Hilmi menunggu jawaban dari Ayman sambil menyeruput kopi hangatnya itu. Tak tahan dengan kesedihannya, Ayman menghembuskan napas dengan berat.
"Resep baru yang kemarin saya ajuin ditolak, Mi."
Hilmi menaruh gelas kopinya. Menepuk punggung Ayman dengan penuh perhatian.
"Gapapa, Man ... Coba lagi. Sesungguhnya, terdapat satu keberhasilan di antara ribuan kegagalan." Kata-kata bijak mulai keluar dari mulut Hilmi.
"Kegagalannya ribuan ... keberhasilan cuman satu, Mi?"
"Ya ... minimal ada yang berhasil," jawab Hilmi setengah termotivasi, setengah mengakui kemalangan yang terjadi.
Ayman menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu.
Tak lama, ada suara anak kucing yang terdengar jelas. Hilmi yang suka kucing pun langsung memerhatikan suara itu. Sudah jarang dia mendengar suara kucing mengeong sesering itu.
Karena penasaran, dia membuka jendela yang berada di bawah tangga. Dan ternyata, ada seekor anak kucing menggemaskan di tengah parkiran.
Karena Hilmi takut kalau kucingnya ditabrak kendaraan, dengan cepat Hilmi langsung menghampirinya.
"Man! Bentar, ya!" Hilmi berlari ke arah luar.
Ayman yang masih merasa sedih, secara sengaja mengambil kopi Hilmi yang meminumnya hingga habis. Tentunya dengan wajah lesu, serta tanpa mata yang berkedip.
Tak lama kemudian, Hilmi datang sambil menggendong anak kucing berbulu oranye keemasan itu dengan penuh kasih sayang.
"Man? Lucu, gak?" tanya Hilmi yang hendak menghibur Ayman dengan anak kucing yang lucu itu.
Tanpa menjawab sepatah kata pun, Ayman mengelus kepala anak kucing itu. Terlihat jelas bahwa kucingnya merasa nyaman dengan perhatian Hilmi dan Ayman.
Tak lama kemudian, Nadira datang.
"Selamat pagi ...," sapa Nadira.
Ketika Hilmi dan Ayman menoleh, Nadira pun tersadar akan kehadiran kucing yang menggemaskan itu.
"Hilmi! Ngapain bawa kucing ke sini?" tanya Nadira dengan nada sedikit tinggi dan merasa takut.
"Ini, Mbak ... tadi kucingnya sendirian di tengah parkiran. Takut ketabrak, jadinya saya bawa ke sini." Hilmi menjelaskan.
"Keluarin, gak!" seru Nadira.
Hilmi dan Ayman saling bertatapan. Nadira terlihat takut akan sosok anak kucing yang menggemaskan itu.
"Mbak Nadira takut kucing?" tanya Hilmi polos.
"Apa sih ... enggak, cuma jijik aja!"
Sifat jahil Ayman mulai menghantuinya. Karena sudah lama bekerja dengan Nadira, dan Nadira juga sering mengerjainya. Kini, saatnya Ayman balas dendam yang sudah lama terpendam.
Dengan sengaja, Ayman mengambil anak kucing itu dari genggaman Hilmi. Lalu, mendekatkannya ke arah Nadira.
"Ayman!" teriak Nadira yang secara tak sadar mundur menjauh dengan kedua tangan yang terangkat ketakutan.
Ayman pun tertawa kecil dan makin mendekati Nadira.
Tentu saja, Nadira semakin gelagapan karena takut. "Ayman! Buang, gak? Saya pecat kamu, ya!"
Meskipun ketakutan, Nadira tetap terlihat lucu. Hal itu membuat Hilmi tak kuasa menahan tawanya.
"Yeh ... emangnya ini sampah, dibuang? Lagian yang bisa pecat saya kan pak bos. Huuu ... hahaha ...," ledek Ayman sambil tertawa puas.
Hilmi pun ikut tertawa melihat tingkah Ayman yang tak mau menyerah dan Nadira yang tak mau terlihat lemah.
"Hilmi! Jangan ketawa kamu! Cepetan ambil kucingnya terus bawa ke luar!"
Hilmi melihat ke arah Ayman. "Jangan, Mi! Bantuin saya bujuk Mbak Nadira supaya mau elus kucingnya!"
"Aymannnnnnnnn!" karena tak kuat, Nadira pun kabur menaiki tangga dengan cepat sebelum Ayman menyerang mentalnya.
Ayman dan Hilmi pun tertawa puas melihat atasannya menderita.