webnovel

Chapter 4: Sangat Berharga

Mendengar pernyataan yang bahkan sudah di sadari dari awal olehnya, dia menjadi terdiam mengingat bagaimana aku merasakan sedihnya ketika dia mulai menjadi pria yang bahkan sangat membosankan. Aku masih berumur muda, aku belum bisa di bilang dewasa, jadi anggap saja aku seperti putri kecilmu dulu, tak perlu mengurangi kontak tawa kita jika kau tak ingin aku membahas hal ini.

Waktu sangat lama berlalu hingga tiba-tiba, dia meletakan sendok dengan suapan terakhirnya, kemudian berdiri dan melepas dasi yang di pakainya, kupikir dia tak mau membahas hal itu dan tak menanggapi ku yang menjadi kecewa. Aku tahu, dia pasti sedang tak mau membahasnya.

Tapi siapa sangka, dia mengatakan sesuatu. "Apa yang kau tunggu? Ayo keluar" Tatapnya, seketika aku terkejut mendengar itu bahkan Ayah langsung mengambil sebuah baju dan memakainya langsung, dia memakai singlet yang memperlihatkan otot lengan maupun tubuhnya itu, aku langsung berdiri.

"Yang terakhir sampai di sungai, dia payah!" Teriak ku yang kemudian berlari duluan.

"Hei, tidak adil..." Ayah langsung mengejarku.

Begitu tahu aku di kejar olehnya, aku mencoba untuk mempercepat lari ku, secepatnya, harus lebih cepat dari dia, kali ini aku akan menang setelah sekian lama aku kalah dengan nya, tapi ada sesuatu yang mengganggu, kami tertawa entah kenapa merasakan keseruan yang terjadi dan tanpa sadar, tawa itu membuat gerak ku menjadi lambat. Sepertinya Ayah akan menyusul ku dan mendahuluiku.

Kami berlari ke halaman belakang yang merupakan hutan yang masih bisa di sinari cahaya matahari. Aku berlari sangat keras dan mencoba mempercepat tapi tetap saja, aku akan kalah karena Ayah berhasil menyalip ku dengan mengejek ku. "Sampai jumpa lambat!"

"Itu tidak adil!! Kaki Ayah lebih panjang!"

"Bukankah tadi sudah adil?" Ayah berlari dengan menghadap belakang hingga dia berlari sungguh sungguh menatap ke depan.

"Akh!! Ayah!! Kau harus menyamai ku!!" Teriak ku hingga melihat Ayah memperlambat larinya membuatku langsung sepadan dengan nya.

"Bagaimana? Itu sungai nya kan?" Tatapnya sambil menunjuk singkat pada sungai yang terlihat segar di depan kami agak jauh, bagaimana bisa dia tidak kewalahan padahal aku sudah ngos ngosan dan mencoba berlari. Kami tak peduli sepatu kami menginjak rumput yang basah dan lembab, keringat yang semakin membasahi tubuh dan seluruh tubuh yang mulai beradaptasi bergerak.

"Aku tidak akan kalah!!" Teriak ku. Tapi hal tak terduga terjadi, aku tiba tiba terjatuh karena salah satu kakiku masuk ke lubang yang tak terlihat. "Ah?!" Ketika aku akan jatuh, Ayah mencoba reflek menadahi jatuh ku tapi dia kurang cepat sehingga aku terjatuh tengkurap, semua tubuhku menyentuh tanah, untung nya aku masih bisa menggunakan tangan untuk melindungi wajahku. "A... Ah... Sakit..." Aku hampir merengek.

Lalu Ayah berlutut menatap ku. "Ehem, tidak boleh menangis" Tatapnya, dia mencoba mengaitkan bahwa aku tak boleh menangis dan harus kuat.

"Ha?! Memang nya ini tidak sakit!" Aku membentak sambil duduk menatap kakiku yang untung nya tidak kenapa napa, lalu melihat lubang tadi. "Sial, itu lubang apaan sih"

"Sepertinya itu di buat oleh hewan" Kata Ayah, dia melihat dan membuka lubang itu, tepatnya di tengah tanah hutan itu, ada lubang terowongan membuat kami saling menatap ke lubang itu.

"Menurut mu hewan seperti apa itu?" Tanya ku.

"Maybe tikus, atau apapun itu" Balasnya membuatku terdiam berpikir. "Tunggu, tikus? Apa maksud Ayah? Mana mungkin tikus muncul dari tanah?"

"Bisa jadi, mereka suka bagian lembab, mungkin aku akan memasang beberapa jebakan tikus di sini nanti... Kau bisa berdiri?" Dia mengulurkan tangan.

"Ha... Yeah...." Aku menerima uluran nya kemudian berdiri, tapi kebetulan aku melihat pemandangan hutan dari tempatku. Apalagi hari sudah mulai sore gelap. "Bukankah ini sangat hebat, kita belum pernah merasakan hal ini sebelumnya..." Tatapku.

Ayah hanya menatap ke arahku menatap, tapi ia teringat seauatu. "Mau lihat sesuatu yang lebih bagus?"

"Apa itu?!" Aku langsung antusias.

"Kemarilah" Ayah berjalan duluan dan aku mengikutinya. Kami melewati sungai yang jernih tapi dangkal itu dengan batu batu yang sudah tersusun, kemudian ranting yang sedikit mengganggu dan akar yang hampir menyandung ku hingga kami keluar dari hutan, tidak keluar, tapi pohon pohon sudah berakhir di sana, kami seperti di atas jurang dan di depan sana ada matahari yang tampak terbenam berwarna jingga membuatku terkesan.

"Waw..... Itu keren sekali" Aku sangat kagum, karena belum pernah melihat hal seperti ini kemudian Ayah terduduk di batu besar di sana dan mulai mengatakan masa lalu. "Ibumu suka pemandangan yang seperti ini, dia selalu menarik tangan ku untuk menemaninya hanya untuk melihat itu"

Aku tidak tahu ibu juga suka hal seperti ini. "Lalu, bagaimana dengan Ayah? Apakah kau juga menyukai nya?" Tanyaku.

Dia terdiam sebentar dan menjawab dengan wajah membosankan. "Tidak, itu membosankan"

Mendengar itu membuatku menjadi kecewa dan menurunkan senyum ku, tapi Ayah belum selesai bicara. "Tapi jika ada seseorang yang menyukai nya, kita pun juga akan ikut menyukai nya" Tambahnya yang membuatku langsung kembali tersenyum senang.

Lalu aku juga duduk di batu yang lain sambil masih menatap pemandangan itu, aku bisa merasakan Ayah menatap ku sangat lama dengan senyuman kecil, kemudian mulai memanggil ku. "Clarina Berezira"

Nama lengkap milik ku membuatku menatap ke arahnya dengan bingung, kenapa dia memanggilku dengan nama lengkap ku?

"Kelak kau harus menggunakan nama mu, untuk menunjukan siapa dirimu, untuk mengartikan siapa Berezira dalam nama mu, mereka akan mengerti" Tambahnya.

"Apa, maksud Ayah?" Aku menatap kosong, yeah, nama Berezira adalah nama dari Ayahku, tentunya nama itu tidak akan asing di kemiliteran, dia sangat terkenal di militer tapi memilih mengasingkan diri di hutan ini.

Tepat sebelum aku menyelesaikan bertanya ku, dia merogoh saku di celananya dan mengulurkan sesuatu dengan adanya tali perak yang tergelantung di genggaman tangan nya, ketika genggaman itu terbuka dan mengangkat benda itu dengan jarinya, aku menjadi terdiam kaku menatap itu.

Pastinya sebagian orang sudah akan mengerti itu apa, itu adalah Dog Tag, mungkin panjang bahasanya adalah sebuah kalung liontin perak yang berisi informasi dari anggota militer yang memakainya, di sana ada dua liontin, informasi termasuk nama Ayah, juga yang satunya adalah tulisan besar pangkatnya.

Pangkat yang begitu kuat, yakni A/0, zaman sekarang masih ada pangkat kekuatan seperti itu. Awalnya aku juga tak tahu kenapa dia menunjukan liontin itu yang setelah sangat lama aku tidak pernah ingin tahu.

"Pakailah ini" Kata Ayah membuatku terkejut.

"Kenapa aku, harus?"

"Karena kau putriku" Balasnya yang seketika membuat ku tambah terkejut tak percaya, dia mengakui begitu mudah.

"Jadi, apakah setiap anak dari seorang militer, harus memakai liontin milik orang tuanya? Apakah itu harus? Apa itu ada susuk beluknya? Oh, apa kau ingin aku meneruskan mu menjadi tentara begitu?" Aku menatap gengsi sambil menyilang tangan dan membuang wajah.

Mendengar perkataan itu, Ayah terdiam sebentar dan menghela napas panjang. "Apa kau sama seperti ibumu, tidak mengakui Ayah sebagai seorang Militer?" Pernyataan itu membuatku terdiam menatap nya. Aku tak bermaksud begitu. "Kenapa?"

"Inilah sebab mengapa harus meninggalkan militer, itu karena Ibumu tak mau Ayah meninggalkan nya dalam tugas yang menghabiskan hari, bulan dan mengurangi kebersamaan, karena itulah aku memutuskan untuk keluar tapi ini yang di dapatkan, dia mati begitu saja" Ayah mengatakan itu dengan wajah yang antara kecewa dan kesal pada takdirnya, kemudian aku merasakan hal yang sama, aku salah meremehkan nya selama ini hanya karena sikap ku yang begitu tak menghargai bagaimana dia mencintai pekerjaan nya tapi lebih harus bertanggung jawab pada Ibu, hal itu membuatku berdiri dari duduk ku dan mengambil kalung itu dari tangan nya membuatnya menengadah menatap ku.

Aku memakai kalung itu, yeah, kalung yang terlihat besar itu langsung bisa aku masukan di kepala tanpa melepas pengikat besinya, liontin itu bisa sampai di bawah dadaku, bahkan sampai di perutku. "Lihat, kau puas?" Aku menatap datar, tapi entah mengapa aku membuka mata lebar ketika dia tersenyum kecil dengan mata yang tulus, kemudian membuka lengan nya yang bertujuan untuk memeluk ku. "Kemarilah"

Dengan tatapan kosong, aku langsung menjatuhkan tubuhku dan kedua tangan besarnya memeluk ku dengan erat. "Kau akan menjadi gadis yang kuat, lebih kuat dari apapun, kau tidak boleh menangis, kuatkan dirimu dan pertahankan sikap yang tegas pada dirimu, jika sudah tak ada orang di sekitarmu, lindungilah dirimu sendiri karena kau berharga" Dia mengatakan itu dengan sangat pelan membuatku terdiam, bahkan aku tak bisa menahan air mataku, jari jariku hanya bisa meremas bajunya.

"Berharga?" Terdengar aku bertanya pelan di telinga nya.

"Yeah, kau sangat berharga, untuk siapapun di dunia ini..."

Apa maksudnya? Aku berharga, bukankah aku hanyalah gadis biasa. Aku hanya menjalani kehidupan yang membosankan yang bahkan tak akan pernah menjadi menyenangkan. Tapi sekarang, entah kenapa aura panas yang menyatu di antara kami masih ada.

Keringatku yang basah karena tadi seketika menjadi tambah panas ketika Ayah masih terus saja tidak melepaskan ku, apalagi matahari juga sebentar lagi malam, kami masih saling berpikir satu sama lain.

Tapi tiba tiba aku mengingat sesuatu, apalagi mendadak pandangan ku menoleh ke atas pohon yang membuatku terkejut karena ada sepasang mata buas kecil menatap kami, itu seperti hewan kecil yang berwarna hitam, ketika hewan itu pergi, aku menyadari itu adalah tikus hitam, pandangan mataku masih melebar apalagi mengingat berita di televisi tadi.

Kemudian aku mencoba memberanikan diri bertanya sesuatu karena aku sudah mulai mengerti apa yang terjadi.

"Ayah, apa kau tahu soal berita yang tadi di tayangkan? Aku yakin kau akan tahu melalui rumor di kantor bukan?" Tatapku.

Tapi Ayah terdiam mendengar itu, dia malah menjawab. "Tidak, tidak akan terjadi apapun, aku berjanji...."

Kenapa berjanji?