webnovel

Penunjuk Jalan

Sudah enam bulan aku di Jogja. Seharusnya aku liburan semester. Pilihannya adalah pulang untuk menemui mama atau berlibur ke tempat wisata.

Menjelajahi tempat-tempat baru yang belum pernah dikunjungi. Pilihan pertama kucoret dari daftarku, pulang ke kampung halaman dijadwalkan saat lebaran. Aku memutuskan untuk eksplore Jogja dan Jawa Tengah, baiknya kupilih siapa yang bisa kuajak.

Lita, Arie, Nuril atau Kak Ana. Akan kutanya mereka satu per satu apakah bisa menemaniku, tetapi rasanya mustahil. Harus kah aku menjelajahi dunia Maya, untuk kembali mencari siapa yang bisa kuajak serta, menemani momen romantis yang mungkin bisa tercipta. Siapa saja. Selama dia bersedia.

"Arie, Nuril... Jalan-jalan kemana liburan ini?"

Kukirim pesan pada BBM Grup.

"Jakarta, Mba Di. Ke tempat Uwak!"

"Ke Padang Mba Di, dsuruh pulang sama Mamak, ada yang harus diselesaikan."

Lita, jalan-jalan bersama kekasihnya. Dan yang tersisa satu-satunya adalah Kak Ana. Mungkin aku harus meneleponnya.

Panggilan dijawab pada dering ketiga.

"Iya, Di..."

"Kaka... Liburan ke mana? Jangan bilang pulang ke Papua, ya."

Sambil terkekeh, dia menjawab

"Trada pulang, Saya ke Magelang atau Salatiga, ada apa?"

"Mau jalan-jalan ini, tapi takada teman. Kakak pulang ke rumah keluarga, toh?"

"Iya, di Magelang ada acara, Saya seminggu di sana. Nanti kalau sempat jalan-jalan bisa saja."

"Ok, Kaka. Terimakasih ya"

Habislah harapan bisa punya teman jalan-jalan. Lagian baru satu semester ini, kami berteman, untuk ikut menginap ke keluarga mereka rasanya masih sungkan. Enam bulan di Jogja, aku belum kemana-kemana, hanya seputaran kota dan jalan kos - kampus. Beberapa kali jalan dengan Awan paling hanya ke kafe, atau warung nongkrong anak muda. Aku ingin menjelajahi alam lainnya. Kangen dengan suasana menyatu dengan alam. Camping dan Hiking.

Aku mulai berkelana pada aplikasi teman perjalanan -Couchsurfing- mencari teman nongkrong atau guide gratis untuk menemani jalan. Spot wisata di Provinsi DI Jogjakarta sangat lengkap. Alam terbentang dari Pantai hingga Gunung. Dataran dan Perairan. Surga bagi para pelancong. Masa pergantian tahun seperti ini, Jogja didatangi ribuan orang baik domestik maupun mancanegara.

Dua profil menarik perhatianku. Mereka berdomisili di Jogja. Pria pertama menampilkan banyak foto jalan-jalannya, gunung, dan pantai. Yang kedua menampilkan sebuah foto diri berlatar mobil off road dan sebuah kantor perjalanan. Kharisma yang ditampilkan foto mereka nyaris sama. Pria penjelajah alam.

Aku menghitung kancing baju untuk memutuskan. Akhirnya, aku memilih dia, pria yang menuliskan nama Lintang di profilnya. Pria kedua.

"Malam, kapan Mas bisa menemani Saya kemping?"

Pesan tanpa basa-basi kutuliskan pada balon percakapan di aplikasi itu. Lebih baik serangan langsung, jika dia tertarik, pesan akan dijawab.

"Mau kapan? Bebas, Saya lagi menganggur"

Beberapa menit aku sudah menerima jawaban, gayung bersambut. Kulancarkan aksi kedua.

"Ok, pin BBM Saya, 421Fd87e"

Aku yakin ia akan langsung mengirimkan ping* pada BB milikku. Tepat seperti dugaanku, tak sampai lima menit BB torch milikku berbunyi.

'Ping

'Ping

[Saya Lintang, salam kenal]

[Salam kenal, Saya Divi. Ada jadwal mau traveling kemana Mas? Boleh nimbrung?]

BBM yang kukirim benar-benak sok tahu. Begitu yakinnya aku ia akan mengajak aku ke acaranya, acara kemping komunitas yang sempat aku baca pada status dan undangan yang fotonya diunggah pada aplikasi di mana aku menemukan dirinya.

[owh, Kamu minat ikutan acara gathering anak-anak? Kami mau ke Prau-Dieng. Pernah ke sana? Tinggal di mana nih?]

[Mana yang mesti dijawab duluan?] kukirimkan emoticon senyum dan tertawa termasuk beberapa karakter hahahaha yang memenuhi layar BBM kami.

[Aku telepon, ya]

Taklama dari itu, BB ku bergetar dan deringnya memenuhi kamar.

"Kamu siap jadi patner aku, kan?"

"Maksudnya?"

"Acara komunitas itu malam minggu, aku akan jemput kamu kalau memang jadi ikut, persiapkan semuanya, termasuk kondisi kesehatan, dan tahan dingin. Prau memang tidak tinggi, tapi tetap saja perlu stamina yang tidak main-main. Masih ada waktu untuk mempersiapkannya."

"ooo ... Bisa."

Aku kehabisan kata untuk menjawab semua penjelasannya. Kami baru saja kenal beberapa menit yang lalu, dan dia sangat yakin bahwa aku serius.

"Saya mesti bayar berapa?" tanyaku kaku, entah kenapa jadi masalah biaya yang mengganggu pikiranku. "Di dunia tidak ada yang gratis 'kan?" senandikaku dalam hati.

"Lho, malah tanya bayar. Aku senang dapat teman. Sabtu sebelum sore kamu sudah siap ya. Tapi jika memang bisa sebaiknya kita ketemuan dulu dong, besok gimana?"

"Kita naik apa ke sana?" tanyaku tanpa mengidahkan pertanyaannya.

"Aku bawa mobil. Tenda dan perlengkapan kemping lainnya juga ada. Kamu cukup bawa badan dan perlengkapan darurat milikmu saja."

"Tapi ..." Aku masih bingung harus berkata apa.

"Aku yakin kita berjodoh."

Ditutupnya telepon sebelum aku menjawab apa_apa.

Notifikasi pesan BBMku berbunyi, kubuka, ternyata dia lagi.

[Kita jodoh. Aku yakin. Besok makan siang bareng, ya]

Pesan yang dilanjutkan dengan emoticon senyum dan cinta. Bibirku condong ke kiri, hidung mengerinyit.

'Jodoh? Apa sebegitu mudah seseorang berjodoh?'

[Saya kabari besok, ya. Kita bisa bertemu atau tidak.]

Aku membalas pesannya dengan sedikit malas, beberapa pria memang terlalu percaya diri memulai hubungan dengan seorang wanita. Mungkin karena aku yang lebih dulu menyapanya.

[Aku senang akhirnya ada teman perjalanan. Setelah ini kamu mau 'kan jadi bedfriend aku?"

Sekali lagi aku baca BBM yang dikirimkannya. Bed Friend?

Mungkin ia salah tulis.