7/8/22
Happy Reading
***
Mor melihat sekeliling. Keluar kamar Savita.
Ia berjalan menuju kamar Laya. Untuk sopan santun, ia tidak berani menyentuh pintu atau membukanya. Tugasnya hanya untuk memata-matai bukan untuk bersikap kurang ajar.
Oke.
Mor mengambil foto beberapa sisi rumah kost Laya. Ia keluar sebentar, memotret bagian depan rumah kost Laya lalu mengambil foto kamar Laya.
Terakhir yang dilakukannya adalah mengirimkan foto-foto itu pada Tuan besarnya— Tuan Jonathan Isamu. Memberitahu keberadaannya kenapa bisa dikost Laya, supaya tidak ada kesalahpahaman.
Mor kembali ke kamar Savita, sepertinya wanita itu belum selesai mandi.
Hem, haruskan ia menyusulnya?
Tling!
Oh, ada pesan chat dari Tuan Jonathan.
[Syukurlah dia tinggal di rumah kost yang layak.]
[Iya, tuan. Hanya lingkungannya saja yang kurang baik, tuan] Mor membalas pesan Jonathan.
[Kurang baik? Dalam artian kata?]
[Having seks, tuan] Balas Mor to the point. [Hanya Nona Laya yang bersih]
[Syukurlah. Hati-hatilah saat bekerja]
[Baik, tuan. Terima kasih untuk perhatian Anda]
Mor menunggu beberapa saat, siapa tahu Tuan besarnya akan mengirim pesan lagi.
Setelah lima menit menunggu …
Oke, tidak ada.
Mor melihat kamar mandi, lalu ia menghembuskan napasnya.
"Oke, baiklah." Mor meletakkan ponselnya lalu membuka satu persatu pakaiannya. Melipatnya dengan rapi diatas sofa.
.
.
.
Mor memasuki kamar mandi. Ia bisa melihat siluet tubuh Savita dibalik dinding kaca yang berembun.
Savita tidak mungkin tidak tahu jika Mor sudah di dalam. Ia hanya pura-pura tidak tahu saja. Ia masih asik membilas rambut panjangnya di bawah shower.
"Kau belum selesai mandi, nona?" tanya Mor basa-basi, sambil memandangi punggung Savita yang basah.
"Kenapa lama sekali?" Savita tidak mau berbalik badan. Ia sengaja mematikan showernya. Bulu kuduknya mendadak berdesir gelisah saat bisa merasakan suatu kehangatan yang menempel di belakang sana.
Emhh, ternyata kehangatan ini adalah dada bidang dan perut Mor yang rata.
"Saya harus menerima telpon dulu." Mor mencari alasan. Salah satu tangannya melingkar posesif di pinggang ramping Savita, sedang tangan lainnya menelusuri bahu kiri lalu jari telunjuknya memutar penuh kenakalan di lengan Savita.
Savita menutup matanya menikmati belaian sederhana itu. "Dari tuanmu itu?"
"Mmm." Mor mengangguk. Mengecup sekilas bahu Savita. Ia menyalakan kembali shower yang tadi dimatikan Savita setelahnya tangan itu digunakan untuk menangkup lembut salah satu dada Savita yang sangat pas di tangannya.
Savita menggigit bibirnya, ia menahan supaya tidak mendesah. Aghh, ternyata tangan Mor sangat kasar.
Sensasi ini, ughh! Ia belum pernah mendapat rabaan atau belaian dari pria dengan telapak tangan kasar seperti ini.
"Aku akan mandi dulu," bisik Mor tepat ditelinga Savita, ia menggigit lembut cupingnya lalu jari telunjuknya dengan nakal membelai manis area sensitif milik Savita.
Savita mengangguk. "Eummh," desahnya dengan lembut.
"Kau masih sabar menungguku, kan?"
Savita mengangguk lagi. Ia menghembuskan napasnya sesaat setelah jari nakal Mor terlepas dari miliknya. Jari itu membuka bibir miliknya dan hampir saja ia berteriak keenakan.
Huh, dasar pria penggoda!
Savita meraih tangan Mor. Ia mengecup nakal jari yang telah berani menyentuh miliknya tanpa izin.
Wawww, jari ini! Tidak kalah dengan jari jenjang milik pria kaku tadi. Malah ini ada texturenya. Kapalan. Ughh, pasti saat masuk ke dalam sana, akan ada rasa tersendiri nanti.
Savita sudah tidak sabar lagi.
"Jangan lama-lama," ucap Savita, tidak kalah berbisik. Keluar dari kamar mandi. Ia sempat melihat sekilas milik Mor yang masih tertidur. Ughh, saat tidur saja sudah seseksi itu, bagaimana jika tegang?
"Aku akan membuatnya berdiri dengan sempurna," gumam Savita geregetan sendiri. Ingin mencicipi milik Mor.
Ahh, cepatlah. Mandinya jangan lama-lama.
*
*
*
Jarvis merenggangkan tubuhnya yang kaku. Kepala, leher, bahu dan punggungnya seperti ada batu besar di atasnya.
Sangat berat. Dan lagi … hem.
Ia menghembuskan napasnya …
Dipangkuannya masih ada Laya yang tertidur. Mau dibangunkan kasihan, tidak dibangunkan tapi kakinya yang jadi korban.
Semutan, iya … itu rasanya seperti ada ribuan semut di dalam kakinya.
Aduh … duh!
Digerakkan saja sudah terasa sekali kramnya.
Disaat Jarvis sedang berkutat dengan kaki semutannya … disaat itulah lampu indikator padam.
Jarvis reflek melihat keatas …
Eh, sudah selesai, ya?
Operasinya lancar, kan? Tidak ada sesuatu hal yang serius, kan?
Eh, kenapa jadi aku yang ingin tahu?
Jarvis menunduk. Ia sangat khawatir dengan keadaan gadis ini jika terjadi sesuatu yang buruk pada tunangannya itu.
Tidak lama dari itu ada dokter yang keluar dari ruang operasi.
"Keluarga Tuan Vihan Mahendra?" Panggil Dokter yang bertanggung jawab atas operasi Vihan.
Jarvis refleks mengangkat tangannya, mau berdiri tapi … ini anak! Huh!
Walau sedikit gemas pada Laya, ia tetap dengan hati-hati memindahkan kepala Laya yang dipangkuannya keatas kursi yang sudah dilapisi jasnya sebagai bantal.
Jarvis mencoba membuat kepala Laya senyaman mungkin ada disana.
Oke, sudah!
Dokter yang sudah ada di belakang Jarvis sejak tadi, memang dengan sabar menunggu pria ini menyelesaikan kegiatannya.
"Bukankah itu Nona Laya?"
Jarvis mengangguk.
"Tunangan Tuan Vihan?"
Jarvis mengangguk lagi.
Dokter yang bernama Arvin itu mengernyitkan dahinya. Sedikit bingung. Selama enam bulan mengenal Laya Gemina, gadis itu tidak pernah membawa pria sama sekali.
"Lalu Anda?"
Jarvis mengulurkan tangannya. "Walinya, dok. Katakanlah saya kerabat dekatnya."
"Oh, begitu." Dokter Arvin dengan senang hati menerima uluran tangan pria itu. "Nama Anda?" tanyanya sambil memberi isyarat ke pria itu untuk mengikutinya.
"Jarvis, dok." Jarvis mengikuti dokter itu dari belakang. Sebelum masuk kedalam, sekilas ia melihat Laya dulu. Setelah dirasa aman, ia ikut masuk kedalam. "Bagaimana dengan operasinya dokter … mmm?"
"Arvin. Nama saya Arvin Trisatya. Saya yang bertanggung jawab atas jalannya operasi Tuan Vihan. Saya dokter syaraf, tuan Jarvis." Dokter Arvin menjelaskan secara terperinci tugasnya. Setelah sampai di dalam, Arvin memberi kode pada perawat untuk membawa Jarvis ke ruang ganti khusus penjenguk pasien.
Setelah lima menit …
Jarvis keluar dengan mengenakan pakaian berwarna hijau. Lengkap dengan masker dan tutup kepalanya.
"Baiklah, ikuti saya, tuan." Arvin tersenyum ramah. Ia mengenakan maskernya juga.
Jarvis mengangguk. Ia mengikuti dokter Arvin ke ruang recovery sesampainya disana ….
"Oh, ternyata ini yang namanya Vihan Mahendra," batin Jarvis, menscan wajah pucat Vihan yang terlihat kurus. Pria itu memakai oksigen. Banyak sekali alat yang tertempel di dada dan perutnya. Kepalanya diperban dan lehernya pun ikut-ikutan dibebat.
Ini pertama kalinya Jarvis melihat Vihan.
"Hem, pria ini jika dilihat-lihat … mmm, tidak sebaik yang kubayangkan," batin Jarvis lagi. Merasa heran sendiri dengan perasaannya. "Dia tidak sesuai dengan apa yang sudah dilakukan Laya untuknya."
Insting laki-laki seperti harimau jantan. Sangat peka terhadap sesuatu hal kepemilikannya.
Oke, jangan berprasangka buruk.
"Operasi Tuan Vihan berjalan lancar, tuan. Tidak ada yang perlu khawatirkan," kata Arvin membuka penjelasan.
"Hem." Jarvis mengangguk paham. "Lalu?"
Arvin menjelaskan secara terperinci keadaan Vihan. Mulai dari sampai Z …
Jarvis yang tidak terlalu tahu bahasa kedokteran secara aktif bertanya untuk memastikan apa artinya.
Supaya tidak mis komunikasi nantinya jadi ia harus benar-benar paham dengan apa yang dijelaskan dokter Arvin.
"Oh, oke, baiklah." Jarvis mengangguk mengerti.
Dokter Arvin benar-benar sangat sabar menjelaskannya pada Jarvis. Walau pertanyaannya sangat singkat tapi satu pertanyaan itu membutuhkan waktu 5 menit untuk menjelaskannya. Semua pertanyaannya sangat kritis dan begitu berisi, jarang ada keluarga pasien yang bertanya sedetail ini pada dokter.
"Kami akan membawa Tuan Vihan ke ruang rawat inap, tuan," ucap salah satu perawat.
"Hem, silahkan." Jarvis mempersilahkan. "Diruang mana?"
"VVIP kamar nomor 6 ruang Lotus lantai 8, tuan."
"Oke, baiklah. Terima kasih untuk kerjasamanya," ucap Jarvis akan beranjak keluar namun ditahan oleh Arvin.
Jujur, Arvin sangat penasaran dengan Jarvis.
"Ada apa lagi, dok?"
"Bicara di luar saja," kata Arvin sambil melepas semua pakaian operasinya begitupun Jarvis.
"Anda ini siapanya Tuan Vihan, tuan?" tanya Arvin.
"Teman," jawab Jarvis, melihat kearah kursi yang sedang ditiduri Laya. Dasar kebo, astaga!!
"Nona Laya?"
"Kerabat," jawab Jarvis. Ingin rasanya ia mengatakan jika Laya ini adalah kekasih gelapnya.
"Kalau boleh saya tahu, nama belakang Anda siapa, tuan Jarvis?"
"Isamu," jawab Jarvis langsung berlari kecil memberi salam pada Arvin karena disana Laya sedang mengulet, dan sedikit lagi akan terjatuh.
"Heuh? I-Isamu?" Dokter Arvin sangat terkejut untuk itu.
***
Salam
Busa Lin