"Tiga hal?"
Sang pengacara melihatnya mengangguk pelan, begitu tenang.
"Pertama, jika ingin mulai mengurus perceraian kelak, aku ingin yang menjadi sebagai pihak yang mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Tidak perlu membahas soal harta dan segala hal terkait itu. Aku tidak akan menuntut apa pun sesuai yang diinginkannya. Tidak tertarik juga sedikit pun dengan harta dan uang kotornya itu."
"Baik," balas sang pengacara, mulai menulisnya gugup di sebuah kertas.
Pada mulanya, sang asisten pribadi Alaric sendiri yang terus mengunjunginya kurang lebih setahun penuh, hingga mungkin karena sudah kesal, Alaric Jiang akhirnya memakai jasa pengacara resmi dan semakin bertekad ingin memutuskan semua hal dengannya.
Yang membuat Ruby agak heran, kenapa pria itu baru terkesan ingin sekali mengurus perceraian mereka tahun ini setelah lewat lebih dari 2 tahun menjatuhkannya talak?
Tampaknya, surat perjanjian itu lebih penting daripada surat cerai mereka.
Aneh!
Rubyza Andara benar-benar berpikir hal itu aneh sekali. Ada yang tidak beres.
Kenapa pula tidak memaksanya tanda tangan saat dia sudah dimasukkan ke penjara pada hari pertama? Bukankah lebih mudah membuatnya bercerai dengan status narapidananya dan meminta persetujuannya pada surat perjanjian itu? Bukankah dia punya kuasa untuk melakukannya dengan berbagai cara?
Ataukah dirinya sudah tidak penting lagi hingga mengurusnya seperti sudah mengurus kotoran di luar sana melalui orang lain?
Jika Alaric sangat ingin bersama Paula, kenapa harus menunggu selama ini? Ataukah dia hanya ingin menyiksanya secara fisik dan mental? Mempermainkannya begitu kejam?
Haha.
Alaric Jiang seolah bermain tarik ulur dengannya melalui status tidak jelas di antara mereka berdua.
Untuk sekian lamanya di dalam penjara, otak wanita yang selalu mendapat nilai sempurna selama jenjang pendidikannya ini, akhirnya mulai terasah perlahan hari demi hari.
Sayangnya, meskipun dia punya sebuah dugaan gila, dia tidak punya bukti dan kemampuan untuk menyelidikinya.
Dia sangat lelah. Benar-benar lelah. Tidak mau berurusan dengannya lagi dan orang-orang di masa lalunya.
Sebelum aksi menusuk perut sendiri, Ruby pikir, tidak peduli sesakit apa tubuhnya, selama Paula Mahameru tidak bisa mendapatkan posisi utama nyonya Jiang satu-satunya, dia tidak keberatan disiksa seumur hidup daripada membiarkannya meraih kebahagiaan yang dirampas darinya. Selamanya, wanita itu akan jadi wanita kedua di bawah kakinya! Orang ketiga yang merusak rumah tangga orang lain!
Tapi, waktu dan rasa sakit akhirnya meluluhkan mental dan raga Ruby.
Alaric Jiang juga terus tetap bertahan untuk berpisah, bahkan tidak ada kemauan sedikit pun untuk bertemu dengannya meski dirinya meregang nyawa di rumah sakit sendirian, atau pun menyelidiki lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi sampai dia mengaku dan menyerah seperti orang bodoh di pengadilan.
Suaminya tidak peduli.
Pria yang katanya mencintainya apa adanya itu, ternyata tidak peduli pada hidup dan matinya. Untuk apa mempertahankan pria sepertinya?
Selain itu, disiksa berkali-kali setiap hari hanya gara-gara sebuah goresan pena di atas kertas bodoh dan demi seorang pria yang tak menginginkannya, ternyata membuat Ruby akhirnya merasa lelah juga. Bosan dengan sendirinya. Merasa semua pengorbanannya tidak berharga sama sekali.
Biarkan saja sampah bersama sampah!
"Permintaan kedua?" tanya sang pengacara, menaikkan alisnya melihat Ruby yang melamun kembali.
Dengan suara jelek berbisiknya, Ruby menyahut, "aku ingin semua jejak diriku yang ada di sekitar pria itu dihapus tak bersisa."
Sebelah kening sang pengacara naik, agak heran.
Ruby tersenyum kecut, "Tuan Jiang pasti tahu maksudku. Mungkin dia sudah melakukannya sendiri lebih dulu. Aku hanya ingin mengingatkannya saja. Semua jejak tentang diriku yang ada di mansion itu, baik itu foto, buku kesukaan, pakaian, peralatan makan, produk kecantikan, atau apa pun yang akan mengingatkannya kepadaku, aku ingin semuanya dibuang atau dibakar. Jika itu adalah benda pribadiku, surat-surat penting atau benda yang bernilai lainnya, aku ingin semuanya dikirim melalui jasa ekspedisi ke sebuah panti asuhan yang kukenal. Aku tidak mau repot-repot ke sana hanya untuk mengambilnya dan malah membuatnya tidak senang jika bertemu denganku."
Lama sang pengacara baru mengiyakannya usai menatapnya dalam-dalam.
"Baik. Lalu, yang ketiga?"
Ruby diam cukup lama.
"Ketiga... ini adalah permintaan yang paling penting dariku...."
"Katakanlah," balas sang pengacara dengan pembawaan serius dan tegang.
Sorot mata Ruby menatap hampa kepada kertas di atas meja, bibir pucatnya yang pecah-pecah menyahut pelan, tapi sangat tegas tanpa keraguan, "aku ingin... baik setelah bercerai nanti, atau jika suatu hari kebenaran telah terungkap dan menyatakan aku tidak bersalah atas semua tuduhan dan fitnah yang ditujukan kepadaku selama ini, Alaric Jiang tidak boleh mengubah keputusannya di surat perjanjian kami, dan tidak akan pernah meminta kami untuk menikah kembali apa pun alasannya. Aku tidak mau bertemu atau melihatnya untuk selamanya selama sisa hidupku. Dia terlarang muncul di depanku dalam kondisi apa pun."
Mendengar itu, sang pengacara merasa tidak enak hati entah kenapa.
Dia seperti mendengar sebuah dendam kesumat dari seorang wanita yang sangat tersakiti.
Sang pengacara mengonfirmasi, "a-apakah maksudmu kamu ingin memblokir eksistensi Alaric Jiang untuk selamanya dalam hidupmu?"
Ruby mengangguk tegas, "benar. Aku ingin memblokirnya dari hidupku untuk selamanya. Tidak mau lagi melihatnya apa pun alasannya, apalagi mencintainya. Sampah, biarkan saja bersama sampah."
Wanita dengan wajah penuh luka ini, menaikkan pandangan, tersenyum lembut sangat bahagia, berseri-seri seolah tak ada beban, "mereka sangat cocok, bukan? Pasangan paling menjijikkan di dunia. Aku sangat merestuinya."
Deg!
Senyum tulus Ruby membuat sang pengacara salah tingkah, membuatnya jadi canggung sendiri.
***
Beberapa minggu kemudian.
Rubyza Andara berdiri dengan tubuh rapuhnya dalam balutan dress merah muda, dress yang dulu dipakainya terakhir kali saat dipermalukan di depan media oleh Alaric Jiang.
Dia baru saja bebas hari ini.
Udara dingin dan cuaca sedikit mendung sehabis hujan membuat tubuhnya menggigil, segera memeluk diri sendiri dengan wajah meringis kelam.
Gaun mahal yang sudah lusuh itu, dulunya bertujuan untuk memberi kejutan kepada Alaric Jiang.
Ruby ingin sekali agar pria itu bisa melihat betapa cantik dirinya, karena selalu menyembunyikan kecantikan aslinya dengan berdandan sederhana selama mereka menjalin kasih. Tapi, dia malah mendapat kejutan lain.
Sekarang, gaun itu sudah mulai berubah warna seperti dirinya yang termakan penderitaan di dalam rumah tahanan.
Wanita dengan penuh luka di sekujur tubuhnya ini sangatlah pendiam, juga begitu rendah hati sampai-sampai mudah ditindas oleh banyak orang. Sifat pendiam dan lemahnya itu tidak berkurang meski akhirnya dinyatakan bebas. Malah semakin parah saja.
Kenapa dia tidak pernah mau melawan?
Haha.
Orang yang tidak pernah berada di posisinya, tidak akan tahu betapa kejam dan sadisnya hidup ini jika hanya mengandalkan diri sendiri melawan orang-orang berkuasa dan hebat. Ibarat seekor semut, ingin melawan puluhan manusia di tengah jalan yang berdiri tinggi di depannya.
Bagaimana bisa menang?
Tidak ada yang mendukung, tidak ada yang peduli, apalagi mencintaimu, sudah jelas akan menguras rasa percaya diri, mental, dan mengubah cara berpikirmu melihat dunia dari sisi lain.
Rubyza Andara kini sudah terlahir kembali menjadi pribadi yang sangat rapuh, sangat penurut, dan juga begitu rendah diri seperti seekor tikus di pinggir jalan yang mudah dianiaya dan ditendang.
Kehidupan sulit di dalam penjara dan siksaan setiap hari yang diterimanya mengajarkan hal pahit akan sisi gelap dunia ini.
"Jadilah orang baik! Jangan kembali lagi ke sini!" seru seorang penjaga wanita di belakangnya, terdengar galak dan tak ramah.
Ruby berbalik, menunduk sopan, tapi tidak mengatakan apa-apa.
Kini, dia sudah bisa menghirup udara bebas setelah menandatangani surat perjanjian dan surat cerai yang diberikan oleh Alaric Jiang.
Pria itu benar-benar menepati janjinya, dan mengabulkan keinginannya tanpa ada keraguan sedikit pun.
Tidak lama setelah dia setuju dengan tawaran itu, Alaric Jiang tidak buang-buang waktu. Dengan kekuasaan dan pengaruhnya, akta cerai segera muncul di depan mata lebih cepat daripada waktu normal pengurusan yang diketahui oleh Ruby.
Sungguh tidak sabar ingin berpisah dengannya, bukan?
Lagi-lagi, dia menyandang status janda yang masih perawan.
Ciuman?
Pffft.
Alaric Jiang adalah pria yang terlalu gentle. Sebab itulah dia menyukainya. Dia memperlakukannya bagaikan kaca yang rapuh, tidak sembarangan bersentuhan kulit.
Jangankan tidur dengan seorang pria untuk menghabiskan malam yang panas, ciuman saja Ruby tidak pernah bersama salah satu suami yang dulu pernah terikat dengannya.
Pada dasarnya, pernikahan yang dijalaninya kebanyakan adalah pernikahan paksa dan terkesan hanya saling memanfaatkan. Semuanya juga rata-rata berjalan singkat. Lebih utama lagi, mereka semua menghindarinya bagaikan penyakit menular saat menyandang status suami istri. Meninggalkannya di rumah bagaikan pembantu atau pun orang bodoh yang hanya dijadikan boneka penurut.
Jika dulu dia sangat sedih dan sakit hati memikirkan nasibnya yang pernah menikah dengan banyak pria, tapi tak pernah merasakan bagaimana manisnya hidup sebagai istri yang dicintai, sekarang bagi Ruby masa lalu itu tidak ada artinya lagi.
Tidak ada orang yang akan percaya kalau dia yang sudah menikah 5 kali dan bercerai 5 kali, ternyata adalah seorang perawan murni. Satu pun dari mereka tidak pernah menyentuhnya, meski hanya sebuah ciuman di kening.
Lebih parahnya lagi, Rubyza Andara dulunya adalah wanita paling cantik dan dipuja oleh banyak pria.
Adakah yang percaya hal yang terdengar tidak masuk akal itu?
Di umur sekarang ini, dia lebih tepat disebut apa?
Janda kembang tak laku?
Janda perawan tua?
Janda terkutuk?
Atau janda bermuka monster?
Konyol, bukan?
Tapi, itulah yang menimpa hidup Ruby yang aneh dan penuh derita.
"Ruby!" teriak seorang wanita tua di seberang jalan, melambaikan tangan dengan wajah senang penuh harunya.
"Bu Adinda?" serak Ruby parau, matanya seketika berkaca-kaca melihat sosok wanita tambun dengan rambut sedikit keriting pendek itu.
Wanita paruh baya yang dipanggil Bu Adinda itu berjalan ke arahnya dengan wajah ikut-ikutan meneteskan air mata seperti Ruby saat ini.
Begitu mereka saling berdekatan, dia pun segera memeluk Ruby dengan tangisan kencang dan tidak lepas ucapan syukur berkali-kali terdengar dari bibirnya tentang pembebasannya yang terbilang lebih cepat dari dugaan mereka berdua.
"Syukurlah! Syukurlah sifat keras kepalamu akhirnya mulai berkurang! Aku senang kamu menerima perceraian itu! Kamu bisa memulai hidup baru sekarang! Lupakan semua orang-orang jahat itu! Masih ada aku di sisimu! Ok?"
Bu Adinda melepas pelukannya, memijit-mijit kedua lengan kurus Ruby yang kini semakin berderai air mata saling tatap dengannya.
Ruby mengangguk patuh, tersenyum lebar sangat bahagia. Bibirnya gemetar dengan perasaan tak terlukiskan di dadanya.
"Saya pikir, Anda tidak akan datang menjemput saya?"
"Bicara apa?! Sudah pasti aku akan datang! Oh! Dengarkan suaramu itu! Mereka sungguh jahat! Wajahmu juga seperti ini! Benar-benar kejam mereka itu!" geramnya dengan wajah berurai air mata setelah melihat wajah Ruby lebih jelas, hatinya seolah tergores pisau.
Dulunya hanya ada tanda silang di kedua pipi wanita cantik itu, tapi kini ada beberapa bekas luka baru di wajahnya.
"Saya baik-baik saja, Bu Andinda. Anda terlalu perhatian. Rasanya sedikit canggung," balasnya malu-malu, kepala tertunduk kikuk dengan wajah memerah kecil.
Ruby yang selalu disiksa dan kerap menerima perlakuan kasar selama lebih dari 2 tahun, kini pasti akan merasa sangat risih jika menerima sedikit saja kebaikan dari seseorang.
Dia kadang merasa tidak layak, tapi merasa bahagia di saat yang sama.
Bu Adinda menghela napas berat, mengomel kecil, "kamu sudah berusaha bertahan sejauh ini. Aku akan memeriksa luka apa lagi yang ada di tubuhmu, lalu memberinya obat. Setidaknya mengoleskan salep agar menyamarkan bekasnya. Bagaimanapun juga, kamu tetaplah seorang wanita. Jangan keras kepala, ya? Dengarkan aku mulai sekarang!"
Ruby mengangguk kecil, tersenyum dengan perasaan terhibur di hatinya.