webnovel

CHAPTER 9 - Materi Susulan (Kepekaan dan Ketanggapan)

Hari kedua susulan materi simulasi permainan takdir.

Level dua, yakni berkaitan dengan Kepekaan dan Ketanggapan, di mana dilakukan secara berkelompok.

Dalam kelompok ini, kami mengusung nama 'Kelompok Pejuang Susulan'.

Alasan kami menamakan itu adalah berkaitan dengan tujuan kami yang sama, yaitu melaksanakan materi susulan. Ide ini Andrea usulkan dan kita pun setuju.

"Di sini kalian diminta menyelesaikan suatu misi di atas lantai kaca," ucap Pelatih Theo sebelum simulasi level dua dimulai. "Namun, tetap hati-hati dan fokus."

Aku menghela napas dengan tatapan mengarah ke depan, meratapi situasi alam yang berawan dan asri, dengan pohon berdaun rimbun yang berbatang berlukar dan panjang serta jalanan kaca yang berjejer memanjang dan berbelok-belok — mempersilahkan kami bertiga berjalan.

Kedua tangan kukepalkan, dengan maksud menyerap segala energi baru ke dalam tubuhku alias pemanasan. Aku melihat ke arah si sepasang kembar di sampingku, sama sepertiku yang sedang meratapi situasi sekitar. Kuyakin otak mereka sedang bekerja keras. Tas ransel di punggungnya seakan-akan siap menemani perjalanannya di level ini. Ya, kami bertiga membawa tas dengan barang bawaan kami, seperti perintah Pelatih Theo kemarin sore.

Semoga saja barang bawaanku bermanfaat sebab aku hanya membawa catatan kecil dan pensil.

"Baiklah mari kita mulai perjalanan kedua ini," batinku.

Terjadi keheningan seketika di antara kami.

"Sepertinya kita harus berjalan ke arah Utara sana," ucap Andrei sambil menunjuk ke depan.

"Eireen, kau bawa apa?" tanyanya seketika menoleh ke arahku.

"Hanya buku catatan kecil, pensil, dan penghapus," jawabku.

"Serius?" Andrei meyakinkan dengan tatapan mata terkejut. "Aku malah membawa tali, gunting, dan kapur. Aku juga tidak tahu sih buat apa, asal bawa aja jujur."

"Mungkin nanti kita bisa menggunakan barang bawaan kita di situasi tertentu," kataku.

"Ya, aku yakin begitu," ucap Andrei.

Lalu pandangan kami beralih ke depan menatap jalanan kaca yang mewarnai area depan hingga lurus tertutup kabut. Kini posisi kami berada di atas bukit sebab dilihat dari jumlah awan yang tebal di sepanjang sana.

Kami berjalan ke depan dengan perlahan.

Setibanya di depan jembatan kaca, kami ditampilkan pemandangan bawah sana yang membuktikan bahwa posisi kami sangat tinggi sehingga terselimuti oleh awan kabut. Jembatan kaca ini saking beningnya seolah-olah tidak menampilkan adanya kaca pembatas di sana.

"Whoaa, tinggi sekali." ucapku pelan dengan kedua mata membulat terpesona.

Tiba-tiba Andrea yang berada di sampingku melangkah mundur dan terduduk lemah. Dirinya menghadap ke belakang sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya

Dengan sigap, saudaranya langsung menghampiri dirinya seolah-olah berusaha menenangkan saudaranya.

Aku terbingung. Lalu aku ikut setengah terduduk dengan kedua lutut menumpu tubuhku di bebatuan.

"E—eh ada apa dengan Andrea?" tanyaku cemas.

"Dia tidak suka ketinggian," jawab Andrei sambil memeluk saudaranya yang gelisah. "Aku sedang berusaha menenangkannya."

"Tidak apa-apa ya, Andrea. Kita akan bersama-sama melewati ini," ucap Andrea sambil mendekap Andrei di pelukan hangat nya sambil terkadang menepuk punggungnya.

Kemudian ia setengah melonggarkan pelukannya. Andrea dengan wajah memerah karena menangis itu berusaha mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya. Namun tertahan. Dirinya sesegukan dan tubuhnya gemetar ketakutan.

"A—aku...t—tidak sa—nggup. I—ini sangat tinggi!" serunya.

"Kami tidak akan membiarkan kau di sini sendiri, Andrea," ucap Andrei. "Apakah kau tidak ingin menjadi pemenang seperti impianmu selama ini?"

"Apakah kau akan menyerah begitu saja?"

Andrea terdiam.

"Atau begini, Andrea takut terhadap ketinggian, kan. Bagaimana jika dia menutup matanya?" tanyaku dengan mengajukan sebuah solusi.

"Jadi gini, aku akan mengambil dua buah lembar kertas, lalu kertas itu dibuat menjadi penutup mata kemudian diikat dengan seutas tali. Gimana?"

Kedua mata Andrei berbinar. "Ah, itu ide yang cemerlang!"

"Apakah kau setuju, Andrea?" tanyaku kepada Andrea.

Pandangan kami tertuju ke arahnya.

Andrea pun hanya mengangguk lemah menandakan setuju.

Tanpa berlama-lama lagi, aku dan Andrei langsung beraksi membuat penutup mata untuk Andrea. Semua barang yang kami bawa dikeluarkan. Tali milik Andrei yang sangat panjang nan melingkar itu dipotong secukupnya. Kemudian untuk kertas dibutuhkan dua lembar kertas dan dipasang berlapis. Andrea pun memotong bagian tengah kertas sebagai hidung untuk bernapas. Setelah itu disatukan dan mulai dipasangkan ke wajah Andrea dengan diikatkan dengan seutas tali.

Sampah sisa pengerjaan kami kumpulkan di dalam tas kami masing-masing yang akan dibuang setelah permainan level dua selesai.

Beberapa menit kemudian, pengerjaan pembuatan 'topeng' pelindung untuk Andrea pun selesai dan sudah dipasangkan.

"Sip, sudah selesai," ucapku.

Kami bertiga memulai perjalanan kami. Namun sebelum itu, Andrei memutuskan untuk menggendong Andrea di punggungnya agar memudahkan perjalanan di level ini.

"Apa kau perlu bantuan untuk tas ransel, Andrei?" tanyaku, menawarkan bantuan kepada Andrei yang tampaknya sedang kesulitan.

Andrei menggeleng. "Tidak perlu. Aku bisa memindahkannya ke depan."

"Baiklah," ucapku.

Kemudian kami mulai melanjutkan perjalanan kami. Kedua kaki ini mulai melangkah jembatan kaca. Saat ini diriku menuntun perjalanan ini. Sementara itu, Andrei yang sedang menggendong Andrea mengikutiku di belakang.

"Kandungan kacanya tidak tebal," ucapku. "Kita harus perlahan agar tidak retak."

"Baiklah," ucap Andrei.

Jejak pertama di jembatan kaca berhasil. Kami pun terus melangkah secara perlahan.

Dunia seketika terasa lama.

Berjalan di kondisi seperti ini cukup membuat bulu kuduk naik, apalagi di tempat tinggi seperti ini. Belum pernah kurasakan sebelumnya. Namun demikian, mau tak mau aku harus tetap tenang.

Langit kabur seakan-akan menemani kami menelusuri jalanan. Akan tetapi kehadiran mereka justru membuat pemandangan sekitar menjadi putih dan membutakan pandanganku.

Anehnya di situasi kali ini ialah tidak ada suara angin sama sekali. Melainkan hening.

Andrei terdengar sedang menenangkan saudaranya yang masih merasa gelisah di punggungnya itu. Seiring perkataannya yang semakin lirih dan lembut, Andrea pun menjadi tenang dan diam serta mempercayakan pada saudaranya.

Tidak ada percakapan di antara kami.

Hanya suara langkah kami yang bergema.

Tiba-tiba ketika kakiku hampir melangkah kaca yang berikutnya, sebongkah kaca di hadapanku amblas dan menjadikan pembatas serta penghambat kami untuk lewat. Untung saja aku belum melangkah.

Aku terdiam mematung, sama seperti Andrei yang ikut berhenti.

"Ya Tuhan, ada acara amblas lagi," batinku kesal sekaligus panik.

"Apa yang terjadi?" tanya Andrei bingung.

"Aku tidak tahu. Ketika aku akan melangkah, tiba-tiba kaca di hadapanku amblas," jawabku. "Tidak mungkin jika kita nekat melompatkan!"

Andrei menghela napas.

"Amblasnya tidak tepat!" gerutunya.

Sementara itu Andrea terbangun. Ia tergesa-gesa. "Ada apa kawan? Apa kalian baik-baik saja?"

"Tidak, tidak ada apa-apa. Kami sedang berdiam sementara karena lelah. Kami baik-baik saja. Tenanglah," kata Andrei berbohong agar Andrea tidak ikut panik.

Biarkanlah kami berdua yang panik untuk memikirkan jalan keluar misi ini.

Andrea kembali terdiam seperti sedang kembali ke alam mimpi.

Keheningan kembali menyelimuti.

"Eireen!" panggil Andrei. "Kau denger sesuatu tidak?"

Aku menoleh ke arahnya sambil mengernyitkan satu alis. "Huh?"

Raut wajah Andrei menyuruhku untuk mendengar sesuatu dengan seksama. Lalu kuikuti dengan fokus.

Tiba-tiba seperti suara peluit secara samar-samar terdengar di kedua telingaku. Entah suara itu terkadang panjang dan pendek, menyerupai suatu pertanda. Akan tetapi aku tidak tahu.

"Itu sebuah sandi morse!" seru Andrea.

"Sandi morse?" tanyaku bingung sebab aku baru mendengar sandi semacam itu.

Andrea mengangguk yakin. "Kita mendapatkan pencerahan!"

"Andrea, boleh minta tolong ambilkan buku catatan kecilku dan pensil di kantong paling depan?" perintahku kepadanya untuk mengambilkan buku catatan kecil dari dalam tas ransel di punggungku.

Ia langsung membuka tasku dan menemukannya dengan mudah. Kedua benda itu diberikannya padaku.

"Oke makasih!"

Langsung kubuka lembar baru dan bersiap-siap menulis. "Andrei, bilang kepadaku maksud dari sandi tersebut. Akan aku catat."

"Baiklah," jawab Andrei.

Ia pun membersihkan tenggorokannya terlebih dahulu sebelum mendikte sandi tersebut.

Suara peluit itu sempat menghilang sesaat. Tak lama kemudian suara itu kembali berbunyi dengan ritme agak cepat.

"V!"

Segera kutulis huruf V pada lembar kertas yang terlipat di catatan kecil di genggamanku. Kemudian diriku kembali berdiam menunggu aba-aba dari Andrei.

"I"

Lanjut kutulis huruf I pada lembar kertas di genggamanku.

"C"

Kutulis huruf C tersebut.

"T"

Lanjut kutulis huruf I tersebut.

"O"

Huruf O yang bulat, kali ini kutulis agak melonjong disebabkan agar memuatnya di lembar kertas.

"R"

Lanjut kutulis huruf R.

"Y"

Lanjut kutulis huruf Y setelah huruf R.

Seketika bunyi peluit terhenti dan menghilang.

"Sudah berakhir," ucap Andrei.

"Baiklah," ucapku singkat.

Tatapanku menuju suatu kalimat yang terbentuk dari bunyi peluit tersebut.

"Victory ... Kemenangan."

"Lalu apa selanjutnya?" tanyaku bingung.

"Apa sepertinya aku harus mengulang kalimat itu dengan suara menyerupai peluit?" tanyanya kembali dengan ragu.

"Atau ketuk kaca dengan kaki?" tanyaku ragu. "Eh, tapi itu sepertinya tidak logis mengingatnya kandungan kaca ini tidak tebal. Yang ada kitanya yang celaka."

"Masuk akal," ucap Andrei. "Baiklah akan kucoba mengulang peluitnya dengan jariku."

Ia mulai mengarahkan jarinya ke sisi mulutnya hingga mengeluarksn suara menyerupai bunyi peluit sesuai dengan bunyi pendek dan panjang dari sandi tiap huruf ini. Dengan konsisten dan fokus Ia pun berhasil menyebutkan setiap hurufnya.

Tak lama kemudian tiba-tiba muncul jembatan kaca baru dari bawah ke atas—tepat sejajar dengan posisi kami. Kaca tersebut berguna menyambungkan antara kaca dengan lainnya yang terputus.

Kami berdua saling bertatapan dan tersenyum berhas. Lalu kami kembali melanjutkan perjalanan kami, masih secara perlahan.

Hingga tiba di ujung jembatan kaca, kami bertiga disambut sebuah gerbang dengan ukiran indah. Tak lupa dengan tombol hijau yang menemaninya di samping. Kuketuk tombol itu hingga cahaya hijau menyala terang. Kemudian, kami disuguhi suatu ruangan sedikit remang dengan banyak kursi yang menandakan bahwa kami sudah kembali.

DING DONG

Suara bel yang khas berbunyi dan berhasil mengejutkan kami setibanya di sana.

"Selamat Kelompok Pejuang Susulan, kalian berhasil menyelesaikan level dua dengan baik," ucap wanita dari balik pengeras suara yang menggema itu.

Kami langsung bertepuk tangan setelah mendengar pengumuman tersebut.

"Hey mataku masih tertutup!" seru Andrea.

"Oh iya!" seruku yang baru menyadarinya.

Aku dan Andrei bersama-sama langsung membuka 'topeng kertas sementara' itu. Tampak kedua mata Andrea yang agak memerah karena terlalu lama mendekap di balik kertas dan tali.

Kami bertiga kembali bertepuk tangan bersama.

"Kita berhasil!" ucap Andrea. "Makasih banyak Andrei dan Eireen! Kalian sangat membantuku. Kalau tidak ada kalian mungkin aku masih terjebak di tempat gila tadi."

"Jangan berterima kasih padaku. Berterima kasihlah dengan Eireen," kata Andrei seraya menoleh ke arahku. Diikuti dengan pandangan Andrea.

"Mari kita saling berterima kasih atas kerjasamanya hari ini," ucapku.

"Yeah!" ucap Andrei semangat. "Hidup Kelompok Pejuang Susulan!"

"Ya, Kelompok Pejuang Susulan!" seru Andrea bersemangat seperti saudaranya.

"Kelompok Pejuang Susulan!" seruku. Namun suaraku agak lemah tidak seperti sepasang kembar itu.

Tawa dan ceria atas keberhasilan hari inipun muncul dengan hangat.

Level dua telah selesai.

Halo, terima kasih ya sudah membaca cerita aku. Kalian sangat memotivasi aku untuk terus menulis lebih baik ^_^

Jangan lupa tambahkan ke library jika kalian suka yaa!

Have a nice day y'all!

angelia_ritacreators' thoughts