Rini adalah seorang wanita yang sekarang tinggal di kota kecil Jawa Barat.
Ia harus pindah ke Kota Minang itu untuk menuntut Ilmu di salah satu universitas ternama di sana.
Saat pindah ke Padang, Rini pergi bersama ayahnya.
Ayahnya mengantarkan Rini ke rumah kontrakan yang akan dihuni Rini selama menuntut ilmu.
Di kontrakan itu, Rini juga akan tinggal bersama dua orang saudara sepupunya yang juga menuntut ilmu di tempat dan angkatan yang sama dengannya.
Saudara tertua bernama Jani dan saudara yang lebih tua dari Rini bernama Ava.
Rini merupakan yang paling kecil dari mereka bertiga, maklum baru lulus SMA tahun yang sama.
Selama dua setengah jam di perjalanan, akhirnya ia tiba di Kota Padang.
Ini adalah pertama kali Rini tinggal jauh dari orang tuanya. Perasaan campur aduk tentu dirasakan Rini.
Setelah mobil terparkir, Rini bergegas turun dan mengambil barang-barang bawaannya.
Sembari mengangkat bawaan, Rini dan ayah langsung menyusuri sebuah gang kecil.
Berjalan sedikit jauh ke dalam dan sampailah mereka di depan kontrakan itu.
"Assalamu'alaikum!" Kami mengucap salam sembari memasuki rumah yang pintunya memang terbuka.
"Wa'alaikumsalam, Mang!" Sahut A Jani dan Teh Ava.
"Tos dugi gening. Sok atuh sakieu ayana, Sar (Udah sampai. Silahkan begini adanya, Sar)," Ucap Teh Ava kepadaku.
Saat itu Rini tersenyum dan mengangguk dan melihat sekeliling.
Rumah tersebut adalah rumah tua dengan dua lantai dan sedikit tidak terawat.
Saat itu, Rini memaklumi hal tersebut apalagi budget yang ia miliki untuk menyewa rumah kontrakan sangat terbatas.
Tangga menuju lantai dua adalah tangga kayu dengan pegangan kayu. Terlihat asal-asalan dibuatnya.
Rini mendekati tangga dan melihat keatas, diujung tangga tersebut adalah tembok, sebelah kiri ada pintu kecil menuju keluar ketempat jemuran dan talang air.
Dan disebelah kanan terdapat ruangan tanpa pintu yang hanya bisa dimasuki dengan cara sedikit membungkuk.
Ruangan tersebut tepat berada di atas kamar tidur Rini yang terletak diantara tangga dan kamar Teh Ava.
Kamar Teh Ava adalah kamar yang paling dekat dengan pintu utama.
Jani lebih memilih kamar paling ujung di dalam, sekitar tiga langkah dari tangga tepat disebrang dapur yang merupakan akses menuju satu-satunya kamar mandi di rumah itu.
Terdapat ruangan kosong yang cukup lebar di depan kamar Rini dan kamar Teh Ava dan ruangan ini nantinya akan jadikan tempat berkumpul dengan alas karpet lusuh.
Lebih lanjut, Rini langsung membenahi barang-barangnya di dalam kamar baru.
Ada beberapa noda lembab di dinding berwarna coklat dan sebagian terkelupas.
Pantas saja terasa dingin, memang lembab, pikirnya. Tapi sudahlah, tempat ini lumayan nyaman.
Sore pun tiba, ayah Rini pun berpamitan untuk pulang.
Dengan berat, Rini melepas kepergiannya karena tak tega membayangkan penghuni rumahnya hanya tinggal Ayah dan Mamahnya saja.
Perlu diketahui, kedua kakak Rini sudah memiliki kehidupan masing-masing di luar kota.
Tentu sebagai anak bungsu merasa berat untuk meninggalkan orang tuanya.
Singkat cerita, satu bulan menempati rumah tersebut, Rini tidak merasakan ada yang aneh.
Atau mungkin Rini mengabaikannya karena sibuk pada ospek dan persiapan kuliah?
Oh ya, Rini bukanlah sosok yang indigo. Namun, ia terkadang bisa merasakan keberadaan makhluk halus di sekitarnya.
Sampai pada suatu hari, saat itu kegiatan belajar sudah berjalan dan tugas-tugas mulai berdatangan, Rini harus pulang ke kontrakan sekitar pukul 7 malam dan langsung tertidur.
Setelah lama Rini tertidur, ia terbangun dengan keadaan sekelilingnya yang gelap sekali.
Memang kebiasaan Rini saat hendak tidur selalu mematikan lampu kamar, ia tidak bisa tidur dalam kondisi terang.
Tapi saat itu benar-benar gelap total dan Rini harus membiasakan matanya dalam gelap.
Setelah nyawanya kumpul, Rini baru sadar jika kegelapan ini karena lampu ruangan di depan kamarnya mati.
Biasanya kalo malam lampu tersebut dinyalakan dan cahayanya masuk lewat jendela di atas pintu kamar dan lewat sela-sela pintu yang rapuh.
Saat itu, Rini meraba-raba mencari HP dalam gelapan, ternyata ada telepon dan sms masuk selama ia tidur.
Dari kedua saudaranya yang mengabarkan mereka tidak bisa pulang karena mengerjakan tugas kelompok di kost temannya.. Yang berarti, Rini harus sendirian di kontrakan.
Saat Rini melihat jam, ternyata saat itu sudah pukul dua malam.
Ia sedikit merinding dan berusaha tidur kembali, tapi kantuknya sudah hilang.
Jadi, Rini memaksakan untuk menutup mata dan pikirannya melayang kesana kemari.
Seketika ia teringat, bukankah saat pulang tadi ia membuka pintu utama dan langsung menyalakan lampu ruang depan?
Rini sangat ingat betul jika ia langsung masuk kamar, ganti baju lalu tertidur.
Dia tidak memadamkan lampu itu, bahkan lampu itu selalu menyala setiap malam dan menjadi satu-satunya sumber cahaya di malam hari.
Lalu kenapa sekarang padam?
Rini hanya bisa berusaha tenang, dan memastikan ingatannya
Saat hendak bangun dari tidurnya dan menyalakan lampu kamar, tiba-tiba Rini mendengar suara lirih sekali dari balik pintu kamarnya "Hihihihi..."
DEG! Detak jantung Rini saat itu serasa berhenti.
Seketika ia mengurungkan diri untuk berdiri. Rini hanya duduk di atas tempat tidur sambil memegang erat selimut.
Rini diam dalam posisi waspada, ragu antara yakin mendengar suara tawa dan berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa ia hanya salah dengar.
Ia terus berusaha fokus, tapi yang didengar hanya hening.
Pelan-pelan Rini kembali ke posisi tidur. Berhati-hati sekali seakan-akan membangunkan sesuatu yang ia pun tak tau apa.
Suara langkah kaki kecil berlari melintas di depan kamarnya.
Otak Rini langsung merespon jika itu adalah tikus.
"Tikus! Ya itu tikus! (Atau mudah2an tikus)," dipikirannya.
Belum selesai ia meyakinkan diri sendiri, suara lain membuatnya kaku sekaku-kakunya.
Dug.. Sreeekkkkk.. Dug.. Sreeekkkkk.. Suara sesuatu diseret.
Seperti orang yang berjalan pincang dengan satu kaki diseret, berkeliling di ruangan depan kamarnya.
Sesekali mendekati ke arah kamar Rini ke arah kamar Teh Ava dan berputar lagi.
"Hihihihi..." Suara tertawa lirih itu muncul lagi.
Kali ini, Rini yakin jika ia tidak salah dengar.
Dengan ketakutan, Rini menutup seluruh tubuhnya dengan selimut sembari memejamkan mata rapat-rapat.
Keringat membasahi bajunya.
Saat itu Rini berusaha membaca ayat apapun yang diingatnya. Tapi tidak satupun lancar diucapkannya.
Terbesit dalam pikirannya untuk bangun dan menyalakan lampu kamar.
Pikirnya kalau terang ia akan lebih tenang? Tapi disisi lain, Rini merasa takut jika dengan menyalakan lampu ia malah akan melihat sosok-sosok yang sedang mengganggunya.
Entah berapa lama Rini diam dalam posisi yang sama. Tidak bergerak dan suara-suara itu tidak kunjung pergi.
Ia tidak berani membuka selimut, takut justru mereka akan muncul di depan mukanya. Padahal kondisinya saat itu sudah basah kuyup oleh keringat.
Mungkin karena tubuh Rini lelah setelah tegang dalam waktu lama, akhirnya ia pun tertidur dengan sendirinya.
Rini terbangun saat adzan subuh berkumandang, suara-suara aneh itu sudah hilang.
Meski sedikit lega karena ada suara-suara orang di gang berjalan menuju masjid untuk shalat subuh, tapi rasa takut Rini masih sangat besar.
Ya.. itu adalah momen pertama Rini 'berkenalan' dengan penghuni kontrakan.
Walau tidak bertatap muka langsung, tapi perkenalan itu membekas hingga sekarang.
Ia tidak akan menceritakan kejadian tersebut kepada kedua saudaranya.
Bukan apa-apa, Rini sendiri takut menceritakan ulang saat dirinya masih tinggal di rumah itu.
Dan mereka mengontrak selama 1 tahun, artinya Rini harus bertahan selama 11 bulan kedepan.
Setelah kejadian itu, ia hanya merasakan beberapa gangguan-gangguan 'kecil' menimpanya seperti barang berpindah tempat sendiri, selimut ditarik saat tidur, atau melihat sekelebat bayangan melintas.
Singkat cerita, bulan Ramadhan telah datang, gangguan kecil itu mulai berkurang, meski tidak 100 persen hilang.
Lebih lanjut, Steven adalah tetangga Rini yang bertempat tinggal di ujung gang.
Dia adalah anak band yang gaul dan cocok berteman dengan Rini karena kepribadiannya yang asyik.
Sejak pertemuan pertama mereka jadi semakin akrab, hingga akhirnya pada suatu malam mereka memutuskan untuk sahur bersama di salah satu kafe di Sikola.
"Steven jemput jam 9 ya, Nong!" Ucap Steven sebelum menutup telepon.
Nong adalah panggilan Rini dari Steven. Rencana sahur malam ini hanya akan ada mereka berdua karena teman-teman yang lain tidak bisa ikut.
Tak masalah, bagi mereka suasana alam terbuka dan hawa yang dingin adalah favorit mereka.
Saat itu, Rini baru saja selesai meeting dengan anak-anak band.
Ia bergabung menjadi salah satu vokalis di band tersebut.
Hobby Rini memang bernyanyi dan kebetulan band Rini dan band Steven ada dalam satu basecamp.
Basecamp yang dimaksud adalah rumah di daerah Buah Batu milik Horis, salah satu personil band.
Steven tidak ikut meeting karena suatu hal. Sehingga ia memutuskan untuk pulang diantarkan oleh drummernya.
Sesampainya di rumah, Rini segera berbuka dan salat magrib.
Masih lelah, ia mengunci pintu dan berbaring sambil membaca pesan yg masuk. Dan Rini pun tertidur..
Dalam tidurnya, Rini bermimpi bertemu Steven
"Ayok berangkat!" Ajak Steven.
Rini menggeleng enggan pergi, entah kenapa ia tau jika sedang bermimpi.
Tiba-tiba Steven berubah menjadi menyeramkan dan berteriak marah
"AYO PERGI!!" teriaknya.
Seketika ia langsung terbangun dari tidur karena kaget.
Dan dalam keadaan masih sangat mengantuk, mata Rini tertuju pada seseorang yang duduk menunduk di ujung kasur dekat kakinya.
Seorang laki-laki memakai topi mirip Steven.
Mata Rini semakin berat, rasa kantuknya semakin tak tertahankan. Tidak biasanya ia begitu.
Ia kemudian menutup matanya dan tiba-tiba ingat jika pintu kamarnya sudah dikunci sebelum Rini tidur!
Lalu bagaimana Steven bisa masuk? Tetoott.. Tetoott.. Suara ringtone HP Sony Ericsson tanda telepon masuk berbunyi.
"Halo? Nong! Steven bentar lagi jemput! Udah siap kan?" Cecar Steven bersemangat.
"Ven, lo tadi kekamar gue?" Tanya Rini mengabaikan pertanyaan Steven.
"Ga tuh! Steven baru pulang ini langsung telepon kamu!" Rini diam dengan kantuk yang mendadak hilang.
Rini langsung berdiri menyambar pegangan pintu dan masih dalam keadaan terkunci.
Bersambung