webnovel

Diantara Kebohongan

{MATURE CONTENT: R18!} When lie covered by a liars, even human eyes could never tell the truth. “kamu ngga suka keramaian?” Ia mengangguk dengan senyum simpul, alihkan pandangan dari buku untuk menoleh hanya menemukan pandangan pria itu kembali terbuang ke hadapan. “kamu bisa menjelajahi tempat ini secara privat kalo mau” ucapnya dengan dua lengan bertengger ke sandaran kursi. Terkekeh geli Malena mendengar itu, “menyewa tempat sebesar ini?” sebab kedengarannya tidak mungkin. “ngga ada yang ngga mungkin di sini” geleng si pria dengan bibir mengerucut, “tinggal bilang aja ke penjaga di depan, mereka akan mengusir pengunjung lain dan menutupnya untuk bisa kamu jelajahi sendiri” kesannya pongah menjawab, “aturannya memang begitu, karena masuk ke tempat ini tidak dipungut biaya apapun kan” tolehnya kilas ke Malena yang kelihatan heran. “itu egois namanya” geleng Malena, masih kecut. Pandangan si pria mengedar ke lenggangan sejenak, “demi kenyamanan sendiri, tidak ada salahnya. Semua orang bisa menggunakan tempat ini sesuka mereka jika bilang, kecuali mereka ngga tahu” Malena kembali menggeleng kecil, “ini bukan tempat pribadi” “kecuali punya pemiliknya” sanggah si pria balik menatap, lalu memperbaiki duduknya sedikit menghadap Malena dengan satu tangan tersodor. “perkenalkan.. saya Ghani, yang punya Semesta ini” Malena menatap si pria dengan keterhenyakan dalam diamnya, lalu melirik sodoran tangan yang masih tertahan. Akhirnya, ia bertemu Ghani secara langsung. Dan ia merasa debaran jantungnya kian berdentam, diantara perasaan lega dan khawatir. Pengakuan tersebut bukan hanya mengejutkannya, tetapi gaya Ghani kala mengenalkan diri terkesan sedikit begitu pongah. “oh wow” serunya pelan, berdengus senyum menerima kilas jabat tangan yang ia lepas sepihak. “senang bertemu dengan pemilik tempat ini, secara tidak terduga” sudut bibirnya berkedut dipaksa tersenyum, tapi ia bisa menutupi itu. Pandangan Ghani masih menatapnya, tapi kembali duduk seperti semula dengan lengan menyender. “kamu familiar, seperti kita pernah ketemu sebelumnya” kata Ghani memperhatikan Malena yang pasang senyum simpul. Tidak sulit menjaga sebuah kerahasiaan, yang sulit itu adalah menjaga kepura-puraan. “saya rasa tidak” gelengnya pelan, “manusia punya banyak kembaran di bumi kan” “but feels like i’ve seen you before” bersitatap mereka lagi. Ghani dengan tatapan lekat, sedangkan Malena hanya tersenyum tipis. Malena tidak terkesan mengundang, tidak pula menunjukkan ketertarikan apapun. Ia paham dengan maksud tatapan Ghani padanya. Justru ia menunjukkan kekakuan, kecanggungan, dan sedikit ketidak nyamanan. Bukan seperti kebanyakan orang yang akan berseru semringah dan semangat ketika bertemu seorang pemilik tempat apapun, atau meminta berfoto dan sebagainya. “saya boleh tau nama kamu?” Nama adalah identitas diri yang paling krusial, Malena berpikir memberitahukan namanya adalah hal pertama yang membuat hidupnya kemungkinan berada dalam bahaya.

Nothing_El · Fantasie
Zu wenig Bewertungen
13 Chs

7

Selling is a God, buying is a God. And you, They have abandoned you. They let you fall into oblivion, yes, you:

The distant traveling of the unknown in the darkness: the drunkenness of the night in the air.

So drunk I am with the night, the air, and the trees

I have carried you, Sea, upon my forehead

You that carry no name, the journey to the unseen

Through you and in you, the whole universe is reduced to the circles of water: the tides of death and birth

And the silence of migrating birds

Between the poles.

Malena memperhatikan bagaimana Ghani di hadapannya, membuka tali merah pembatas pada sebuah pagar besi setinggi 3 meter dan lebar hanya 1 meter. Jalan menuju bukit paling tinggi di mana sebuah bangunan pendopo yang selalu menarik perhatian para pengunjung ingin kunjungi, tetapi tak bisa diakses karena bukan merupakan bagian dari sektor wisata.

Tempat yang mengharuskan mereka berjalan kaki selama kurang lebih 20 menit dengan melewati hutan kecil, kebun binatang mini, lalu menaiki tangga berjumlah setidaknya 100 lebih anak tangga. Dengan pemandangan terlalu indah sepanjang perjalanan

sudah lebih dari cukup memanjakan mata Malena yang tiada henti mengucap kagum dalam hati. Tempat yang begitu indah, dibesarkan oleh alam dan dirawat oleh kerapihan tangan manusia agaknya tidak selalu terkesan buruk seperti menghancurkan mereka untuk dibuat menjadi tempat wisata.

Dinding batu memiliki sulur tanaman yang panjang mengelilingi tembok, dan di sisi pagar batu tersebut terdapat sebuah papan bernomor 01 yang miliki alat akses kunci berkamera serta intercom. Sedangkan Ghani berdiri di depan pagar yang telah terbuka, mempersilahkan gestur pada Malena yang masih berdiri tenang dengan raut tak terbaca.

Ia berjalan mendekat perlahan, tentu saja karena keraguan menggerogotinya. Menggenggam erat tali tasnya kala melewati Ghani dan masuk ke dalam pagar, dan begitu memasuki wilayah pendopo, Ia menengok balik melihat bagaimana Ghani bekerja

memasang kembali tali merah, lalu menutup pagar dan tak lupa menguncinya.

Pria itu berbalik, seraya menggantung serenteng kunci di pinggangnya. Itu terkesan seperti dirinya sengaja dikunci oleh pria asing yang mencurigakan, yang hendak melakukan sesuatu hal buruk kepadanya. Tetapi kenapa Ia menyetujui untuk ikut

sejak awal? Ia punya setidaknya 20 menit sepanjang perjalanan untuk mengubah pikiran dan membatalkan ajakan Ghani, tak perduli jika tempat spesial itu memiliki karya seni seperti yang pria itu katakan padanya, atau mengajaknya untuk menebus maaf soal perkataannya sebelumnya.

"Kenapa harus dikunci?".

Ghani menengok kilas pagar kembali, bibirnya mengerucut. "hm. Itu biar ngga ada yang berpikir tempat ini bisa dimasuki begitu saja" kemudian berjalan melewati Malena yang masih diam di tempatnya.

"I told you. This place is not for just anyone to visit".

Tak ada suara langkah mengikuti, Ghani berbalik dan menemukan Malena tetap bertahan di depan sana.

Wanita itu melirik jam di pergelangannya dan balik menatap, "sudah jam 3 sore, tempat ini akan tutup jam 5. Mobilku sendirian di bawah" pandai memainkan raut wajah tetap datar, namun cara menatap tersirat kecurigaan.

Ghani berdengus senyum, "ngga usah pikirkan itu, ngga akan ada pencuri disini" dua tangannya kembali masuk ke kantong celana, seperti sebuah kebiasaan. Yang ada adalah orang asing mencurigakan yang mengunci wanita di dalam wilayah pendopo pribadinya. Itulah yang kepala dan hatinya ucapkan menyambung perkataan Ghani, tetapi mulutnya

tetap bungkam.

"ayo. Sebelum kamu melewatkan sunset" melakukan jalan mundur perlahan tanpa

melepas pandangan dari Malena, "itu salah satu karya seni alami yang selalu disukai orang, i bet you'd like it too".

Entah kenapa kakinya bergerak melangkah, padahal hatinya sudah bekerja keras meraung untuk membuat kepalanya berhenti memerintah tubuhnya. Melihat senyum di wajah Ghani yang menawan sebelum pria itu berbalik memunggunginya, kata

"Malena" langsung terlintas di benak seakan berteriak padanya, berusaha membuatnya sadar karena baru saja Ia malah tersipu?

Dilihat dari kejauhan, bangunan pendopo itu memang kecil karena hanya berbentuk bulat dan membuatnya terkesan tidak memiliki banyak ruang. Tetapi ketika Malena berdiri di pelataran tangga, selama memperhatikan sekitar selagi Ghani membuka kunci pintu. Ia menemukan bahwa tempat itu cukup besar, bahkan lebih besar ketimbang cafe-cafe di bawah bukit sana. Selayaknya bangunan berlantai 2 pada umumnya, pendopo ini tidak bisa disebut pendopo melainkan seharusnya disebut bangunan rumah.

Ghani menoleh setelah membuka pintu, kembali menggestur pada Malena untuk berjalan duluan. Seharusnya itu merupakan norma kesopanan laki-laki terhadap perempuan di manapun, tetapi dalam kasus ini, gambarannya mencurigakan. Namun Malena tetap menurut, Ia berjalan memasuki pendopo dan kembali hal sebelumnya yang dilakukan Ghani ketika memasuki pendopo ialah menguncinya.

Di dalam benak Malena, Ia punya bayangan terburuk yang mungkin saja akan terjadi. Ghani akan langsung menyerangnya ketika berbalik, entah memukulnya, mendorongnya, menjambak dan menyeretnya ke tempat di mana teriakannya tak akan terdengar siapapun, dan perlawanannya akan sia-sia karena perbedaan jauh postur tubuh mereka. Padahal jika akan terjadi, Ghani bisa saja melakukan itu ketika dirinya memasuki pagar. Tidak akan ada yang melihat, mereka sudah terlalu jauh berada di puncak dimana tak ada satupun sepasang mata maupun telinga akan mengetahuinya.

Bunyi kunci pintu terdengar menggema, namun Malena tidak berbalik seperti dilakukan sebelumnya. Ia sibuk mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan bersekat panel kaca dan tiang-tiang kayu penyangga berukuran besar terfurnis mengkilap. Dari luar bangunan ini memiliki material batu, tetapi tembok di dalamnya ternyata memiliki tembok kayu furnish, sangat menarik. Di Tengah ruang adalah perabotan santai nan unik dan karya seni terpajang mana-mana, beberapa lukisan yang temanya Old Renaissance, beberapa figura foto besar berwarna hitam-putih, dan berbagai macam karya seni yang

terduduk di berbagai rak lemari, nakas, dan bahkan lantai. Serta 3 teleskop besar yang kisaran harganya pasti semahal itu, berdiri di beberapa titik jendela dengan ujungnya menyorot ke luar. Juga di lantai dua yang sisi kirinya memiliki balkon ruangan, penuh dengan jejeran rak buku.

Sementara di sisi kanan adalah tembok hitam dengan figura lukisan besar menggantung, yang entah itu merupakan ruangan apa. Refleks genggaman pada tali tasnya mengerat saat suara langkah Ghani mendekat, pria itu berdiri tepat di belakangnya dan menaruh kepala di sebelah telinga kirinya.

"welcome to the center of observatory lab, Ms. Niana"

Dengan itu, Ghani kembali berjalan melewatinya. Malena dengan pemikiran dari berbagai situasi terburuk mendadak bernafas lega, meski rautnya tetap datar, Ia sempat menelan ludah kasar tanpa diketahui Ghani yang berjalan santai memunggunginya.

Tak ada yang terjadi. Belum. Batinnya.

Sial. Suara berat yang rendah barusan masih terngiang di rungunya. "ini rumahmu?" menebak, akhirnya berani menggerakkan kakinya untuk kembali melangkah.

Ia hanya mengikuti Ghani yang telah mendekati sebuah teleskop di satu jendela yang terbuka, sementara Ia berhenti tengah ruangan dan mendongak untuk mengamati langit-langit dengan desain kayu furnish melengkung rumit dan unik, serta kaca patri di tengahnya yang terbias cahaya matahari dari luar membuat bias cahaya kaca tersebut terpantul dengan sangat cantik pada satu sisi.

"ngga, saya menyebut ini tempat. tapi ya saya tinggal di sini"

Dia sembari bekerja mengatur teleskop, menengok kilas Malena yang tengah mengamati seisi ruangan. Lalu pandangannya turun ke kaki putih nan mulus sang empu yang berbalut Mary Jane Pump shoes berwarna Moss, senada dengan tas jinjing yang kemudian diletakkan Malena ke salah satu kursi rotan area santai. Sudut bibirnya menyungging senyum miring, kala Dia kembali memfokuskan pandangan pada pekerjaan mengatur teleskopnya ke sudut yang pas.

Malena sendiri benar-benar terkagum, meskipun senyum simpulnya terlihat dipaksa. Memang. Ia masih memiliki kewaspadaannya. Ia berbalik menatap lekat punggung lebar Ghani yang masih sibuk mengatur teleskop sesekali dicoba, perlahan tangannya naik

untuk menyisip sesuatu ke pinggang rok bagian kirinya, sebuah pisau lipat. Lalu membuang pandangan ketika Ghani menengok lagi, berpura-pura masih mengamati seisi ruangan.

"sunset di sini biasanya kelihatan di jam 5. 20" kata Ghani sembari mengecek jam digital di nakas terdekat, menarik perhatian Malena yang menoleh balik.

"tapi mungkin hari ini sedikit larut" Dia sedikit merasa aneh karena Malena belum bertanya lagi soal apapun.

Lengan bersedekap kala berdiri menyender tembok kaca, memperhatikan wanita itu akhirnya bergerak pindah ke arah berbagai pigura lukisan Old Renaissance yang menggantung tak sejajar di dinding sebelah kiri.

"Punya cerita dibalik lukisan ini?" berdiri di depan sebuah lukisan cat seorang pria Eropa berambut hitam dengan wajah tegas tapi rautnya murung, mengenakan kemeja ruffle putih dan ada mahkota kertas berwarna kuning di kepalanya.

"I am king of my own kingdom".

Kepala Malena miring dengan raut tersenyum heran ketika balik menatap Ghani, tapi Ia tak mengatakan apapun. Lalu berpindah ke hadapan lukisan kursi kayu kosong yang menghadap jendela terbuka, nuansa waktu seperti di sore hari cerah karena dominan cat kuning tampak bercahaya.

"chair of truthful view".

Masuk akal. Tapi tidak begitu pas. Ghani pasti menamainya sesuai pemikiran atau perkiraannya, dan itu cukup menarik bagaimana pandangan pria tersebut terhadap setiap karya seni yang ada.

"you don't name it after their own name, why?".

Ada berbagai macam lukisan, namun Malena hanya menunjuk yang memang bisa membuatnya membaca seperti apa pemikiran Ghani. Setiap lukisan pasti memiliki makna tersendiri bagi yang melihat, menurut sesuai persepsi mereka tentang menggambarkan

sesuatu hal tersebut.

Ghani menggeleng balik, seraya bergerak dari tempatnya. "karena saya punya sebutan sendiri untuk mereka. Siapa pelukisnya dan seterkenal apa pun dia ngga berlaku di tempat ini, karena tempat ini punyaku".

Kali itu, Ghani menyandarkan punggung dan bersedekap di pintu kaca lemari setinggi 3 meter tak jauh di sebelah kanannya. Yang isinya memiliki pajangan berupa berbagai jenis macam piala, pigura piagam perhargaan, dan pajangan acak yang kebanyakan berlapis emas. Dia masih berkata, bertindak seakan segalanya adalah miliknya dan memang benar miliknya, namun maksud dibalik itu Dia tengah menyombong. Atas kepunyaannya

yang luar biasa, atas pencapaian sukses di usianya yang bisa terbilang muda, padahal mereka hanya berusia selisih 2 tahun.

Ia lalu bergerak ke hadapan sebuah pigura lukisan yang bernuansa gelap, gambarnya adalah sepasang tengkorak lawan jenis yang tengah berdansa. Si tengkorak wanita memiliki mahkota bunga di kepalanya dan mengenakan gaun putih, sedangkan si tengkorak pria yang tinggi menjulang mengenakan jubah merah panjang selayaknya api yang membungkus mereka berdua.

Malena tak perlu bertanya lagi, Ia hanya berbalik untuk menatap Ghani yang masih tetap sama.

"the souls of nothing".

Ia mendapati perubahan raut dan tatapan Ghani yang juga menatap lukisan tersebut.

Itu indah, pikirnya. Namun tragis. Hanya lukisan tersebut satu-satunya yang bukan merupakan Old Renaissance, dan Ia mungkin bisa menerima nama yang Ghani berikan setelah memperhatikan lebih seksama sekali lagi. Lengannya yang bersedekap saling mengelus, mengamati sosok Ghani dari kaca pelindung lukisan di hadapan yang memiliki pantulan pria itu tengah menatapnya juga.

"kamu punya seseorang?".

Bahu Ghani menggendik kilas, "hanya kita berdua disini".

Malena berbalik kemudian, "maksudku, apa kamu mungkin-"

"saya ngga begitu cepat akrab dengan orang. Kasus kita berdua beda" geleng Ghani diakhir, yang mana itu memberikan arti ambigu namun langsung diketahui Malena.

"dimananya?".

Pria itu menoleh padanya, memperlihatkan senyum simpul yang sebelumnya membuat Malena sedikit tersipu. Tetapi kali itu Malena tak merasakan apapun, karena Ia menggunakan sikap profesionalnya. Ketersipuannya hanyalah kedok, untuk menutupi kewaspadaannya.

"saya ngga biasa dekati orang duluan. Kecuali kalau cukup

menarik perhatian".

Semakin aneh menurut Malena, jelas Ghani berusaha menggodanya. "sepertinya saya ngga berusaha menarik perhatian kamu" Ia punya trik, tetapi tidak menyangka itu akan membawanya sampai kemari. Ke tempat pribadi si pemilik Semesta.

Dalam pandangan Ghani melihat bagaimana mungilnya Malena berdiri membelakangi pigura besar lukisan menurutnya cukup lucu, terlebih si tengkorak wanita di dalam lukisan tersebut memiliki ukuran persis Malena.

"Yes you are. And you want me to approach you".

Keheningan datang menyambut, jeda yang tidak canggung dari bagaimana dua pasang netra beradu dengan masing-masing dibaliknya. Malena merasa Ghani tidak lagi terkesan pongah, pria itu justru kini menatapnya lekat tanpa menilai. Ia tak mengerti kenapa Ghani mengatakan itu seperti memang berkata "kamu yang mengundang". secara tidak langsung.

"drink?" ucap Ghani, meluruskan tubuh dan memasukkan dua tangan ke kantong celana.

Malena pun berkedip beberapa kali, lantas tersenyum simpul untuk hilangkan situasi momen entah apa itu sebutannya. "air putih saja, terima kasih"

"okay" angguk Ghani kemudian berlalu pergi.

***

Dapur yang terdapat di sisi sebelah tangga menuju lantai dua bagian balkon, bersekat tembok dari kayu furnish dan memiliki panel kaca menyorot ke arah dimana Malena terlihat menghampiri sebuah figura potret bernuansa hitam putih.

Ghani mengambil gelas kaca dari kabinet gantung, kemudian mengisinya dengan air dari tap khusus. Bukan untuk Malena, justru Dia yang minum terlebih dahulu. Tenggak habis air untuk lepas dahaga, lalu hela nafas berat. Bermenit-menit dirinya merasa

tenggorokannya tercekat oleh ketegangan, berusaha bersikap tenang tanpa memperlihatkan otot impuls itu cukup menyiksa.

Kembali iris jelaganya menatap punggung sempit Malena yang masih mengamati berbagai pajangan seperti Ia tengah berada di sebuah museum. Dia membiarkannya, lagipula memang itu alasan dirinya mengijinkan Malena datang. Cengkram erat Gelas di tangan seiring netra sipitnya menajam, dan rahang mengerat. Panel kaca itu satu arah, Malena tidak akan mengetahui dirinya tengah diamati. Kecuali Malena punya firasat kuat ketika ditatap.

Dan itu justru sebenarnya memang dirasakan oleh Malena yang berpura-pura menyibukkan diri dengan kekagumannya terhadap pemandangan di luar jendela sana, Ia merasa aura kuat yang seakan tengah memantaunya dari sisi lain. Tapi sama sekali Ia

tidak memberikan reaksi dirinya gugup, meskipun itulah yang terus dirinya rasa selama memasuki pendopo. Dalam pikirannya, apapun yang mungkin akan terjadi tidak lagi mengejutkannya, Ia hanya harus terus waspada dan menyiapkan diri. Tidak heran kenapa Hanan memiliki ketakutan besar, kemarahan dan kebencian tak kasat mata. Ternyata kakaknya adalah sosok yang terlalu melampauinya, terlalu banyak memiliki, pribadi

terkesan kuat dan misterius tapi Malena masih mampu membacanya.

Ia harus terus menyadarkan dirinya bahwa ini adalah sebuah misi menyangkut harga diri dan karirnya, misi yang bisa mengacaubalaukan hidup sempurna dan sederhananya.

Apa jadinya kalau Ghani mengetahui tentang dirinya? Siapa yang meminta bantuannya, dan sebanyak apa Ia mengetahui cerita yang ada.

Keluarga besar Prasdiwo merupakan kaum old money. Dan melihat Ghani bahkan bisa membuat bisnis sebesar Semesta, mencakup satu wilayah cukup besar di pinggiran kota, memiliki sangat banyak penghargaan serta prestasi bisnis berbagai gengsi dan semuanya khusus kalangan elit. Ia sadar bahwa langkahnya sudah sedikit terlalu jauh sampai disini, menginjak kediaman pribadi pria itu yang belum sama sekali mengetahui soal maksud dan tujuannya. Atau mungkin telah tahu tapi sengaja ingin bermain-main dengannya, sebelum menangkap basah dirinya atau mengkonfrontasinya.

"water".

Ia berbalik begitu suara Ghani menyapa, pasang senyum simpul terpatri melihat gelas berisi air putih bening tersodor. Ia menerimanya, tetapi tidak langsung meminumnya.

"saya penasaran" ucapnya.

Ghani hanya menoleh kilas sembari terus berjalan mendekati teleskop yang sebelumnya telah diatur apik, menyadari Malena tidak langsung meminum airnya tapi hanya memegang gelasnya.

"waktu kamu bilang, "kalo kamu bertahan lebih lama, kamu akan paham seni sesungguhnya ya semua orang yang datang ke galeri semesta" apa maksudmu?"

Ghani tidak bergerak dari kegiatannya mengamati matahari lewat teleskop, tapi senyumnya terbentuk miring.

"kamu mengamati mereka dari sini? Atau mengamati mereka di sana secara langsung?".

"both, sometimes" Ghani meluruskan tubuh setelah lepas mengatur teleskopnya lagi.

"kenapa?" seraya menaruh gelas di nakas terdekat, lalu menyenderkan pinggul dengan lengan bersedekap. Ia sengaja.

Air di gelas itu memang sangat bening, tapi Malena masih memiliki kecemasannya. Ia tak tahu apa yang mungkin saja Ghani masukkan ke dalam airnya, atau gelasnya. Makanan dan minuman adalah media terampuh jika ingin menjebak seseorang, dan air putih merupakan media cukup lemah untuk melakukan itu, karena air harus sangat bening dan tanpa aroma serta rasa atau akan mudah ketahuan jika tidak. Ia sama tak bisa mengenyahkan pemikiran tentang Ghani adalah orang jahat, dan kemungkinan terburuk bahwa Ghani bisa saja menjebaknya.

Pria itu nampak berpikir, dengan raut gestur bibir mengerucut yang akan selalu ditampilkan duluan. "saya suka aja mengamati orang-orang. Kamu tahu, saat mereka pikir ngga ada yang melihat mereka, mereka melakukan hal yang ngga ingin orang lain lihat tentang mereka".

God Complex.

Ghani jelas berpikir dan bertindak seakan dirinya Tuhan, dengan melakukan hal yang selalu dilakukan Tuhan bersama para bawahannya. Mengamati manusia untuk segala yang mereka lakukan. Namun dalam kasus ini, Ghani sendiri merupakan manusia, dan itu tidak pantas dilakukan.

Ia berdengus senyum, "apa gunanya mengamati orang seperti itu? Selain melanggar privasi orang tersebut, bukannya itu bisa membuat kamu sendiri ngga nyaman?"

Sempat dirinya menangkap Ghani melirik gelas yang diletakkannya, mungkin pria itu berharap Ia segera meminum airnya. Tapi Ghani kembali memasukkan dua tangan ke dalam kantung, lalu menggendikan bahu kilas.

"saya menikmatinya. Untuk mempelajari bagaimana sifat setiap orang seperti yang Tuhan lakukan. Besides, it's only illegal if i get caught right?" tersenyum miring setengah mencebik.

"so you're the one who's been watching me and said i tried to.." jeda itu disengaja, "for me personal, that's weird, illegal, and creepy".

Ghani menangkap maksudnya, dan pria itu berdengus senyum sembari mengatur tombol di teleskop.

"well, kamu disini sekarang. Saya bisa bilang kamu sendiri juga punya nyali besar, menyetujui ajakan orang asing bukannya ngga akan dilakukan kalau kamu sendiri ngga punya tujuan kan?" sesekali meliriknya dengan tatapan menilai lagi, seperti ketika pertama mereka bertemu.

"you came here twice. Dan pasti bukan hanya sekedar alasan ingin berkunjung dibaliknya. Mungkin saya yang seharusnya waspada" dengus Ghani terkesan meremehkan.

Ghani tidak salah dengan mengiranya demikian, Ia hanya bertingkah tidak memahami pernyataan barusan. Seorang wanita yang terlihat lemah dan tidak mungkin bisa melawan jika sudah dicengkram balik oleh pria yang besarnya dua kali lipat dari tubuhnya sendiri. Mendadak tenggorokannya kering mendengar itu, refleks mengambil gelasnya kembali yang mana bertahan perhatian Ghani padanya. Tapi sekali lagi, air itu tidak langsung diminumnya. Sengaja Ia hanya menggerakkan gestur tangan tanpa meminumnya, untuk melihat bagaimana reaksi Ghani jika Ia melakukan demikian.

Kecemasannya memang mendasar, hanya saja Malena tak perlu khawatir soal diracun. Sebab yang Ghani lakukan hanya tidak membilas bekas minumnya, Malena tak mungkin akan menyadari sisa air di pinggiran gelas bukanlah karena tumpahan tak disengaja.

"nice counter back. Tapi saya ngga punya tujuan, murni karena masih ingin melihat banyak hal lebih seksama untuk kebutuhan penilaian semata"

Pria itu masih tersenyum, memegang batang teleskop yang hanya setinggi dada. "apa kamu semacam kritikus seni atau jurnalis?" tebak Ghani.

"saya hanya orang biasa" balasnya menggendik bahu kilas. Dan Ia merasa senyum miring yang Ghani tampilkan memiliki sesuatu dibaliknya, tapi Ia mencoba menyingkirkan itu sejenak.

"good. Berapa nilainya?" lalu merunduk hingga mata kiri berada di tabung teleskop.

Nampak Ghani tidak peduli lagi dengan gelas yang dipegangnya.

"5 out of ten".

Terdengar dengusan masam tanpa posisi Ghani berubah, "pft, terlalu sedikit"

Kesan tarik-ulur itu membuatnya tersiksa sendirian, jujur dirinya haus, tapi Ia ingin melihat sejauh apa reaksi Ghani.

"tambah 5 untuk tempat ini".

Tapi lupa sesaat untuk berkonsentrasi, bibirnya sudah mencapai bibir gelas yang langsung menarik perhatian Ghani. Tetapi reaksi dan raut Ghani sendiri biasa saja, malah tersenyum karena mendengar penilaian barusan mengenai tempatnya.

"fair enough". raut dan senyum yang seperti menadakan kepuasan. Entah untuk yang mana.

Gelas kosong berakhir terduduk di nakas, mereka bersitatap sejenak entah karena apa. Malena tak merasakan apapun kecuali kepuasan melepas dahaga, dan Ghani juga puas karena menyadari dimana Malena minum tepat dimana bibirnya berada sebelumnya.

"sini. Sunsetnya udah kelihatan. Hanya lebih lambat 20 menit dari biasanya"

Ia mendekat, Ghani sedikit menyingkir. Teleskop besar itu jika digunakan Ghani harus merunduk sedikit, sedangkan Malena tidak perlu karena tabung lensa berada tepat di depan wajahnya. Dengan itu, Malena menggunakan mata kiri untuk melihat dari teleskop.

"bisa lihat?".

Senyumnya mengembang kaku, "bisa, terang banget".

Sementara Ghani berdiri tepat di sebelah, memegang panel kontrol untuk menggerakkan teleskop. "iya, cantik kan?".

Tidak sekalipun dia mengalihkan pandangan dari sisi wajah Malena yang tengah menutup mata kanan tanpa kesulitan, ukirannya tegas dan berlekuk halus begitu pas sesuai ukuran, tidak lebih dan tidak kurang. Sempurna.

Sedang Malena henti mengamati sejenak untuk menengok Ghani kilas, "hanya cahaya berpendar, dimana cantiknya?". Lalu kembali menaruh mata kanan kali itu sehingga surainya menjadi terjuntai menutupi sisi wajah dari penglihatan Ghani, tentu saja sengaja melakukannya, Ia tahu Ghani hanya sempat menatapnya barusan.

"cahaya berpendar itu" ucap Ghani dengan raut datar, tapi tak diketahui Malena yang sibuk mengamati.

Melihat pergerakkan Matahari, meskipun Matahari berada di ufuk barat sana. Saat ketika tangannya diambil Ghani yang membuatnya sempat terkejut dan menjauhkan wajah sejenak, namun pria itu menaruh tangannya beserta ke panel kontrol agar Ia bisa menggerakkan sendiri mengikuti matahari yang semakin tenggelam. Tentu dengan bantuan dorongan Ghani yang lebih kuat, Ia hanya harus mengarahkan kemana. Tetapi menggerakkan panel membutuhkan dua lengan, jadi satu tangan Ghani bersama miliknya di panel kontrol.

Malena menjadi terkurung di antara lengan Ghani, yang membuatnya tersadar bahwa mereka terlalu dekat. Ia merasa sangat tidak nyaman karena tubuh mereka akan beradu gesek beberapa kali ketika Ghani mendorong teleskop perlahan, tetapi Ghani juga sepertinya berusaha untuk menjaga jarak diantara mereka.

"mana detailnya?" sengaja bertanya untuk mengurangi ketidaknyamanannya, terlebih lagi karena wajah Ghani berada tepat di sebelah telinganya.

"kalau detail, cahaya matahari bisa merusak penglihatan".

Ia berusaha tetap tenang, meskipun ingin sekali Ia melepas tangannya dari kehangatan yang melingkupi, dan membebaskan diri dari antara yang lebih besar. Merasakan tangan hangat besar yang sedikit kasar terkadang menggenggam tangannya sedikit kuat ketika menarik panel. Tapi Ghani sudah terbiasa, Dia hanya mengalami kesulitan karena adanya Malena, tapi tak masalah baginya.

"ya saya tahu, yang saya maksud teleskop dari NASA bisa menangkap detail itu".

Terutama Ia ingin berhati-hati, posisinya sangat tidak menguntungkan jika Ghani ingin melancarkan rencana jahatnya. Ia akan kesulitan meraih pisau lipat yang ada di pinggangnya kanannya karena tangannya ditahan Ghani, dan alternatif tangan kiri akan mengalami kesulitan seperti kalah cepat dalam melawan refleks.

Nafas Ghani kala berdengus senyum terdengar lebih jelas, "teropong NASA terlalu mahal, harus beli sekalian dengan 1 stasiunnya" dan suaranya pun terkesan lebih dalam dari sebelumnya, mungkin karena posisi mereka sangat dekat.

Sial. Ia tak mengira akan berada di situasi demikian, mana dirinya tahu kalau Ghani akan menggunakan kesempatan tersebut untuk bisa menyentuhnya. Wajahnya menjauh dari teleskop untuk menatap Ghani yang juga menoleh padanya, bahkan sebelumnya Ia tak lagi menaruh perhatian meski netranya hanya menatap pergerakan Matahari yang kian tenggelam di ufuk.

"katanya kamu yang punya Semesta. Kok ngga punya stasiun sendiri? Masa ngga punya matahari sendiri?".

Suara dan nada yang datar, bahkan rautnya pun datar. Itu terdengar sangat naif, seperti umumnya anak kecil yang bertanya karena penasaran. Ghani menatap dengan raut tak

terbaca, merelakan tangan halus nan hangat ditarik sang empu dari genggamannya di panel.

"itu artinya kamu bukan pencipta. Hanya peniru"

helo heloo. kembali lagi dengan chapter baru, silahkan tinggalkan kritik dan saran karena itu sangat author butuhkan ^-^

hope you guys enjoy this chapter and don't forget to support me!

Thank youu! ^_^

Nothing_Elcreators' thoughts