Andira sejak kedatangan tamu konseling lain, hanya berada di ruang tengah, duduk di sofa dan membaca buku atau majalah untuk membunuh waktu sembari Malena di ruangannya bersama sang klien. Dia yang mengantarkan mba Kanya sampai ke teras depan ketika mobil sang klien baru saja tiba, mba Kanya sudah cukup lama mengambil waktu istirahatnya dan terburu pergi tanpa sempat berpamitan dengan sang tuan rumah saat itu tengah berbincang dengan Ghani, pria yang hingga kepulangannya pun tidak ada bertegur atau sekedar basa-basi padanya.
Dia dan mba Kanya sempat berspekulasi bahwa pria itu adalah teman Malena, dirinya sendiri. Sementara Kanya merasa itu tidak mungkin karena Dia mengenal hampir seluruh teman Malena dan belum pernah melihat sosok pria chinese berkulit tan tersebut. Semakin membuat Andira sempat menduga ke arah yang lebih jauh, tapi sayangnya waktu itu bertepatan dengan harus perginya mba Kanya dan kedatangan sang tamu klien, Dia jadi tak memiliki waktu untuk membahas lebih lanjut.
Majalah dikembalikan ke meja di hadapan, lalu Dia melirik jam dipergelangan yang telah menunjukkan pukul 5 sore lebih, lantas menengok ke arah lorong di mana ruangan konseling berada. Sudah hampir dua jam dan mereka belum keluar dari sana, terlebih lagi itu adalah waktu sesi seharusnya berakhir. Namun tak berapa lama, pintu ruangan akhirnya terbuka dan sosok yang ditunggu pun keluar. Andira beranjak dengan gestur
sopan dan senyum ramahnya sembari mengekori mereka keluar. Kurang lebih Dia masih bisa mendengar Malena berbasa-basi dengan si klien wanita tersebut yang namanya mba Sofia.
Wanita yang merupakan seorang pengusaha dan janda anak satu yang baru bercerai beberapa waktu lalu, mba Sofia sebelumnya punya sikap dingin, jutek, dan sedikit temperamen, kini berubah jadi sosok yang lebih positif dan ramah. Dia bahkan mendengar soal undangan pernikahan adik iparnya yang akan dilaksanakan lusa
nanti, dan meminta ketersediaan waktu Malena untuk bisa datang. Mereka kembali masuk ke dalam setelah mengantar kepergian mba Sofia, Malena yang melengos ke dapur untuk mengambil air minum masih di ikuti oleh Andira yang nampak penasaran dari rautnya yang menyimpan keraguan untuk buka suara.
Dia berdiri canggung di sebelah meja makan dan menatap punggung sempit Malena yang tengah minum air, dan hal itu disadari oleh Malena sendiri. Ia berbalik dan melihat raut keraguan Andira, "ada apa? Kamu belum balik?" tanya Malena heran.
Andira segera buka suara, "hm. Saya ngga keberatan kalo mba malena minta temani disini, saya bisa menginap kok" dengan tanpa memberikan konteks, yang mana membuat Malena sempat terheran.
Tapi keyakinan tampak di raut Andira, bersama gugup dan cemas. Malena akhirnya sadar
ketika Andira menarik nafas berat, seperti merasa lega telah bersuara.
Ia tersenyum simpul, "ngga usah khawatir, saya udah biasa sendirian di rumah kok. Lagian kamu pasti capek seharian disini".
Setelah cerita menyebar di klinik tentang kedatangan seorang pria bernama Adnan yang mencari Malena tempo lalu, Dia tentu saja menjadi khawatir dengan keselamatan sang dokter di hadapannya itu. Terutama karena Dia jadi cukup tahu sosok Adnan dari cerita mba Kanya, yang memintanya untuk menaruh perhatian terhadap Malena selaku asisten wanita itu.
Dia menggeleng cepat, "ngga kok mba, saya senang kerja disini. Lebih adem dan tenang, biar mba malena juga ada temannya" berusaha sebisa mungkin untuk yakinkan Malena bahwa Dia sangat bersedia untuk tinggal, sebab bukan tanpa alasan juga dirinya
bersedia melakukan itu.
Tetapi keteguhan Andira tak bisa mengalahkan ketegasan Malena, yang malamnya selalu sendirian tanpa seorang pun teman bersamanya. "udah, kamu pulang aja. Sekalian bawa oleh-oleh dari mba kanya untuk keluargamu, kasihan mereka lebih khawatir kalo kamu kemaleman pulangnya atau malah ngga pulang. Besok kalo datang lebih pagi juga ngga masalah kok".
"saya bisa jaga diri di rumah ini".
Dengan terpaksa, Andira menuruti perintah sang dokter untuk pulang. Mobilnya melaju pelan keluar dari kediaman Malena yang nampak asri dan tentram, sementara sang empu berdiri di teras dengan lengan bersedekap memperhatikannya pergi. Dia mengklakson sekali lagi dan dibalas lambaian oleh Malena, pagar tertutup sendiri secara otomatis juga terkunci.
Sejauh mobilnya melaju meninggalkan kompleks, semakin hati dan pikirannya berusaha sinkron untuk meyakinkan dirinya bahwa Malena akan baik-baik saja.
***
Aku hidup dalam imajinasi yang kubuat, segala hal yang belum pernah kualami dan
kulihat. Selalu melihat orang lain menjalani segala imajinasi yang ingin kurasakan
sendiri, betapa frustasi rasanya.
Aku tidak bisa mengabulkannya, Aku terus meminta tapi tidak pernah terjadi.
Kenapa?
Apa yang Aku minta saat Dia menciptakanku? Apa selama sisa hidupku, Aku
meminta untuk tidak menjadi apa-apa? Dan hanya menjalani kehidupan berada
dalam imajinasi ini?
Apa Aku meminta agar tidak membuat hidupku sulit? Tapi Aku merasa kesulitan
sekarang.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Aku terjebak pada setiap imajinasi yang kubuat, dan terus menyakiti perasaanku
sendiri. Aku tidak bisa menutup mata dengan tenang, untuk terus membayangkan
kejadian yang tidak pernah terjadi padaku. Dan yang bisa membuyarkannya
hanyalah kejadian yang Aku lakukan, selalu membawaku pada penyesalan.
Aku dihukum?
Malam menyingsing tak terasa, kediaman Malena yang selalu tenang dan sunyi. Semua lampu mulai dari halaman belakang hingga halaman depan menyala terang, hanya lampu di dalam rumah yang mati. Itu sebuah kebiasaan, Ia diajarkan oleh mendiang ibu sejak masih kecil untuk melakukan itu. Agar ketika ada sesuatu di luar rumah, Ia dapat melihatnya dengan jelas dan apapun yang ada di luar tak dapat melihat masuk ke
dalam rumah. Keadaan di luar juga sepi dan sunyi, kompleks yang sehari-harinya memang tenang karena semua orang bekerja dan hanya beristirahat di malam hari.
Malena kebetulan belum menutup mata, Ia masih terjaga di ranjang dengan buku bacaan dan kacamata bertengger. Biasanya Ia akan tidur setelah 20-30 menit membaca, hanya untuk membunuh waktu sambil mengundang kantuk. Namun lama tak terasa, detik jam menggelitik rungu dan pikirannya tidak lagi fokus pada bacaan meski netra terpatri di barisan kalimat.
*i want two of you to meet each other*
Mengingat ucapan Ghani sebelumnya soal seseorang yang ingin diajaknya bertemu, Ia malah berspekulasi, berasumsi bahwa sosok itu adalah ibu sang empu, ibu Hanan juga.
Buku ditutup, bunyinya renyah ketika Ia menaruhnya kembali ke nakas dan menyambar ponsel jadul miliknya. Ponsel yang sengaja digunakan hanya untuk berhubungan dengan Hanan, karena memang permintaan pria itu sendiri.
Mengira-ngira waktu di mana Hanan berada dengan waktunya sekarang, Ia berharap Hanan tidak memiliki kesibukan karena Ia punya berita penting untuk dibagikan. Deringan ketiga akhirnya berakhir dan suara berat familiar menyapa pendengarannya,
*halo? Dokter*.
"selamat siang pak hanan, maaf kalau saya mengganggu waktunya
sebentar, tapi ada yang ingin saya sampaikan".
*selamat malam dokter, ngga kok, sama sekali mengganggu,
kebetulan saya lagi makan siang*.
*ada apa?*.
Tetapi sesuatu tiba-tiba merasuki dirinya, "tadi siang, pak ghani datang ke kediaman saya. Padahal saya bahkan ngga mengenalkan diri dengan nama lengkap atau membagikan soal pekerjaan saya" yang membuatnya sadar akan sesuatu hal.
Ada jeda beberapa saat sebelum suara Hanan kembali terdengar, *apa dia tahu?* seperti pria di seberang sana terkejut mendengar apa yang dirinya katakan.
Ia tak ingin membuat Hanan menjadi tidak nyaman, apalagi menyangkut sikap Ghani yang datang sebelumnya. "sepertinya tidak. Dia datang bukan karena itu, tapi hal lain. Meskipun saya agak was-was kalau dia sebenarnya sudah tahu".
Berbicara dengan Hanan tanpa bertatap wajah membuatnya kesulitan mencerna percakapan, sebab Ia jadi tidak bisa melihat reaksi langsung dari Hanan seperti seharusnya.
*dia ngga melakukan sesuatu ke dokter kan, seperti mengancam?*.
Dalam hati Ia bersyukur, ada orang lain yang menemaninya selama kedatangan Ghani.
"syukurnya tidak. Kebetulan saya punya teman di rumah, pun dia ngga lama".
Suara-suara orang bercakap di latar belakang semakin terdengar menjauh, Hanan pasti beranjak agar bisa berbincang lebih tenang dan serius dengannya.
*syukurlah dokter. Memang seharusnya lebih baik seperti itu terus, saya jadi khawatir karena dia tahu kediaman dokter. Saya minta maaf dokter*.
"ngga perlu khawatir pak hanan, bukan salah pak hanan juga. Saya pastikan itu akan jadi terakhir kalinya dia datang kemari".
Ia tak bisa memastikan itu, terlebih lagi jika misalkan dirinya menolak ajakan Ghani, pria itu bisa saja mendatanginya dan mencarinya di klinik. Atau jika Ghani sadar tendensinya
sudah menolak di awal, pria itu seharusnya tahu batasan.
*lantas untuk apa dia datang dokter? Saya tekankan sekali lagi, dokter jangan termakan dengan semua omongan dia atau apapun*.
Suara Hanan kembali terdengar gugup, bahkan menghela nafas berat. Menandakan pria itu tengah tertekan, merasa bersalah dengan permintaannya terhadap Malena. Tapi Malena sendiri paham, Ia tak akan menaruh tekanan lebih pada Hanan, itu juga merupakan bagian dari pekerjaannya.
"dia hanya mengajak saya untuk kembali ke kediamannya, katanya mau mengenalkan saya dengan seseorang yang tinggal sama dia. Apa kamu mungkin tahu siapa yang dia maksud?".
*kediamannya? Maksud dokter, dokter pernah datangi rumahnya?*.
Hanan menggebu, namun belum sempat Malena membalas, Ia malah mendengar suara pintu terbuka di luar kamarnya dan terkesan samar atau jauh.
Cklek!
Entah ruangan yang mana, tetapi Ia sadar bahwa dirinya hanya sendirian di rumah. Alisnya mengerut, coba mengatasi kepenasaran dengan kembali fokus pada Hanan.
"emh, pak hanan saya mohon maaf untuk jeda sebentar. Kucing saya baru saja pup, nanti saya hubungi lagi".
*dokter dia-*
Pip!
Ia benar-benar tinggal sendirian, tidak memiliki hewan peliharaan apapun. Ia kemudian bangkit turun dari ranjang, namun sebelum pergi memeriksa, Ia sengaja membawa smartphone dengan log panggilan darurat terpampang, serta pisau lipatnya untuk berjaga-jaga. Keluar dari kamar dan menemukan kedua sisi lorong sepi nan remang cahaya, mengingat dari mana asal suara sebelumnya. Dengan ukuran rumah tingkat dua tapi tidak terlalu besar, setiap suara yang timbul akan selalu terdengar samar namun jelas.
Kakinya melangkah turun dengan berjinjit, sebisa mungkin tidak menimbulkan suara sepanjang melangkah. Menemukan keremangan dari beberapa lampu nakas dan dinding yang sengaja di nyalakan, Ia pergi mendekati interkom untuk memeriksa kunci rumah, pagar, dan alarm masih menyala. Tapi suara pintu yang terbuka itu terekam jelas, dan ketika Ia menoleh ke lorong kiri dimana ruangan kerjanya berada, terbuka pintu ruangan tersebut terbuka kecil seperti memang baru saja ada yang masuk tanpa menutupnya kembali. Seingatnya, Ia selalu menutup semua pintu dengan baik setelah
keluar-masuk. Jadi Ia melangkah masih dengan berjinjit tanpa suara, tangannya siap untuk menekan log panggilan jika benar sesuai dugaannya ada seorang penyusup.
Keberaniannya tidak besar, tapi jika itu menyangkut keselamatan dirinya dan untuk melindungi kediamannya, Ia akan melakukan apapun untuk melawan ketakutannya. Sempat dirinya berpikir, kenapa tidak mengijinkan permintaan Andira yang ingin menginap meski hanya untuk satu malam saja. Tidak, Ia tak ingin membebani orang lain untuk ketenangannya semata. Terutama karena ia tak ingin kesendiriannya diinvasi oleh
orang lain, Ia lebih menyukai sendiri. Perlahan Ia bersembunyi di tembok dan melongok untuk mengintip, menyisir seluruh ruangan yang remang cahaya di dalam sana tetapi tidak menemukan siapapun.
Dengan jantung yang berdebar kencang, keringat membasahi wajahnya, tenggorokannya terasa kering. Perlahan tangannya bergerak naik untuk mengambil gagang pintu, dengan cepat dan sengaja mendorong pintu tiba-tiba. Kian berdentam jantung dalam dada akibat adrenalin terpacu, nafasnya terhela berat menghembus kelegaan karena menemukan kekosongan ruangan. Namun seketika tubuhnya mendadak meremang hebat, merasakan suatu aura seperti berdiri tepat di belakangnya yang membuatnya tersadar.
Pantulan bayangan dari kaca lemari di depan sana, menampilkan sosok tinggi besar yang memegang kapak di tangan kirinya. Busana dungarees khasnya dan tatapan tajam dari celah topeng badut itu.
***
Hari yang cerah, awan putih menggantung di langit biru seperti permen kapas lembut. Angin semilir berhembus membawa kesejukkan, membuat semua tanaman yang ada di halaman tersebut bergerak perlahan menjatuhkan dedaunan dan bunga yang mengering ke rumput hijau segar memiliki titik basah air bekas disiram.
Pancuran air dari selang hanya menyembur di satu titik, membuat pola danau kecil yang mengalir menyebar di tanah. Rok gaun bergerak ketika angin berhembus lagi, kali itu surainya dibiarkan tergerai bergerak hingga tak sengaja menutupi pandangannya, yang membuat sang empu tersadar dari lamunan.
Pandangannya turun mendapati bayangan sendiri dalam genangan air, hanya melihat pantulan diri dalam diam selepas melamun. Semak tanaman Camellia yang bunganya tumbuh subur belum sempat terkena siraman air karena Ia jatuh kedalam lamunan lagi. Maka dari itu segera bergerak untuk menyelesaikan menyiram tanamannya sebelum kemudian mematikan keran air, membereskan pekerjaannya dan kembali masuk ke dalam rumah setelah membersihkan dirinya dari sisa tanah dan air. Kebiasaan berkebun setiap pagi, tapi kali itu Ia terlalu sering jatuh ke dalam lamunan sampai beberapa hal terlewat dikerjakan.
Seperti yang telah dibincangkan kemarin, Andira juga hari itu datang lebih pagi. Wanita itu ada di dapur tengah menikmati kopi dan cemilan pastry buatan Malena yang disuguhkan sebagai sarapan. Mereka sempat saling lempar senyum, dan Malena lanjut membuka kulkas untuk mengeluarkan semangkuk blueberry, cemilan untuk sarapannya. Yang mereka bincangkan selanjutnya hanya seputar jadwal pertemuan dengan 3 pasien, seperti apa keluhan mereka dan sedikit hal-hal di luar pekerjaan. Andira sebenarnya
melihat tingkah tidak biasa Malena sejak kedatangannya, sang empu terlihat kurang baik, seperti kurang tidur, terlalu sering melamun di sela pekerjaan sebelumnya, dan tidak seceria biasanya.
Dia sempat bertanya soal keadaan Malena, yang mana dijawab hanya kurang istirahat karena lembur semalam oleh sang empu. Dia menjadi khawatir karena Malena terlalu bekerja keras untuk kesembuhan para pasiennya sampai lupa pada kesehatan diri sendiri, tapi apalah daya Dia tidak punya keberanian menggurui Malena yang notabene lebih tua darinya dan selalu mengedepenkan pekerjaan. Itu merupakan tanggung jawab dari pekerjaan mereka, pun terkadang dirinya mendapat kesulitan tidur ketika terlalu memikirkan keadaan para pasien yang buruk. Menjadi Malena yang selalu terlihat baik-baik saja tentulah berat, di usia yang masih muda wanita itu sudah bertemu dengan banyak orang tidak sehat mental dan berusaha keras membantu permasalahan mereka.
Bukannya bersantai, menemukan kekasih, atau bahkan membangun keluarga seperti mba Kanya. Selama mereka berbincang membunuh waktu, hanya itu saja yang
ada di pikirannya. Kenapa Malena tidak seperti mba Kanya. Meskipun mementingkan pekerjaan, tetapi masih bisa mencari pasangan untuk membangun keluarga sendiri. Dia meskipun telah kenal hampir 3 tahun dengan Malena, masih tidak tahu banyak soal bagaimana kehidupan sang dokter sebelumnya. Mau bertanya sungkan, takut dikira terlalu mengurusi atau ikut campur dalam hidup sang empu. Termasuk semua orang di klinik, mereka hanya tahu bahwa Malena merupakan anak yatim piatu yang pekerja keras dan tidak memiliki pasangan, kecuali sosok pria bernama Adnan yang baru pertama kali mendatangi klinik untuk mencari Malena.
Sempat dirinya ragu mau bertanya soal itu, tapi dirasa perbincangan mereka sudah cukup terjalin santai, jadi Dia ingin mencoba.
"mba" panggilnya pelan, mengambil atensi Malena yang tengah sesap teh.
Malena pasti bisa membaca keraguannya, "saya minta maaf kalo terkesannya saya penasaran, tapi berita ini udah nyebar di klinik, tapi mungkin mba belum dengar".
"berita apa?" tanya Malena, ikut penasaran. Mendapati keraguan dan gugup Andira di hadapannya, bahkan wanita itu seperti enggan menatapnya karena sungkan.
Andira menaruh gelas kopinya sejenak, lalu meluruskan duduknya di kursi meja makan.
"soal kedatangan cowo yang datang beberapa waktu lalu ke klinik, namanya pak adnan".
Dengar itu, Malena langsung berhenti dari aktivitas mengunyah blueberry nya. Andira mengira itu sudah merupakan trigger bagi Malena, maka dari itu Dia kembali bersuara.
"saya mohon maaf mba, kalo itu menyinggung mba. Saya hanya penasaran, dengar dari clarissa yang hadapi dia bersama dokter kanya"
Malena lantas menampilkan raut heran, kenapa Mba Kanya tidak menyinggung soal hal itu kemarin? Mungkin karena waktunya juga kurang tepat- pikirnya. Mendapati raut penasaran dan heran Andira di hadapan, agaknya tidak masalah untuk hanya membagikan sedikit tentang personalnya.
"dia itu cuman salah satu teman kuliah saya dulu, memang agak lain. tapi ngga usah terlalu dipusingkan" balasnya santai, terkesan acuh.
"tapi kata dokter kanya-"
"saya mohon kamu untuk ngga usah peduli dengan itu" potongnya, "saya ngga suka ranah pribadi saya diusik"
Andira sebenarnya sangat paham akan hal tersebut, namun Dia sama seperti semua orang di klinik yang tidak sama sekali mengetahui bagaimana kehidupan Malena tentang percintaan dan segala macamnya. Lantas merasa bersalah dirinya, buatnya makin sungkan juga karena memang terkesan dirinya terlalu ingin tahu perihal
siapa pria bernama Adnan yang bahkan datang mencari sang dokter di hadapannya itu.
"saya minta maaf dokter" kepalanya menunduk, dua tangan di pangkuan saling meremat karena gugup.
Meskipun Malena menjawab dengan kesan santai, tetapi Dia merasa bersalah karena sudah mengutarakan kepenasaran akan hal yang menyangkut pribadi sang empu.
Malena sendiri tidak masalah jika mereka memiliki rasa penasaran akan kehidupannya, wanita yang tidak pernah sekalipun terlihat memiliki hubungan atau dekat dengan laki-laki manapun. Namun justru itulah alasan dirinya tidak ingin siapapun mengetahui soal kehidupannya terutama tentang kehidupan asmaranya, Ia harus membuat batasan antara kehidupan pribadi dan pekerjaannya.
Mendahulukan pikirannya ketimbang perasaannya, pada akhirnya untuk apa juga mereka tahu soal hal tersebut? Hidup bukan selalu tentang berlomba mencari pasangan
untuk kesenangan, ketika hidup sederhana dengan ketenangan sudah cukup baginya.
Ia melihat raut penyesalan Andira, dan hanya pengertian yang
bisa Ia berikan.
"bukan salah kamu. Rasa penasaran itu memang berat untuk disimpan terus, yang kamu harus tahu untuk ngga usah terlalu memusingkan hal yang bukan merupakan urusan kamu. Terutama jika orang tersebut memang ngga pernah memperlihatkannya sejak awal"
Jika itu dikatakan oleh orang awam, sebagian orang mungkin memiliki pemikiran yang sama seperti Malena, itu akan terdengar biasa saja dan itu artinya kehidupan pribadi mereka tidak begitu penting untuk diketahui orang lain. Tetapi karena Malena merupakan seorang dengan profesi yang selalu mengutamakan orang lain ketimbang diri sendiri, jelas saja hal tersebut merupakan tanda bahwa kehidupan pribadinya tidaklah begitu penting untuk diketahui.
Untuk apa? Pun dirinya akan tetap berada pada pendirian teguh dan tanggung jawab untuk lebih mementingkan pekerjaan dan membantu orang lain.
"profesionalitas di atas segalanya. Saya bukannya ngga mau menjawab, tapi itu udah cukup untuk kamu atau siapapun ketahui".
Intinya Malena tidak ingin siapapun terlalu mengurusi kehidupan pribadinya, hanya saja dengan bahasa yang lebih diperhalus. Andira menjadi sangat paham, "baik mba" angguknya.
"tapi terima kasih sudah mencemaskan saya".
Apakah chapternya semakin menarik? atau semakin membosankan?
Author harap kalian selalu menanti chapter dari cerita ini, jangan lupa untuk tinggalkan kritik dan saran yang berarti biar kita sama-sama belajar.
Terima kasih sudah selalu membaca cerita El, mari berikan support biar El tetap semangat untuk menciptakan karya lainnya.
^_.^ see ya on another chapter!