webnovel

Pricilia

Farhan memarkirkan mobilnya di parkiran stasiun tugu Yogyakarta, berdiri sebentar disamping mobil sekedar menyulut rokok yang terselip di jarinya, sekejap asap rkok mengepul dari bibir laki-laki bertubuh jangkung itu, menatap sekeliling lahan parkir yang luas lalu melangkah menuju pintu keluar stasiun untuk menunggu pujaan hatinya.

Pricilia gadis keturunan Tionghoa yang berhasil memikat hatinya, menarik segala perhatiannya, Farhan sangat merindukan wanitanya, Ya wanitanya calon ibu bagi anak-anaknya.

Tak berapa lama kereta yang membawa Pricilia dari Jakarta telah tiba, keluarlah perempuan cantik berhijab diantara rombongan para penumpang yang antri di pintu keluar.

Farhan membuang rokoknya, dia terkesiap melihat penampakan yang begitu anggun dari pujaan hatinya, apa dia salah orang? Ayolah Farhan bahkan kalian lebih dari sekedar dekat mana mungkin kau salah mengenali orang.

"Pri . . .ci. .lia?" Farhan terbata mengucapkan nama kekasihnya, antara kaget dan kagum yang dirasakan Farhan, kata-kata yang telah dirangkai untuk sang pujaan hati kala mereka bertemupun menguap sudah.

"Assalamualaikum, Mas Farhan."

Lagi-lagi Farhan hanya terbengong melihat kekasihnya ini, dan dia memanggil apa barusan? Mas? Oh… Farhan sungguh terkejut dengan segala perubahan yang terjadi pada kekasihnya ini. Baru satu bulan yang lalu mereka berpisah, apa yang terjadi dengan kekasihnya? Farhan sungguh tak mengerti, apa demi mendapatkan restu orang tuanya hingga pricilia rela mengganti gaya berpakaiannya hingga cara memanggil dirinya? Farhan harus menanyakan itu.

"Kok diem aja sih, Mas?" Tegur Pricilia.

"Maaf Lia, aku sungguh kaget dengan penampilanmu, dan kamu manggil aku apa tadi?"

"Mas."

"Sebutkan sekali lagi."

"Mas."

"Aku bahagia mendengarnya."

"Kita mau disini terus? Kamu ga ngajak aku ke rumahmu? Atau aku harus menginap di hotel?"

"Kita kerumah." Farhan dengan cepat menarik koper yang berada di tangan Pricilia. Dan hendak mengandengnya menuju parkiran. Tapi Pricilia melepaskan tangan Farhan dengan lembut.

"Bukan muhrim."

"Bahkan kamu sedang mengandung anakku, Lia."

"Iya, yang lalu biarlah berlalu, ijinkan aku berhijrah dengan segenap jiwa dan ragaku."

Farhan tercekat. Apa yang baru saja wanitanya ini katakana, berhijrah? Benarkah? Benarkah dia sudah berpindah keyakinan? Kalau tidak apa maksudnya?

"Mas ayo, kok bengong lagi sih?"

"Aku kaget dengan perubahanmu."

"Aku ceritakan sambil jalan aja ya,"

"Baiklah ayo."

Farhan dan Pricilia jalan beriringan hingga mereka sampai di samping mobil yang terparkir. Farhan memasukkan koper Pricilia dalam bagasi, dan membukakan pintu penumpang di samping sopir untuk Pricilia. Lalu dia sendiri segera masuk ke dalam mobil dan melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang.

Jalanan Kota Jogja di siang hari cukup padat, banyak mobil becak dan pesepeda yang berlalu lalang melintasi kota gudeg itu. Hal ini cukup memberi waktu untuk Pricilia dan Farhan saling berbagi cerita.

"Jadi, kenapa penampilanmu berubah seperti ini, apa maksud kamu?"

"Aku sudah menjadi mualaf sejak dua minggu yang lalu."

"Apa?! Mualaf? Kamu tidak salah? Lalu bagaimana dengan orang tuamu?"

"Keyakinan adalah urusanku dengan Tuhan, tidak ada kaitannya dengan orang tuaku, aku sudah dewasa dan bebas memilih apapun yang aku yakini, termasuk agamaku."

"Apa karena aku?"

"Aku tak mau menanggung penyesalan jika aku berhijrah hanya karena kamu, ini sungguh dari dalam hatiku, ini kemauanku."

"Walau kita tak bersama, apa kau tetap akan berpindah keyakinan?"

"Ya, ini sudah pilihan hidupku, sebenarnya aku telah merelakanmu, ketika aku tahu kau dijodohkan oleh orang tuamu, dan aku pun memilih jalanku, untuk berhijrah dan mengenal Allah, karena itu yang membuat aku kuat menjalani hidup bahkan ikhlas jika kamu tinggalkan."

"Bagaimana dengan orang tuamu?"

"Mereka mengusirku, dan mencoret namaku dari daftar keluarga."

"Astagfirullahaladzim, Kamu hebat sayang, disaat kau terjepit dan tak ada tempat bernaung kau memilih tempat yang tepat, yaitu Allah, Aku janji ga akan ninggalin kamu, dan mulai sekarang kamu tak kan sendiri lagi. Ada aku dan keluargaku yang akan menjadi keluargamu, tapi jangan pernah kau membenci keluargamu apa lagi orang tuamu, walau apapun yang telah mereka lakukan padamu."

"Iya mas, terimakasih ya kamu udah kembali lagi padaku."

"Hatiku bahkan tak pernah meninggalkanmu."

"Lalu bagaimana dengan gadis yang di jodohkan denganmu, Mas?"

"Dia temanku waktu masih kecil, dan keluarga kami memang sangat dekat, tapi aku sudah menjelaskan semuanya pada mereka dan orang tuaku, mereka baik-baik saja, dan mendukung keputusanku, termasuk Hima gadis yang dijodohkan denganku."

"Namanya Hima?"

"Ya, dia seorang guru Tsanawiyah setingkat SMP, dia sangat baik, dia justru yang membantuku dan mensuport aku untuk berani menolak perjodohan ini, karena memang tidak ada rasa diantara kami, aku juga sudah menceritakan tentang dirimu dan hubungan kita padanya."

"Benarkah? Aku jadi tidak enak dengannya, mungkin jika aku tak hamil kamu akan menikah dengannya."

"Tentu tidak, memang kenyataannya kami tidak bisa saling mencintai, danhatiku selalu berlari kearahmu, bahkan setiap aku sholat malam, wajahmu yang selalu terbayang, semoga kau memang kau adalah wanita yang dipilihkan Allah untukku."

"Inshaallah, Mas. Aku senang mendengarnya."

"Kita akan berhijrah bersama, memperbaiki semua kesalahan kita, dan bertobat atas dosa-dosa yang kita lakukan."

"Iya, Mas. Bimbing aku ya."

"Ingat kan aku jika aku salah bagaimanapun aku juga manusia biasa, banyak kekurangan tapi aku akan berusaha menjadi suami yang baik dan ayah yang baik untuk keluarga kecil kita kelak."

"Amiin, semoga harapan kita untuk menjadi hamba yang taat pada Allah selalu dijaga dan kita tetap istiqomah ya, Mas."

"Iya sayang."

"Aku menyayangimu, Pricilia."

"Aku juga, Mas. Hadirmu memberi aku banyak pelajaran dan yang paling membuat aku bahagia, kau mengenalkan aku pada Allah, karena perantaramu lah hidayah itu muncul, Trimakasih."

"Aku tidak berbuat apa-apa untukmu, semua kau cari sendiri selama ini, kau yang mendekatkan dirimu sendiri pada pintu hidayah, kau sendiri yang mengetuknya, maka Allah membukanya untukmu."

"Jadi selama aku pergi apa yang kamu lakukan?"

"Aku pergi bekerja seperti biasa, membantu papa di toko, kemudian disela-sela waktu luang aku datang ke kajian kampus kadang ke pengajian."

"Selama ikut kajian dan acara pengajian kampuslah aku tergerak hati untuk masuk agama Islam."

"Oh, sungguh kamu luar biasa."

"Sejujurnya aku takut kamu akan sedih waktu aku meninggalkanmu untuk pulang ke kampong halamanku, tapi ternyata kamu menggunakan waktumu untuk hal yang bermanfaat."

"Sebelum kamu kirim pesan padaku kemarin, aku pergi ke rumah orang tuaku, tapi mereka mengusirku ketika melihat aku menggunakan hijab."

"Lalu selama ini kamu tinggal dimana?"

"Sebelum aku berhijab aku masih tinggal di rumah, tapi ketika mulai berhijab aku tinggal di kontrakan mu, ibu kontrakan memberikan kuncinya padaku karena dia tahu aku pacar kamu, dan kamu sedang tidak ada di sana."

"Begitu rupanya, aku harus berterimakasih pada ibu kontrakan kalo begitu karena telah memperbolehkanmu tinggal."

"Maaf kan aku karena tidak minta ijinmu, untuk masuk ke dalam kontrakanmu."

"Tidak masalah, aku justru lega kamu tinggal disana, dari pada di tempat lain."

Satu jam berlalu begitu cepat, akhirnya setelah melewati kepadatan di jalan raya, mobil yang di kendarai Farhan masuk ke perkampungan yang asri dan sejuk, Pricilia sangat menyukai aroma desa yang begitu meneduhkan hatinya, semoga orang tua Farhan menerimanya dengan baik, itu satu harapan terbesarnya saat ini.