webnovel

Di Balik Cermin

Awan dan Langit adalah dua saudara kembar yang terpaksa terpisah oleh sebuah keegoisan orang tua mereka. Di perburuk dengan menghilangnya ingatan Awan tanpa tahu penyebabnya. Membuat Langit mencari cara agar Awan kembali mengingatnya. Sebuah badai datang menghantam hidup Awan ketika dia terjebak di dalam dunia yang tidak dia ketahui setelah Awan memukul cermin. Di dunia Awan tempati sekarang, semua orang begitu aneh dan penuh dengan tipu muslihat. Hanya telpon dari Langit yang berbeda membuatnya sedikit tenang sekaligus janggal, pasalnya Langit ada di dua tempat yang berbeda dengan sifat bertolak belakang. Di satu sisi Langit mencari keberadaan Awan di mana-mana dan entah kenapa satu persatu temannya ikut menghilang. Lalu ada Sain yang sudah lebih dulu terjebak di dunia cermin, satu-satunya yang bisa Awan percayai walaupun sifatnya benar-benar buruk. Lalu ada pertukaran darah malah membuat keadaan semakin rumit. Bisakah mereka keluar dari dunia di dalam cermin? Dan menghindari orang-orang di dalam cermin untuk keluar ke dunia nyata?

White_Black033 · Fantasie
Zu wenig Bewertungen
192 Chs

Bencana Datang Tiba-Tiba

Jika di tanya apa yang paling Awan suka di dunia ini, maka ia akan langsung menjawab langit adalah sekian banyak hal yang Awan suka. Birunya langit yang membentang di atas kepalanya mampu membuat ia melupakan rasa sepi yang yang seolah membungkusnya rapat-rapat. Langit adalah candu bagi Awan untuk melihat birunya di setiap ia menyambut dunia. Gelapnya langit di kala malam juga mampu membuatnya tenang untuk sementara waktu dari desakan rasa yang meluap.

Awan sangat menyukai namanya dibandingkan ratusan nama yang ayah sodorkan padanya agar ia mengganti nama yang sudah lama ada saat ia lahir. Kesukaan Awan atas langit di atas sana adalah salah satu alasan Awan menyukai namanya, karena awan selalu ada bersama langit. Sekeras apapun ayah menyuruhnya untuk mengganti nama, ia tidak akan mau. Terkadang tentang hal itu Awan selalu bertanya-tanya. Pada ayahnya. Pada dirinya. Mengapa?

Seminggu setelah ia terbangun dari tidur panjangnya saat demam tinggi di kala Awan masih menginjak bangku SMP. Ayahnya membujuk ia mengganti nama yang diinginkannya, Awan tidak pernah tahu alasannya yang pasti hanya hal ini yang Awan mampu tolak dari semua keinginan ayahnya.

***

Setengah jam sebelum bel masuk berbunyi Awan masih di sibukkan dengan menunggu bus yang akan datang membawanya ke sekolah. Matanya melirik sekitar halte bus dengan bosan, mencari sesuatu yang menarik untuk di lihat. Mata Awan menangkap seseorang yang sudah sangat Awan kenal, dia duduk diam sambil memainkan ponselnya.

Langit. Awan yang sedari dulu ingin sekali bisa akrab dan bersahabat dengan sosok Langit yang memiliki wajah serupa dirinya. Namun Langit begitu menarik diri dengan sosial. Langit sama sekali tidak menyadari akan eksistensi Awan di sekitar dirinya saat ini.

Sudah satu tahun ini Awan selalu memperhatikan Langit yang memiliki wajah serupa dirinya. Dan baru satu Minggu ini Awan mencoba untuk berkenalan dengan Langit, namun Langit selalu saja menolak dirinya yang ingin masuk dalam lingkaran semestanya. Pertama kali melihat Langit, Awan sangat yakin bahwa Langit adalah satu-satunya orang yang akan mampu menarik Awan dalam lingkaran gelap dunianya. Pertemuan yang membuat Awan merasa bahwa ia sudah lama mengenal sosok Langit.

Sebuah bus merah datang dengan suaranya yang bergetar dan berhenti tepat di depan halte. Awan tidak langsung beranjak untuk masuk namun ia membiarkan Langit lebih dulu masuk ke dalam bus. Setelah Langit masuk Awan memilih lewat pintu belakang agar Langit tidak mengetahui keberadaan dirinya. Awan duduk di belakang Langit yang memang kosong. Langit masih sibuk dengan ponsel, kali ini ia memasang earphone pada telinga menghalau suara lain masuk ke dalam telinganya.

"Dek, kembaranmu?" Seorang lelaki tua di seberang kursinya bertanya pada Awan tentang Langit.

Mendengarnya Awan tersenyum dan mengharapkan agar Langit memang kembarannya, namun takdir berkata lain. "Bukan Pak. Cuman kebetulan satu sekolah."

Lelaki itu mengangguk paham dia kembali memperhatikan Langit lalu berganti pada Awan. "Mirip sekali."

Awan kembali tersenyum dan berkata sangat pelan. "Dia mana mau punya kembaran kayak Aku."

Akhirnya bus berhenti tepat di halte di seberang sekolah mereka. Mata Awan tidak lepas dari bagaimana cara Langit bergerak, Awan hanya khawatir jika yang di tangan Langit adalah sebuah ponsel ia yakin akan ada kecerobohan yang terjadi pada diri Langit. Langit sepertinya tidak menyadari adanya Awan disekitarnya, Langit itu bukan orang cukup peka. Orang lain mungkin akan menyadari bahwa dirinya sedang di tatap entah dari sudut manapun, namun berbeda dengan Langit yang terlalu acuh dengan lingkungan di mana dia berdiri.

Ketika hendak menyebrang sebuah motor melaju cepat secara refleks Awan menarik tas biru tua yang di pakai Langit sehingga ia mundur untuk beberapa langkah hingga terhindar dari terserempet motor. Langit tentu saja kaget dan langsung menoleh ke arah Awan, lalu wajah terkejut Langit yang Awan lihat.

"Kalau mau jalan, perhatiin jalannya bukan hpnya." Awan tersenyum lebar hingga terlihat gigi putihnya. Cara tersenyum Awan membuat wajahnya benar-benar berbeda dari Langit. Langit mengedipkan matanya beberapa kali lalu ia langsung menyebrang jalan dan masuk ke dalam sekolah.

Senyum Awan pudar seiring lenyapnya sosok Langit pada pandangannya. Ia masih diam di tempatnya tidak peduli bel masuk yang telah berbunyi nyaring dari dalam sekolah.

Sepi. Lingkup Awan kembali sepi, dimana tidak ada lagi bunyi yang masuk ke indera hanya deru angin yang membelai halus telinganya. Awan meraba saku celananya, mengeluarkan sebuah foto yang bergambar Awan saat kecil merangkul pundak seseorang yang sangat mirip dirinya.

Foto yang ia temukan satu-satunya di rumahnya. Di kamar, di bawah kasurnya. Melihat tidak ada satu pun foto di rumah, Awan selalu berusaha agar foto ini tidak terlihat oleh ayahnya, maka dari itu ia membawanya kemanapun. Foto masa kecilnya yang Awan lupakan. Yang ayahnya simpan rapat dan menolak untuk bercerita tentang masa kecilnya, tentang kembarannya, tentang ibunya. Dan kenapa ia melupakan semuanya.

Maka Awan kembali memasukkan fotonya ke saku. Walaupun gerbang telah tertutup sempurna hingga tidak ada celah untuk masuk, namun Awan bisa lewat jalan lain untuk masuk ke sekolahnya tanpa di ketahui guru.

Saat kakinya baru satu langkah untuk menyebrang, tiba-tiba lengannya di cengkram erat oleh seseorang. Awan tersentak, ia tidak siap dan tidak bisa melawan dengan pria besar yang menariknya. Awan tidak bisa berteriak ketika dirinya di tarik paksa untuk masuk ke dalam gang yang sepi. Tangannya di pegang dengan kuat hingga ia sulit untuk melarikan diri dari orang-orang yang sama sekali tidak ia kenal. Keringat dingin muncul ketika sosok yang selama ini yang Awan ingin jadikan sahabat disebut namanya oleh mulut seorang pria yang ikut memeganginya.

"Langit, kami sudah menunggu hingga hari ini. Bos kami pasti senang." Setelah mengatakan itu suara seorang wanita tertawa dan mendekati Awan di susul rasa sakit yang begitu menyengat di sebelah pipinya. Bau yang sangat Awan kenali menyeruak masuk ke hidungnya. Darah. Semua terjadi begitu cepat Awan tidak tahu bagaimana dan dengan apa wanita di depannya ini melukai dirinya. Kepala Awan di pukul hingga telinga berdenging dengan rasa sakit yang luar biasa. Mata Awan memburam, ia mencoba melebarkan matanya namun tetap saja buram.

"Jangan pernah muncul kembali di hadapan Raihan." Setelah mengatakannya, wanita itu mundur dan bersedekap lalu memberikan sebuah kode yang Awan baru pahami setelah sebagian tubuhnya merasakan rasa yang begitu menyakitkan.

Awan tidak tahu apa hubungan antara ayahnya dan Langit hingga ia bisa mengalami hal ini. Terlalu banyak hal yang di tutupi untuk Awan ketahui. Awan masih sempat bersyukur Langit bisa langsung masuk ke dalam sekolah bukannya merasakan rasa sakit terkena pukulan, bukannya berada di posisi Awan saat ini karena rasanya sakit sekali. Walaupun Awan tidak tahu apapun yang sebenarnya terjadi setidaknya bukan Langit yang terluka.

Ada hal kecil yang selalu Awan yakini di dalam hatinya. Bagaimanapun dia melupakan semua tentang dirinya, tentang orang-orang penting dalam kehidupannya. Namun, hatinya tidak pernah lupa, seolah terus mengingat rasa. Langit, yang ia yakini diam-diam adalah kembarannya yang berada di fotonya. Berdua di dalam rahim yang sama bagaimana mungkin ikatan batin tidak tercipta.

Semuanya begitu cepat, Awan tak mampu untuk melawan ataupun melarikan diri. Tubuhnya jatuh ke tanah dengan keras, lalu mereka menendangnya di sana sini. Kepala Awan berdenyut nyeri dan telinganya berdenging kuat, di tambah badannya serasa remuk saat perempuan itu mengayunkan balok kayu ke perutnya. Awan terbatuk dengan darah segar keluar dari mulut Awan tanpa bisa ia tahan. Ini sudah keterlaluan, apa sebenarnya salah Langit di sini hingga harus di keroyok orang-orang ini. Awan hanya bisa melihat namun tubuhnya sudah lemas, tidak adakah orang yang lewat dan melihat kekerasan yang di lakukan pada dirinya. Darah yang keluar barusan membuat tenggorokannya menjadi kering dan sulit mengeluarkan suara. Ia hanya menggerakkan bibirnya dan berbisik samar.

Langit, Tolong!

Seolah belum puas, pria yang berkemeja hitam yang tadi memeganginya mendekati Awan beserta perempuan itu dan mereka melakukan sesuatu yang ingin membuat Awan memilih tenggelam saja di lautan yang gelap dan dalam. Awan ingin merasakan mati rasa dan hampa. Malu. Harga dirinya lenyap seketika. Awan tak berdaya dan merasa sangat lemah. Awan ingin melupa, satu kali lagi.

Dan mendadak pandangan Awan memburam lalu kesadarannya direnggut paksa oleh kegelapan.

Bersambung..

Terima Kasih telah membaca.