webnovel

Batin

Pernikahan bukanlah sebuah ajang perlombaan, yang siapa cepat akan menang dan mendapatkan hadiah.

Lebih dari itu, pernikahan adalah janji suci yang diucapkan kedua pengantin, untuk selalu bersama, saling mendukung, saling berbagi dalam suka maupun duka.

Pernikahan bukanlah tentang romantis dan resepsi.

Lebih dari itu, pernikahan adalah tanggung jawab baru sebagai seorang istri maupun suami untuk menjadi pribadi lebih baik dengan tujuan surga Allah.

Pernikahan bukanlah soal angka, ya banyak sekali orang-orang, kerabat ataupun tetangga yang selalu berkata, cepatlah menikah nanti keburu tua.

Memangnya kenapa? pernikahan sekali lagi bukan karena angka, apakah kita menikah hanya untuk satu atau dua hari? tentu tidak, menikah untuk seumur hidup. Aku, Fairuz Al-Fatih selalu mendapatkan cibiran oleh orang-orang, saudara, kerabat hingga tetanggaku, karena di usiaku yang sudah kepala 3 belum mendapatkan pasangan hidup.

Sedih? tentu saja, siapa yang tak ingin membina rumah tangga dan bahagia bersama suami? tentu saja semua orang memimpikannya.

Namun, apalah daya, memang sang Khaliq belum memberikan rezeki untuk menikah.

Aku tak bisa berbuat apa-apa.

Hanya doa demi doa yang bisa aku panjatkan kepada Rabb ku.

Rasanya, sangatlah malas untuk menghadiri undangan pernikahan baik dari kalangan keluarga mama ataupun dari pihak keluarga ayah.

Kebetulan sekali Minggu ini, saudara dari pihak mama tepatnya anak perempuan dari adik mamaku akan menikah.

Usia pun masih sangat muda, yaitu 23 tahun.

Malas sekali rasanya untuk datang.

Namun apa daya, mama menyuruh diriku untuk datang.

"Fai, Minggu ini Hanan akan menikah, jadi kita sekeluarga akan pergi ke solo untuk menghadiri pernikahannya". Mama berkata padaku ketika aku baru saja pulang dari bedah buku novel terbaruku.

Rasanya ingin aku tolak saja ajakan tersebut, tapi? lagi-lagi aku tak tau bagaimana caranya untuk menolak permintaan malaikatku itu.

Tak tega rasanya jika melihat orang yang telah mengandung dan melahirkanku serta berjuang hidup dan mati untuk membesarkan diriku dan saudara - saudaraku itu bersedih.

"Iya, Ma". Jawabku singkat pada mamaku yang sedang menyiapkan makan malam untuk diriku dan kedua adikku.

"Mama, biar Fai bantuin mama masak ya, Fai mau mandi dan ganti baju dulu". Kataku pada mama.

"Iya, nak, habis ini juga Zahira dan Ayla pulang dari kampus nak". Jawab mama.

Zahira dan Ayla merupakan kedua adikku yang masih kuliah. Aku memilih 4 saudara, Kedua kakakku laki-laki dan sudah menikah serta hidup bersama anak dan istrinya masing-masing.

Sedangkan kedua adikku masih kuliah. Zahira, adikku yang nomer 4 masih kuliah semester 5. Sedangkan Ayla adik bungsuku baru saja lulus SMA dan masuk ke dunia perkuliahan.

Jadi, di rumah ini aku hanya tinggal bersama mama dan kedua adikku bersama asisten rumah tanggaku.

Namun,karena suami dari pembantuku sedang sakit, maka ia izin untuk pulang kampung.

Sehingga kami harus melakukan pekerjaan rumah sendiri. Entah berapa lama lagi pembantuku itu akan kembali ke rumahku.

Namun, yang pasti aku juga tak akan memecatnya meskipun ia mengambil cuti lama. Karena beliau sudah kami anggap seperti keluarga kami sendiri.

Beliau telah bekerja dengan kami semenjak aku berusia 5 tahun, ketika ayah masih hidup.

Kalau di hitung dengan umurku, ya kira kira Bu Neni telah bekerja sekita 28 tahun bersama kami.

***

Kamarku.

Jam dinding di dalam kamarku menunjukkan pukul 6 sore, aku bergegas untuk mandi dan berganti pakaian.

Setelah itu, aku melihat jadwal bedah buku untuk besok di tablet yang terletak di tas ku yang berwarna putih tulang.

***

Aku bergegas turun untuk membantu dan melihat masakan mama.

Hati ini, mama memasak masakan kesukaanku, Cumi bumbu balado super pedas, ayam goreng, tempe serta tahu goreng.

Tak lupa dengan nasi putih hangat yang sebentar lagi akan matang.

"Wahh.. cumi balado, enak ma, baunya, jadi nggak sabar nyicipinnya". Aku memuji masakan mamaku ketika beliau sedang membalik tempe, di wajan tipis berwarna merah.

"Sabar, belum matang, nak". Jawab mama singkat karena fokus dengan tempe goreng yang hampir gosong.

"Jangan diajak ngomong dulu mama, karena lagi fokus goreng tempe biar nggak gosong". Kata mama tanpa melihat diriku karena masih fokus dengan tempe gorengnya.

Aku melihat ada 3 potong tahu ukuran besar, aku pun dengan sigap memotong tahu itu dengan bentuk persegi.

Memasak tahu goreng cukup mudah bagiku, tak perlu berpikir dengan berat.

Bumbunya pun cukup muda.

Hanya garam dan bawang putih di tumbuk sampai halus, kemudian di beri air secukupnya.

Tahu pun siap berenang kedalam larutan bumbu yang sudah aku tumbuk dengan halus.

Ku tunggu 5 menit dengan tujuan agar bumbunya meresap pada tahu yang akan aku goreng.

"Ma, ini gorengnya nunggu mama selesai goreng tempe atau di wajan lain?". Tanyaku pada mama.

"Tunggu mama selesai goreng tempe aja". Ucap mama.

Aku menganggukkan kepala sebagai isyarat setuju dengan perkataan mama.

Sambil menunggu mama selesai menggoreng tempe, aku mengambil tablet ku dan membaca novelku yang telah terbit.

Alhamdulillah novelku selalu best seller.

Orang-orang selalu menyukai cerita dan alur yang aku buat.

"Fairuz, kamu lanjutkan saja membacanya, biar mama saja yang menggoreng tempenya". Pinta mama padaku.

Aku berusaha untuk membantu mama, namun mama sepertinya mengetahui kalau aku sedang sangat sibuk dan capek akhir-akhir ini. Jadwal bedah buku, seminar dan meeting dengan karyawan ku dalam waktu yang hampir bersamaan membuat aku kelelahan.

Selain menulis, aku juga memiliki usaha kosmetik dan skincare yang sudah cukup terkenal di negeri ini. Selain itu, kadang juga aku di undang sebagai motivator bisnis oleh lembaga lembaga tertentu.

Memang tak bisa aku terima semua permintaan mereka, namun sebisa mungkin jika aku tak terlalu sibuk, dengan senang hati aku akan mengisi seminar mereka.

Aku senang jika orang-orang memandangku sebagai motivator mereka.

Sebuah hal yang baik. Tak sedikit yang memuji keberhasilan dan kesuksesanku.

Namun, tak jarang ada juga yang mencibir dan memandangku sebelah mata.

Aku tak mengetahui kenapa mereka memandangku sebelah mata.

Namun, yang aku dengar mereka mencibir karena aku belum menikah di umur kepala 3 ini.

Apakah itu aib? Ah, aku tak ingin berpikiran yang tidak-tidak. Bagiku menikah bukan soal umur, karena umur hanyalah angka.

Tetapi, pernikahan adalah tentang kesiapan.

Biarkan saja mereka mencibir, menghina dan memandangku sebelah mata.

Toh aku juga tidak rugi dengan hal itu.

Aku memilih untuk cuek saja, meskipun memang kadang omongan mereka membuat hatiku bak di tusuk dengan belati berkali kali.

Namun, ya sudahlah, aku juga tak ingin mengurusi hal yang tak bermanfaat bagiku.

Tak ada yang bisa ku lakukan kecuali hanya mengadukan kesedihanku kepada sang Pencipta. Aku tak pernah memperlihatkan kesedihanku pada malaikat yang telah melahirkan ku itu.

Kepergian ayah 3 tahun yang lalu, masih menyisakan luka dan pilu dalam hati mama.

Aku tak ingin menambah beban kesedihan mamaku.

Aku hanya ingin membuat mamaku tersenyum dan bahagia serta bangga melihatku, kakak - kakakku serta adik-adikku.

Semoga mama selalu tersenyum bahagia.

Hanya itu keinginanku, karena kebahagiaan mama adalah semangat bagiku.

I love you mama (Aku mencintaimu mama).