webnovel

Detektif Kilesa

Kisah seorang detektif yang bertemu dengan berbagai kasus kriminal

theo_marbun · Urban
Zu wenig Bewertungen
13 Chs

Kasus Kursi Kosong

KASUS KURSI KOSONG

Pk 15.25.

"Kau sepertinya terlihat sangat resah sekali, Kilesa?"

Aku tidak menjawab pertanyaan Charles. Di dalam mobil yang sedang melaju, aku membolak – balik dokumen yang berisi pesan suara setengah jam yang lalu.

"Tidak perlu dipusingkan, kawan. Sudah berapa kali kita berhadapan dengan prank calls? Aku yakin ini mirip dengan itu."

Aku mendesah. "Mudah – mudahan saja, Charles. Hanya saja, firasatku mengatakan ini benar. Prank calls biasanya tidak detail dan terstruktur. Berbeda dengan pesan suara ini."

"Coba bacakan lagi pesan itu."

"Pada saat langit menutup matahari pada pukul 16.00, aku akan berada di tengah – tengah sebuah lingkaran kematian, terduduk dan menanti ajal. Namaku adalah Lukman Indarto, profesiku adalah wartawan. Lingkaran itu berada di lapang Kompleks Sukaindah Asri, di samping rumah no 35 C. Aku memberikan undangan kepada kalian semua untuk menyaksikan kematianku."

"Pesan orang gila. Apa orang ini hendak bunuh diri? Atau hendak dibunuh? Atau hanya bercanda semata? Jika ia benar – benar mengerjai kepolisian, akan kubacok kepalanya."

Lagi – lagi aku tidak menanggapi Charles. Aku tidak suka dengan ini. Tidak dapat dibuktikan kebenarannya, tidak ada kesimpulan yang bisa diambil. Dengan pesan ini, artinya orang ini berkata bahwa akan ada tindak kriminal yang terjadi pada pukul 16.00. Mudah – mudahan Charles benar dan ini hanya prank call semata. Sebagai rencana cadangan, aku sudah meminta Mahmud untuk menyusulku secepat mungkin seandainya hal buruk terjadi. Juga dengan membawa medical examiner.

Kami tiba di lokasi dengan sedikit terkejut karena mobil sudah ramai terparkir di pinggir jalan. Aku melupakan sesuatu di akhir pesan itu. "Memberikan undangan kepada kalian semua" artinya bukan hanya polisi yang diberitahu. Dari kejauhan aku melihat sekurang – kurangnya sepuluh orang berada di atas lapangan Sukaindah Asri. Setelah memarkir mobil, kami pun bergegas menuju lapangan itu. Ada sepuluh orang membentuk lingkaran, dan di tengah – tengah seorang paruh baya bernama Lukman Indarto sedang duduk dan tersenyum.

"Ah, pak polisi. Selamat datang di acara kematianku."

Seseorang lalu menghardik ucapan itu, "Hentikan omong kosongmu, Lukman. Kami tahu bahwa kau hanya gertak sambal saja."

Lukman tidak menanggapi dan tersenyum. Sementara itu aku memerhatikan lingkaran orang – orang itu. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Mengapa orang – orang ini mengelilingi Lukman? Iakah yang memberi instruksi seperti itu? Atau ia yang berada dalam instruksi? Namun yang lebih penting…

"Tuan Lukman Indarto, harap menyingkir dari kursi itu. Jika engkau berada dalam ancaman, maka kami dapat membantu. Tolong jangan bermain – main dengan…" ujarku dengan nada berwibawa sambil mendekati kursi tengah. Namun Lukman memotong ucapanku dengan mengeluarkan pistol dari sakunya. Kini jelaslah siapa yang berada dalam instruksi.

Ia berbicara sambil tersenyum. "Tolong mundur, pak polisi. Tenang saja, tidak ada yang akan terluka jika mematuhi kata – kataku. Aku juga tidak berencana untuk bunuh diri. Hanya saja, aku tidak bisa mencegah kematianku."

Kata – katanya membuatku dan Charles mundur ke lingkaran. Orang – orang lingkaran ini terdiri dari berbagai macam jenis manusia. Ada pemuda dan orang tua, laki – laki dan wanita. Namun aku menyadari sesuatu. Semuanya adalah wartawan karena memakai tanda pengenal tergantung di dadanya. Aku masih berencana untuk bernegosiasi dengan Lukman.

"Tuan Lukman Indarto. Tolong jelaskan apa maksud dari semua ini? Apakah Anda berencana untuk mengakhiri hidup Anda sendiri? Anda berencana untuk bunuh diri?"

"Ia sudah gila, pak polisi. Terlalu banyak tekanan dalam pekerjaan. Seharusnya kita tidak perlu berada di sini sekarang." Seorang wartawan wanita menimpali. Namun Lukman menjawab pertanyaanku.

"Tidak, pak polisi. Sudah kukatakan aku tidak berencana untuk bunuh diri. Namun aku pasti mati ketika matahari di atas itu, tertutup oleh awan – awan. Lihat awan mendung di kanan itu? Itulah takdir kematianku."

Aku melihat ke atas dan melihat sekumpulan awan bergerak cepat di khatulistiwa. Orang ini sudah gila, persis seperti kata rekannya. Seseorang di lingkaran bertanya lagi.

"Mengapa kau ingin mati, Lukman? Atau mungkin lebih tepatnya, apa alasan dari kematianmu kelak?"

Lukman tersenyum, "Pertanyaan bagus, Donny. Kau memang seorang wartawan sejati. Namun aku tidak bisa mengatakannya. Aku hanya bisa mengatakan bahwa aku akan mati saat awan menudungi matahari itu."

Apakah ia diracun? Atau memasang bom peledak dalam tubuhnya? Ah, seandainya ia tidak memiliki pistol, atau aku adalah negosiator yang lebih ulung, aku bisa menghentikannya. Lagipula, belum tentu ia serius. Bisa saja seluruh ucapannya adalah bualan semata.

Sementara itu awan bergerak semakin cepat. Kini sinar mentari semakin memburam. Lukman menyadari hal ini. Ia tersenyum dan berkata, "Selamat tinggal, kawan – kawan yang baik. Senang bisa mengenal Anda semua."

"Jangan ucapkan omong kosong, Lukman. Kau hanya bercanda." ujar sang wartawan wanita yang mengatakan gila sebelumnya.

Namun Lukman lalu menundukkan kepala seiring awan yang menutupi matahari. Kami terkejut. Aku dan Charles segera bergegas menuju Lukman dan memeriksa urat nadinya. Tepat seperti katanya, tidak ada lagi tanda kehidupan di pria paruh baya ini. Lukman sudah meninggal. Di hadapan kami semua.

Seluruh wartawan segera mengerubungi Lukman, membuat Charles sedikit kepayahan untuk mengusir dan mempertahankan jarak. Tempat ini sekarang adalah TKP. Sementara itu dalam kepanikan aku menghubungi Mahmud untuk membawa tim forensik dan medical examiner. Firasatku terbukti benar. Ini bukan prank call.

***

Dengan sekuat tenaga pihak kepolisian menahan para wartawan dari instingnya untuk memeriksa TKP, terutama tubuh Lukman Indarto. Itu yang pertama. Yang kedua, insting utama wartawan adalah memberitakan. Kami sampai harus mengecek pasal hukum yang berlaku agar kejadian ini tidak dulu diberitakan ke publik. Pihak kepolisian meminta waktu dua kali dua puluh empat jam untuk investigasi sebelum kejadian ini sampai ke masyarakat luas.

Charles memimpin tim untuk mendata setiap wartawan yang berada di atas tanah lapang, juga mengambil alibi dari setiap wartawan. Jika diperkirakan tidak mencurigakan, mereka dipersilakan pulang, namun harus tetap siaga jika akan dipanggil sewaktu – waktu. Sementara itu, Mahmud sedang mendampingi Ambarita sebagai medical examiner untuk memeriksa tubuh Lukman. Yang bisa kulakukan adalah memantau semuanya berjalan lancar.

Huh, ada – ada saja. Mengapa aku selalu menangani kasus aneh? Aku menerka – nerka penyebab kematian Lukman. Kemungkinan terbesarnya adalah diracun. Tapi bagaimana mungkin ia bisa memprediksi waktu kematiannya dengan akurat? Kami menyaksikan semuanya. Tepat ketika matahari berhenti menyinari lapangan itu, ia menunduk tak bernyawa. Atau mungkin ia mengalami penyakit langka yang teraktivasi dengan ketiadaan sinar matahari? Ah, tidak mungkin. Ngomong – ngomong sinar matahari, ia sudah muncul lagi dari balik awan sekarang.

Ambarita dan Mahmud akhirnya menyudahi kegusaranku dengan membawa data medik. Mereka segera memberitahu penyebab kematian.

"Asma kronis? Itu penyebab kematiannya? Tapi tadi…"

Mahmud mengangkat bahunya, "Bukan racun yang membunuhnya, apalagi langit mendung konyol itu. Ia memiliki penyakit asma yang sangat hebat. Itulah yang membunuhnya. Dan aku tahu apa yang ingin kau tanyakan, Kilesa. Semuanya adalah kebetulan. Tepat ketika langit itu bergerak ke atas kita, ia tepat mati karena asmanya. Karena cuaca kotor ini, bukan karena takhayul atau penyakit langka."

Ambarita mengangguk sembari mengecek data medik. Jadi, sudah bisa dipastikan. Ini bukan kasus kriminal atau kasus takhayul. Ini hanya kasus medis biasa. Aku pun bernapas lega. Kasus ini bukanlah tugas polisi. Aku hendak memanggil Charles ketika aku melihat sang wartawan wanita yang menyebut Lukman gila sedang meneliti kursi Lukman di tengah lapang. Karena para petugas polisi sedang berkonsentrasi untuk mendata para wartawan, aku memajukan diri untuk menangani wanita ini.

"Tidak ada yang aneh di kursi itu, bukan, bu…?"

"Florencia. Namaku Florencia Hartono. Tidak, tidak ada yang aneh. Aku mohon maaf, pak polisi. Keingintahuanku memang sangat besar."

"Tidak apa – apa, bu. Hanya saja tolong jangan merusak TKP."

Florencia menggeleng. "Tidak, tentu saja tidak. Coba tadi, bagaimana cara orang itu mati? Ia duduk, kan? Bolehkah aku duduk, pak polisi?"

Aku hendak menggeleng, namun Florencia sudah terlanjur duduk di atas kursi. Ia melanjutkan, "Lalu dari arah seberang, awan – awan datang dan menutup matahari, bukan? Tepat seperti sekarang ini. Lihat awan – awan itu. Arah mereka akan menutup matahari dalam beberapa detik lagi."

Aku kembali menggeleng dan meminta Florencia untuk segera bangkit dan berhenti bermain – main, namun wanita ini tidak mengindahkan ucapanku. Malah ia terus mengusik dengan kata – kata godaan.

"Tunggulah beberapa saat lagi, pak polisi. Sebentar lagi awan itu akan tiba tepat di bawah matahari. Apakah aku akan mati? Kita taruhan, bagaimana, pak polisi? Kalau aku mati, kau boleh mewarisi seluruh harta kekayaanku. Hahahaha."

Tepat ketika itu sinar matahari memburam dan membuat lapangan sedikit gelap. Florencia masih tertawa. Selama beberapa detik, aku terpaku. Aku bukan orang yang percaya akan takhayul. Namun kuakui, sempat terlintas di kepala bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Perlahan – lahan, sinar matahari kembali muncul. Florencia bernapas lega.

"Huh, syukurlah, tuan polisi, aku tidak mengalami apa – apa. Hahaha. Hentikan pemeriksaan kasus konyol ini, tuan. Aku tidak diperbolehkan pulang oleh kawanmu itu."

"Mengapa?" tanyaku.

"Tentu saja, karena…"

Florencia yang sudah berdiri mendapatkan dirinya mengalami kejang – kejang dan mulut berbusa. Bola matanya melebar, dan suaranya terdengar seperti orang yang tersedak, diikuti dengan sebuah muntahan. Ia pun lalu terduduk di atas kursi Lukman. Para anggota kepolisian yang melihat segera mendatangi dan memeriksanya. Mereka menatapku dan menggeleng.

Aku menahan napas. Kematian kedua.

***

Hadirnya mayat kedua di TKP membuat kasus menjadi pelik. Kini aku meminta agar semua wartawan yang masih berada di tempat untuk tidak pulang. Beberapa sudah terlanjur pulang, sehingga hanya tersisa lima wartawan, termasuk mereka yang mencurigakan. Tubuh Florencia segera ditangani oleh Mahmud dan Ambarita. Mereka bertanya padaku bagaimana kondisi awalnya. Mendengar keterangan kejang – kejang yang diikuti dengan muntahan, Ambarita segera meminta agar tubuh Florencia segera dibawa menuju ruang medik kepolisian. Aku bertanya pada Mahmud apa maksudnya.

"90% diracun. Kemungkinan besar arsenik, dan karena sulit dideteksi, maka harus cepat diperiksa di lab. Yang menjadi masalah adalah waktu racun bereaksi. Arsenik bisa saja disuntikkan tadi pagi, tadi siang, atau sore ini. Racun ini bisa mengendap dalam tubuh sebelum bereaksi."

Aku menahan napas mendengar keterangan Mahmud. Awalnya kukira kasus sudah selesai dengan penjelasan asma Lukman, tapi kematian yang kedua adalah jelas – jelas tugas seorang detektif. Charles mendekatiku dan memberikan keterangan mengenai alibi para wartawan. Sekilas membaca laporannya, mulai dari malam kemarin hingga siang ini, kelima wartawan itu pernah memiliki waktu bertemu dengan Lukman. Aku hendak memintanya memanggil kembali para wartawan yang sudah pulang, karena aku butuh waktu bersinggungan juga dengan Florencia, tapi kemudian Charles mengatakan hal ini.

"Kau tahu, Kilesa, sebenarnya keempat wartawan ini," ujarnya sembari menunjuk empat nama dalam laporan, "sebenarnya sedang bersama – sama dengan Lukman dan Florencia malam kemarin hingga subuh. Mereka sedang mengejar berita tentang ketua partai yang dicurigai korupsi."

Aku manggut – manggut. Tiba – tiba muncul sebuah gagasan di kepalaku. Namun sebelumnya, aku bertanya tentang wartawan yang tersisa.

"Ah, dia? Pagi tadi ia mengaku bertemu dengan Lukman terlebih dahulu di warung kopi dan membicarakan korupsi itu. Mereka berdiskusi."

"Lalu?"

"Lalu terjadilah pertemuan di lapang ini. Kau tahu, Kilesa, pekerjaanku membosankan. Jika ingin tahu lebih detail mengapa tidak kau tanyakan sendiri. Mereka ada di sana."

Aku mengangguk. Mahmud menghampiriku. Nampaknya ia sudah membaca pikiranku.

"Kematian Lukman hanyalah kebetulan, bukankah begitu, Kilesa? Ia hanya ingin menggiring kita ke tempat ini dan menyaksikan kematian kedua. Kehadiran banyak wartawan bagus untuk publikasi. Lukman hanya ingin kita menangkap pelaku kematian kedua. Ia tahu bahwa Florencia sudah diracun. Dan pembunuhnya ada di antara wartawan yang hadir."

Aku tersenyum mendengar perkataan Mahmud, selain itu sedikit senang melihat Charles yang terperangah. Aku mengangguk. "Tepat, seperti itulah dugaanku, Mahmud. Namun, ini semua masih dugaan. Laporan dari Ambarita juga belum masuk. Yang bisa kita lakukan adalah menginterogasi kelima wartawan ini. Lukman pasti menyaksikan sesuatu yang pelaku lakukan, dan ia tidak menyadarinya."

Aku menatap Charles, "Benarkah bahwa Lukman terus bersama – sama dengan Florencia semalaman kemarin hingga pagi?"

"Keempat orang ini memiliki kesaksian yang sama, Kilesa."

"Dan waktu bekerja racun kemungkinan besar tidak lebih daripada dua hari?"

Mahmud mengangguk, membuatku tidak buang – buang waktu menuju kelima wartawan yang sedang diamankan tim forensik. Orang pertama yang kuinterogasi bernama Herman Sanjaya. Ia cukup terkenal. Tulisan – tulisannya terkenal valid dan dipercaya oleh khalayak umum.

Dengan gaya merokok santai dan muka setengah kesal ia menyapaku ketika kami datang.

"Akhirnya datang juga. Cepat periksa kami, kapten, anak istriku sudah kesal menunggu di rumah."

Aku mengangguk. "Tenang saja, kami tidak akan lama – lama. Kasus yang kalian tangani, apakah mengenai partai daun merah?"

Herman mengangguk. Hanya itu saja jawabannya. Kami memahami. Ia tidak akan menjelaskan lebih lanjut tentang kasus korupsi itu, karena itu sangat berharga baginya. Lagipula, kasus kematian ini mungkin tidak ada hubungannya.

"Kalau begitu, jelaskan kronologi tadi malam hingga subuh ini, dimana enam orang wartawan berkumpul untuk mengejar berita, termasuk dirimu, Lukman, dan Florencia."

"Ya, bisa kujelaskan. Tadi malam kami berenam berada di luar gedung sekretariat partai daun merah dan menanti orang yang melakukan korupsi untuk keluar pintu. Ya, ketuanya. Tapi, hingga pagi batang hidungnya tidak kunjung muncul, malah hanya anggota dewan partai itu, juga beberapa sekjen. Akhirnya Florencia dan Lukman berpendapat untuk mengejar mereka saja, sedangkan aku, Anggi, Oki, Hendra, dan Bernardus tetap menunggu sang ketua. Keputusan kami salah. Hingga sekarang ketua itu tidak pernah keluar dari gedung sekretariat. Sementara Florencia dan Lukman mendapatkan data yang lumayan berharga."

Charles memotong, sebuah kebiasaan yang tidak kusuka. "Mungkin itu menjadi motif untuk melenyapkan nyawa mereka?"

Herman memandang kami dengan dingin. Setelah beberapa lama, ia mengakui, "Ya, kuakui itu motif yang kuat."

"Apakah kau merasa iri dengan mereka? Ataukah ada dari kawan – kawan wartawan ini yang mungkin memendam ketidaksukaan kepada Lukman dan Florencia?"

Herman tertawa, "Aku? Aku lebih tinggi dari Lukman dan Florencia. Untuk apa aku mempertaruhkan kredibilitasku untuk sekedar melenyapkan nyawa curut dan kadal? Huh, ada – ada saja. Tapi, kalau dari orang – orang itu, aku tidak tahu. Anggi dan Bernardus belum punya jam terbang yang banyak."

"Baiklah. Kami anggap kau berada dalam list aman. Kami sekarang akan bertanya pada yang lain."

"Tidak perlu, kapten. Mereka akan mengatakan hal yang sama denganku."

Aku setengah tersenyum, "Kalau begitu, pertanyaannya akan berbeda."

Kini di hadapan kami telah hadir seorang wartawan bernama Oki Usmanadi, juga wartawan senior. Seperti yang kubilang sebelumnya, pertanyaan kami berbeda.

"Tahukah kau bahwa Lukman dan Florencia tewas karena racun arsenik?"

Sebenarnya merupakan pertanyaan pancingan karena kematian Lukman adalah karena penyakit asma kronisnya. Kami hanya ingin melihat reaksinya. Dan ternyata ia terkejut luar biasa.

"Bagaimana mungkin? Kami bersama mereka sepanjang waktu. Bagaimana racun itu bisa masuk ke dalam tubuh mereka? Siapa yang meracuni orang – orang itu?"

Hanya sebentar setelah kepanikannya, ia berkata dengan suara menyesal, "Itu artinya mereka dibunuh? Untuk apa?"

"Itulah yang kami sedang selidiki, tuan Oki yang terhormat. Kami tahu kalian bersama Lukman dan Florencia sepanjang waktu. Adakah yang terlihat mencurigakan? Tolong bantu kami menyusun keterangan."

Oki terlihat berpikir lama dan hanya wajah kekecewaan yang ditunjukkannya di akhir. "Sayang sekali, pak polisi. Kurasa peracunnya bukan dari kalangan kami."

Charles kesal dan menghambur, "Bagaimana dengan dirimu sendiri? Apakah kau memiliki alibi?"

Masih dengan wajah kecewa, Oki menjawab, "Katakanlah apa untungnya bagiku dengan membunuh mereka?"

"Mereka memiliki satu langkah lebih maju mengenai kasus korupsi partai daun merah."

"Dengan sekjen dan anggota dewan? Mereka sudah keluar dari gedung, pak polisi. Kami dapat dengan mudah mewawancarai mereka sekarang. Itu bukanlah sebuah keunggulan."

Aku setuju dengan perkataan Oki. Kami lalu mempersilakannya pergi. Dua wartawan tersisa, Anggi dan Bernardus, ternyata datang dalam satu paket karena mereka berasal dari satu agensi yang sama. Walaupun Charles bersikeras untuk interogasi individu, namun aku melunak karena firasatku mengatakan mereka bersih.

"Selamat sore, Anggi dan Bernardus, karena matahari sudah hampir terbenam jadi lebih baik kita cepat saja. Bagaimana perasaan kalian melihat senior kalian terbunuh berkaitan dengan kasus korupsi partai daun merah? Apakah kalian takut?"

Lagi – lagi pertanyaan berbeda kuajukan. Dan sebenarnya pertanyaan ini mengejutkan, karena tidak ada sangkut pautnya dengan kasus kematian. Anggi dan Bernardus saling berpandangan. Mereka sepertinya tidak siap.

"A, ap, apakah bapak mengatakan, bahwa, bahwa mereka dibunuh oleh sindikat partai daun merah?" ujar Bernardus.

"Ada kemungkinan begitu."

"Bagaimana caranya?"

"Racun arsenik. Keduanya. Kalian tahu, arsenik bisa lama mengendap di dalam tubuh sebelum bereaksi. Jadi Lukman dan Florencia bisa saja diracun pagi ini, atau siang, sebelum tewas di sore harinya."

Mendengar itu, Bernardus merasa panik. Ia memegang perutnya dan terlihat kejang – kejang. Dengan panik, ia berkata.

"Ma, maaf, pak. Sepertinya aku membutuhkan pertolongan. Tolong, tolong."

Aku segera meminta anggota medis untuk memberikan pertolongan kepada Bernardus. Melihat itu, Anggi hanya geleng – geleng.

"Anak itu memang pengecut. Rasa cemasnya tinggi. Tunggu saja sejam lagi, ia tidak akan apa – apa."

"Apakah kau yakin?"

"Tentu saja, pak polisi. Lihat saja, ia masih kejang – kejang, bukan? Arsenik tipe racun yang bereaksi dengan cepat, walau bisa mengendap sebelumnya. Kalau ia diracun, ia sudah mati sekarang."

Aku tersenyum. Anak ini berpengetahuan luas, juga tenang. Aku bisa memasukkan Bernardus dalam list aman, tapi dengan Anggi Dewitasari, aku tidak yakin. Aku melanjutkan pertanyaanku.

"Kau tahu, kau adalah wartawan junior. Tugas mengejar keterangan dari seorang ketua partai adalah tugas berat. Apakah kau yakin sanggup melakukannya?"

"Tentu saja. Ini adalah tugas penting bagi kemajuan karirku. Aku harus bisa mencari keterangan dari Pak Subandono Wijaya."

Juga berambisi. Baiklah.

"Lalu bagaimana dengan Lukman dan Florencia yang sudah mendapatkan keterangan dari sekjen dan anggota dewan? Apakah kau tidak merasa iri dengan mereka?"

"Untuk apa? Sekjen dan anggota dewan mungkin terlibat dalam anggota korupsi, tapi peran mereka hanya sebagai pion saja. Ketua itulah yang merancang segalanya. Ibarat ular, kalau kita menangkap kepalanya, tentu kita akan menang."

Melihatku memberikan pertanyaan yang tidak ada sangkut pautnya, Charles mulai kesal, "Sudah, nona, kami yakin kau adalah seorang wartawan berintegritas. Katakan kepada kami, apa yang bisa membebaskan dirimu dari kecurigaan kami?"

"Alibi, maksud tuan – tuan? Tidak ada. Aku tidak punya alibi. Jika tuan – tuan tertarik, silakan bawa aku ke kantor polisi untuk diperiksa lebih lanjut. Itu akan menjadi sumber berita yang bagus. Seorang wartawan innocent menjadi kambing hitam polisi dalam kasus pembunuhan wartawan senior. Lakukan saja."

Aku dan Charles menahan napas. Kami dengan berat hati melepaskan Anggi, walau ia masih berada dalam list tidak amanku. Kasus ini menjadi amat pelik. Dari keempat wartawan yang diwawancarai, yang paling tidak menyenangkan adalah semuanya tidak memiliki motif. Keempat wartawan ini tidak punya alasan kuat untuk membunuh Florencia.

Mahmud mendatangiku dan mengatakan bahwa ada satu wartawan lagi yang tersisa, yang bertemu dengan Lukman seorang diri pada pagi sebelum ia tewas karena asmanya. Aku hampir melupakan hal ini. Telunjuk Mahmud mengarah kepada seorang wartawan paruh baya, dan berbeda dari wartawan – wartawan sebelumnya, ia terlihat gugup dan cemas. Charles menyenangi ini. Kecemasan adalah tanda dari sebuah kesalahan.

Namanya Muin Susabda. Ia satu agensi dengan Lukman. "Selamat pagi, Pak Muin, silakan duduk, kami berharap keteranganmu memperjelas kasus ini."

Terlihat tegang, Muin mengambil napas panjang sebelum duduk di hadapan kami.

"Tidak perlu bertele – tele, pak polisi, sebelum bapak bertanya, akan saya jelaskan kejadian pagi tadi. Saya bertugas untuk meliput rencana pembuatan jalan layang yang akan dilakukan oleh walikota sebelum Lukman menghubungi saya. Saya datang ke tempatnya, ada banyak wartawan, lalu kami minum – minum kopi sebentar. Pada saat itu ia mengatakan ada sesuatu yang aneh, seperti ada yang mengancam hidupnya, tubuhnya terasa tidak nyaman, tapi ia tidak tahu apa itu. Aku mengatakan bahwa itu mungkin hanya perasaan saja. Setelah lebih tenang, ia kembali ke perkumpulan wartawan. Namun ia mengatakan pesan terakhir, dan itu membuat saya bingung."

Aku mengernyitkan dahi, "Apa itu?"

"Yang terjadi sekarang bukanlah ikan besar di dalam kolam kecil, tetapi ikan kecil di dalam kolam besar."

Charles menimbrung, "Bukankah itu adalah sebuah peribahasa?"

"Kau benar, Charles. Ini tidak masuk akal. Jadi sebenarnya tidak ada sesuatu yang mencurigakan terjadi antara Anda dan Lukman? Lalu mengapa Anda terlihat gelisah?"

"Karena firasat Lukman benar, pak. Ia mengatakan bahwa hidupnya terancam. Ternyata benar sore ini asmanya kambuh. Apakah ini sebuah kebetulan? Lagipula mungkin saya yang terakhir berinteraksi dengannya. Saya juga tidak punya alibi karena saya bertugas sendirian. Lalu tentang pesan aneh itu. Ini semua memberatkan...."

Aku tersenyum dan menjawab, "Tenang saja, Pak Muin. Saya rasa Pak Muin tidak akan mendapatkan kecurigaan dari pihak kepolisian."

Muin sedikit terperanjat. Namun ia lekas – lekas bersyukur, "Syukurlah..."

Sebaliknya Charles yang sekarang mengernyit, "Apa maksudmu, Kilesa? Semuanya masih kita sertakan dalam daftar tersangka. Tunggu, jangan katakan bahwa kau sudah menemukan titik terang dalam kasus ini. Kilesa..."

Aku hanya menghela napas dan mempersilakan Muin beranjak. Charles masih ribut di sampingku dan bertanya tentang penjelasan. Sejujurnya, aku hanya punya gambaran besar yang terjadi. Semoga saja teoriku ini benar. Aku akhirnya menjawab Charles.

"Aku punya hipotesis, Charles, namun yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah menunggu."

"Menunggu?"

"Ya, betul, menunggu telepon dari lab forensik. Semoga saja telepon itu tidak lama lagi."

Tiba – tiba Mahmud datang menghampiri kami. Ambarita menghubungi dari kantor polisi. Dugaanku benar. Ambarita mendesak percakapan loudspeaker agar kami semua mendengar.

"Lukman Indarto tidak hanya tewas karena asmanya. Ada sedikit racun arsenik yang ditemukan di dalam tubuhnya, dan memicu asmanya menjadi kambuh. Dengan kata lain, ada yang meracuninya. Racun ini terselubungi dalam pemeriksaan awal. Namun setelah otopsi lebih lanjut, racun bisa ditemukan. Dosisnya amat kecil."

Aku kembali menghela napas. Mahmud dan Charles menatapku. Kami saling berpandangan.

"Jadi?" ujar Charles tidak sabaran.

"Jadi apa?"

"Jadi siapa yang akan ditangkap?"

Aku terdiam sebentar sebelum menjawab pertanyaan Charles. Aku menatap keduanya dan menggeleng perlahan.

"Tidak ada."