webnovel

#8 Kabur

"Kang!" Dari jauh sudah kupanggil Kakangku itu, tapi dia tidak menoleh, mungkin tidak mendengar karena tatapannya ke arah lain, menuju bunga-bunga di halaman masjid yang dikerumuni kupu-kupu.

"Kang Sugi!" Aku sudah berdiri di dekatnya, sangat dekat dan aneh jika dia tidak mendengar. Namun Kang Sugi juga tidak menoleh. Akhirnya kutelupuk pundaknya, barulah dia menoleh. Wajahnya terkaget, tanpa dia tak berpura-pura tidak mendengar.

"Ada apa, Dhil?" Katanya loyo sekali. Sejak patah hati, bicara pun Kang Sugi seperti tidak punya tenaga. Aku lalu duduk di sebelahnya.

"Gimana kondisi, Kakang?" Tanyaku.

"Ya, kayak gini. Seperti yang kamu lihat." Jawabnya sambil menunduk memperhatikan dadanya. Kang Sugi makin terlihat kurus, semakin terlihat kuyu.

"Sudah bis dibawa pulang kah, Kang?" Tanyaku hati-hati. Kang Sugi menolehku, dia menatapku sedikit lebih lama. "Aku tadi datang bersama Bapak dan Pak Dhe mau jemput Kakang. Kita pulang ya?" Kataku kemudian, Kang Sugi mengangguk pelan.

Aku lalu membantu Kang Sugi berdiri, kulihat tangan Kang Sugi gemetar, warna kulitnya pun pucat, mungkin karena lama tak kena sinar matahari. Aku berjalan di sampingnya, membantu mendorong tiang infus. Sepanjang jalan menuju ruang rawat inap aku terus berdoa, semoga Pak Dhe Ramlan mau lebih halus membujuk Kang Sugi pulang.

Dan, rupanya hari itu, doaku belum terkabul. "Sugi! Dari mana saja kau, kalau sakit kenapa keluyuran? Mending di rumah saja Kau banyak manfaatnya." Kalimat itu meluncur dari lisan Pak Dhe dengan keras tanpa basa-basi, padahal aku dan Kang Sugi baru masuk.

Aku diam saja, kubantu Kang Sugi kembali naik ke atas ranjangnya. "Kang, nurut saja ya, daripada rame." Kataku pelan. Kang Sugi menolehku.

"Hari ini aku dan Pak Lek mu ini, hendak menjemputmu. Mau tak mau, kamu harus mau pulang. Kau sudah dewasa, sudah tua, mampu lah berpikir logis, untuk apa di rumah sakit jika tidak sakit. Hanya untuk makan infus?"

Kang Sugi diam saja, Mamak Mun tampak sedih, segera mendekati putra semata wayangnya itu. Dielus-elusnya punggung Kang Sugi, yang dielus-elus tidak merespon sama sekali.

"Pulang ya, Le?" Kata Mamak Mun dengan lembut.

Dari dulu, Mamak Mun itu banyak bicara, cerewet dan suka mengatur. Kadang juga suka mengomel dengan kesalahan sekecil apapun. Ketika melihat Mamak Mun pasrah begitu menghadapi Kang Sugi, aku yakin, pasti beliau sudah kehabisan akal. Sudah lelah lisannya menasehati.

Kang Sugi akhirnya mengangguk. Aku lega sekali melihatnya. Yang aku khawatir kan sejak tadi tidak terjadi. Aku takut jika Kang Sugi menolak, Pak Dhe akan memaksanya, dengan cara yang keras dan kata-kata kasar. Aku takut itu semakin membuat Kang Sugi depresi.

Aku pun segera membantu Mamak Mun yang cekatan beberes segala keperluan di rumah sakit. Dari awal memang tidak ada rencana untuk pulang, jadilah kami semua terburu-buru. Saat kami beberes, Pak Dhe dan Bapak menuju tempat administrasi. Mereka berdua yang membayar biaya rumah sakit ini.

Jadi, meskipun keras, kadang kasar dan kata-katanya sering nyelekit. Pak Dhe Ramlan sebagai saudara tertua sangat bertanggung jawab dengan apa yang terjadi pada adik-adiknya. Beliau tahu, dari mana Mamak Mun dapat uang? Itulah tanpa diminta, beliau membayarkan biaya rumah sakit. Dan Bapakku mungkin hanya ikut menyumbang saja.

Aku sebenarnya paham betul, mengapa Pak Dhe sangat keras pada Kang Sugi. Karena Pak Dhe adalah pengganti Bapaknya Kang Sugi. Kang Sugi yang hanya diasuh oleh seorang perempuan memang kurang gesit dan tanggung seperti laki-laki. Tapi memang, caranya yang kurang menyenangkan.

Selesai segera urusan, kami semua pun pulang. Rasanya hatiku lega sekali, ada harapan dalam diriku, semoga Kang Sugi segera pulih setelah ini dan lupa pada perasaannya kepada Ayuk.

Namun saat perjalanan pulang itu, tiba-tiba Kang Sugi minta berhenti di pom bensin untuk pergi ke toilet, buang air. Akhirnya menepilah Pak Dhe ke sebuah pom bensin yang masih tidak jauh dari rumah sakit. Awalnya, aku sedikit merasa aneh, masa Kang Sugi sudah kebelet pipis padahal baru seperempat jam lalu keluar dari rumah sakit. Harusnya dia bisa pipis dulu tadi agar tak merepotkan, batinku.

Dan, perasaanku semakin tidak enak ketika Kang Sugi lama sekali di toiletnya. Seperempat jam sejak dia masuk toilet, dia belum juga terlihat keluar. Kami semua yang menunggu di mobil mulai kegerahan padahal semua jendela mobil di buka lebar, maklum mobil Pak Dhe AC-nya rusak.

"Lama sekali Sugi buang air?" Kata Pak Dhe sambil kipas-kipas menggunakan pecinya.

Kami semua terus menengok ke arah toilet, dan tetap belum ada tanda-tanda batang hidung Kang Sugi akan terlihat. Perasaanku semakin tidak enak, Mamak terlihat cemas, beliau hendak turun mencari anaknya.

"Biar saya saja yang mencari, Mak. Mamak tunggu di mobil." Kataku cepat. Mamak Mun berhenti dan tidak jadi turun.

Aku segera masuk toilet yang sekali masuk harus bayar dua ribu dulu itu. Aku hanya mengamati dari luar karena bagian toilet terpisah antara laki-laki dan perempuan. Kulihat ada dua pintu toilet tertutup. Apakah salah satunya ada Kang Sugi di dalamnya.

Setelah menunggu sedikit lama, betapa kagetnya aku, ketika dua-duanya bukan Kang Sugi yang keluar dari sana. Dan lebih kaget lagi, ketika toilet itu memiliki pintu belakang. Aku segera berlarian masuk ke toilet laki-laki itu karena sudah tidak ada orang di dalamnya.

Aku mengecek pintu belakang toilet. Yang ternyata tidak terkunci dan bisa dibuka dengan hanya membuka slot yang tanpa kunci. Dadaku mulai berdetak-detak, setelah kubuka pintu belakang toilet ternyata tembus ke sebuah kebun. Aku melongok ke sana dan tidak ada Kang Sugi juga. Apakah dia kabur lewat pintu itu?

Aku semakin gelisah, aku berlari menuju mobil, untuk mengabari orang-orang. "Kang Sugi tidak ada di toilet!" Kataku berseru.

"Apa???" Semua orang di dalam mobil kompak terkejut. Tanpa dikomando, semua langsung turun dan berlarian menuju toilet.

Muka Mamak Mun sudah panik sekali. Beliau sepertinya sudah hampir menangis. Kuraih pundak Mamak dan kutuntun untuk ikut mencari. Bapak dan Pak Dhe masuk ke dalam toilet dan melihat pintu belakang, membukanya lalu melongok seperti yang aku lakukan tadi. Namun bedanya, Bapak dan Pak Dhe turun ke Kabun di belakang pom bensin itu. Mereka berdua berjalan sedikit ke dalam kebun sambil teriak memanggil Kang Sugi.

Mata Mamak Mun sudah basah dan siap meluncur. "Sugiiii…..kemana kamu, Lee??" Runtuh Mamak Mun, aku kasihan sekali melihatnya.

Bapak dan Pak Dhe masih terus berjalan di dalam kebun itu, mereka tampak menunjuk ke suatu arah yang sepertinya jalan raya. Sepertinya Kang Sugi kabur ke arah jalan raya. Mereka lalu berlarian kembali ke arah kami.

"Ayo kita kejar, sepertinya Sugi belum jauh lari ke arah jalan raya!" Kata Bapakku berseru. Kami semua buru-buru naik mobil, untuk mengejar Kang Sugi yang kabur entah ke arah mana.