webnovel

#14 Awaludin

Aku masih harus menyelesaikan satu kumpulan soal untuk satu mata pelajaran, tapi mataku sudah panas sekali, kepalaku berdenyut-denyut karena terlalu lama menatap layar komputer. Memang, aku sudah duduk membuat soal-soal untuk UTS sejak dua jam yang lalu. Tanpa henti, dan tanpa istirahat.

"Nge-es degan yuk, Bu." Aku terkaget sendiri mendengar suara itu, segera kutolehkan kepala kanan dan kiri, mataku segera menemukan sosok yang berbicara. Ya, Pak Awal sudah berdiri di belakangku tanpa kutahu, entah sejak kapan. Dan kalimatnya merupakan sebuah pertanyaan yang tepat di waktu yang tepat, yaitu saat aku sangat lelah, kerongkonganku kering dan dan bibirk mulai pecah-pecah. Rasanya segelas besar es degan akan sangat menuntaskan dahagaku.

"Boleh, Yuk!" Entah kenapa pada saat itu, aku langsung iyakan saja ajakan laki-laki yang usianya sebaya denganku ini. Padahal sebelumnya, kami tidak begitu akrab. Awaludin Insan Kamil, adalah guru baru di sekolahku. Dia baru masuk sekitar dua bulan. Jadi awal tahun ini, dia baru saja diangkat sebagai pegawai negeri di sekolah tempatku mengajar.

Keakraban kami juga hanya sebatas saling tegur sapa atau mengobrol masalah pelajaran di kelas, tidak lebih dari itu. Dan hari itu, suatu kejarangan telah terjadi, Pak Awal mengajakku pergi untuk membeli es degan, meskipun hanya di depan sekolah.

"Esnya yang banyak, Pak." Kataku begitu duduk manis di bangku warung es.

"Saya sedikit saja, Pak." Sahut Pak Awal. Aku langsung menoleh padanya. Kami tertawa kecil serentak.

Suasana menunggu datangnya es degan pesanan kami menjadi begitu canggung. Awal tidak memulai pembicaraan, dia tampak terus bermain gadget, dan sialnya aku tidak membawa handphone ku sehingga aku jadi bingung harus melakukan apa.

"Sebentar ya, aku ada customer yang komplain ini." Kata Pak Awal setelah merasa tidak enak mengacuhkan ku. Aku hanya mengangguk tanpa bertanya, aku juga tidak tahu apakah customer yang dimaksud dia itu siapa. Setelah itu, teman mengajariku itu justru berdiri lalu mengangkat telepon dan berbicara serius dengan orang di seberang. Jujur, aku kesal sekali dibuatnya. Dia yang mengajakku keluar untuk minum es degan, dia sendiri yang mengacuhkan ku. Bahkan sampai es pesanan kami sudah siap, dia belum selesai bicara dengan teleponnya.

"Pak, saya pinjam gelasnya ya, saya bawa masuk kantor dulu." Kataku pada penjual es degan, sengaja dengan sedikit agak keras agar Pak Awal mendengar. Dan benar, dia langsung menoleh setelah aku mengatakan itu. Dengan pandangan heran, berusaha memanggilku, tapi masih sempat beramah tamah menutup telepon. Aku berjalan terus dengan jengkel tanpa kupedulikan laki-laki itu.

Aku sampai di kantor dengan menggerutu, mending aku minum es degan sambil mengetik lembar soal, batinku dalam hati. Kuletakkan gelas es dengan kasar di atas meja sampai tumpah sedikit.

"Kenapa?" Nilam, guru matematika, teman seberang meja tampak keheranan melihat ulahku.

"Pak Awal ngajak aku nge-es degan, sampai sana aku malah dicuekin." Keluhku spontan.

"Terus kamu uring-uringan gara-gara itu?" Nilam temanku menatapku heran. Seketika itu aku pun sadar, mengapa aku bisa sekesal itu pada Pak Awal.

"Bu Dhila, kok pergi gitu aja?" Pak Awal datang sambil menenteng segelas es degan. Aku menoleh ke arahnya, malu sendiri rasanya dengan perbuatanku sendiri. Nilam menahan tawa melihat kami.

"Ehh..emmm, pengen minum sambil membuat soal." Kataku setelah memutar otak mencari alasan.

"Oooh, ku pikir marah. Ngomong-ngomong makasih ya sudah dibayarkan."

Pak Awal ngeloyor pergi begitu saja setelah mengatakan itu, seperti tanpa dosa. "Ihh!" Kataku kesal sendiri, tawa Nilam meledak.

"Boleh nyeruput es degannya nggak?" Kata Nilam masih sambil tertawa memegangi. "Nih, habisin, aku nggak jadi haus!" Kataku menanggapi Nilam, dia kembali terbahak.

Pak Awal memang terkenal dingin dan pendiam. Sejak awal dia masuk, tidak banyak bicara dengan kami, hanya bicara jika memang ada perlu. Tapi, dia cukup menjadi topik yang menarik bagi para guru-guru perempuan karena wajahnya lumayan tampan. Kuakui, dia memang beda dari kebanyak laki-laki. Mungkin bukan hanya wajahnya, namun juga kharismanya.

Dari kabar yang kudengar, dia setiap hari datang ke sekolah dengan menggunakan sepeda angin, yang katanya teman-teman ku harganya sama dengan sepeda motor. Aku sebenarnya tidak peduli itu, tapi kemarin sempat kudengar ia bercakap-cakap dengan Bu Narmi, salah seorang guru senior di sini. Bahwa jarak rumah Pak Awal dengan sekolah adalah tujuh kilometer. Yang kira-kira ditempuh dengan sepeda selama tiga puluh menit. Wow! Pikirku, saat guru-guru laki-laki yang lain pada saingan membawa motor paling kece sekalipun kreditan, dia memilih memakai sepeda.

Ah, sudahlah. Kenapa aku jadi membahas Awal. Aku segera kembali fokus membuat soal-soal untuk UTS anak-anak pekan depan. Setelah fokus hampir satu jam, rampung sudah tugasku hari itu, saatnya pulang.

***

Aku menyelonjorkan kaki di atas kasur, menyalakan kipas angin lalu bersandar di dinding dan mulai berselancar di media sosial melalui gadgetku. Aku selalu melakukan ritual ini sebelum berangkat mandi karena aku tidak suka mandi dalam keadaan berkeringat.

Sejak pagi aku memang belum membuka handphone, ada beberapa pesan masuk yang belum kubaca, rupanya dari teman-teman ku yang saling menanyakan apakah aku akan datang ke acara Sri Rahayu besok. Diantara temanku bahkan ada yang menanyakan aku hendak membawa kado apa, hingga ada yang mengajak iuran untuk membeli kado. Ah, aku sendiri belum memikirkan apakah aku akan datang atau tidak ke undangan itu.

Tapi sejak masalah Kang Sugi dengan Ayuk, aku sangat tertarik dan penasaran dengan kehidupan gadis cantik temanku itu. Sekalipun saat ini aku sedang ada masalah dengan keluarga Mamak Mun tapi aku tidak ingin juga melewatkan acara itu yang mungkin saja moment yang tepat untukku mencari informasi lebih dalam. Rasa penasaran mengalahkan segalanya.

Setelah cukup puas berselancar pada layar gadgetku, aku segera berdiri, waktunya untuk mandi. Tapi, ketika aku berjalan menuju kamar mandi yang terletak di belakang rumah, sayup-sayup aku mendengar suara ibu dan bapakku bercakap-cakap. Beberapa kali mereka menyebut nama Kang Sugi, dan tentu saja langsung membuatku penasaran.

"Jadi Mbak Yu mu itu hendak mencarikan jodoh buat Sugi?" Terdengar suara Bapak. Mereka sedang mengobrol di ruang tamu, aku berdiri di belakang selambu yang membatasi ruang tamu dengan ruang tengah rumahku. Ibu tidak terdengar merespon.

"Apa nggak nanti dulu? Biar Sugi lebih tenang, nangi khawatirnya semakin mengamuk saja anak itu?" Suara Bapak lagi yang terdengar.

"Lha ya itu, Yu Mun itu tetap keukeuh ingin mengenalkan Kayis pada Sugi, katanya agar pikiran Sugi teralihkan. Soalnya Kan Kayis sangat cantik."

Terdengar suara ibu berdiri dan berjalan ke belakang. Aku secepat mungkin menarik diri, masuk ke dalam kamar sebelum ketahuan sedang menguping. Dalam hati aku terus berpikir, benarkah apa yang dikatakan ibu? Mamak Mun hendak menjodohkan Kang Sugi dengan Kayis?