webnovel

#13 Luka

Aku dan Mamak panik melihat darah yang terus menetes, mengenai baju Kang Sugi, kasur beserta sprei dan berceceran di lantai.

"Sugi! Apa yang kamu lakukan, Le!?" Mamak berteriak sambil mengguncang tubuh Kang Sugi, putranya itu hanya tertegun mematung melihat darah yang semakin banyak menetes. Dia menggeleng. "Dhila, cepat panggilkan, Yuk Ipah."

Aku yang masih terbengong melihat situasi serba mendadak itu segera bangkit, berlarian keluar rumah tanpa tanya-tanya apapun lagi. Yuk Ipah adalah salah satu saudara jauh kami, dia sebenarnya bukan perawat, apalagi dokter. Dia hanya kader posyandu, tapi dia bisa merawat luka dan mempunya peralatan lengkap untuk itu. Jadilah setiap ada yang luka, warga RT kami selalu mencarinya.

Yuk Ipah segera bangkit dan berlarian menuju rumah Mamak setelah kujelaskan apa yang terjadi. Tidak lupa ia menyambar kotak peralatannya. Kami pun tergopoh-gopoh bersama.

Sesampainya rumah Mamak, tangisan Mamak terus terdengar semakin keras menderu-deru, sudah ada ibu dan bapakku di sana. Kang Sugi masih berdiri mematung tangannya sudah dibalut kain seadanya oleh ibuku.

"Apa yang terjadi, Gik?" Tanya Yuk Ipah begitu sampai, tanpa bertanya dia langsung melepas perban seadanya yang sudah menempel di tangan Kang Sugi. Perempuan itu lalu menyiramkan suatu cairan ke luka kang Sugi yang membuat yang punya tangan segera meringis kesakitan. Ia lalu mengelap luka itu dengan kapas yang sudah basah oleh cairan itu, Kang Sugi meringis lagi. Aku ikut meringis karena membayangkan betapa perihnya luka itu.

Setelah Yuk Ipah selesai membersihkan dan membalut luka itu. Dia bangkit lalu mengemasi peralatannya, "Hati-hati ya, Gik. Bahaya kalau urat nadi sampai kena bisa meninggal." Katanya kemudian. Kang Sugi tak bergeming. Yuk Ipah lalu pamit untuk pulang karena tugasnya telah usai, Mamak menawarinya jagung muda untuk dibawa pulang untuk dimasak sebagai balas budinya.

Ibu dan Bapakku keluar meninggalkan kamar Kang Sugi. Aku membantu Mamak mengelap darah. Jujur, miris sekali rasanya melihat semua itu. Aku mengumpulkan pecahan kaca dengan hati-hati, meskipun begitu satu tanganku tetap tertusuk.

"Aw!" Aku menjerit karena pecahan kaca kecil nampak menancap di jari telunjukku, hingga meneteskan sedikit darah, hanya luka kecil tapi rasanya tetap perih.

Pada saat aku berteriak, kang Sugi langsung bangkit meraih tanganku. "Tidak usah dibersihkan!" Katanya dengan nada memerintah.

"Kalau tidak dibersihkan nanti kena orang bagaimana?" Jawabku kesal.

"Tapi tanganmu terluka."

Kutatap dalam-dalam wajah Kakangku itu, nampaknya dia khawatir terhadapku. Baru kali ini, setelah sekian lama Kang Sugi terlihat memiliki respon emosi. Biasanya dia datar-datar saja. Sekali lagi kutatap matanya, Kang Sugi lalu mengalihkan pandangan.

"Kakang khawatir tanganku terluka tetapi mengapa membiarkan tanganmu sendiri terluka? Ini hanya sedikit darah, tapi darahmu yang keluar begitu banyak. Kakang tahu rasanya khawatir itu tidak enak, kan? Coba bayangkan, bagaimana khawatirnya kami, aku dan Mamak terhadap Kakang kalau terus seperti ini?"

Suaraku parau dan bergetar, sudut mataku menangkap ada Mamak di luar kamar, hendak masuk tapi tidak jadi karena mendengarkan bersuara sedikit keras dan tertahan seperti mau menangis. Kang Sugi hanya diam saja, dia menunduk menatapi bekas-bekas darah yang terlihat jelas di lantai.

"Atau kakang memang berniat menyiksa kami dengan perasaan seperti ini?" Kuteruskan bicaraku. Aku sudah ingin mengatakan ini sebelumnya, namun selalu kutahan dan ingin mencari waktu yang tepat. Kang Sugi masih dia tak bergeming.

"Kalau Kang Sugi memang mencintai Ayuk sedalam itu, lantas membuat Kakang terpuruk karena tertolak cintanya. Apakah sama sekali tidak ada kami di hati Kakang sehingga keberadaan kami tidak Kakang pikirkan?"

Kali ini, pecah sudah tangisanku. Aku menahan air mataku agar tidak jatuh karena ingin berbicara lebih banyak lagi. Tapi selanjutnya aku hanya terisak-isak. Dan Kang Sugi masih tak bergeming melihatku demikian. Aku tahu dia tak tega melihatku menangis, seperti sebelum-sebelumnya sejak kami kecil. Namun kali ini, dia mungkin bingung harus bersikap bagaimana.

"Di luar, ada Mamak. Orangtua Kakang satu-satunya. Kalau Kakang berani berbuat macam tadi, mengulangi hal bodoh itu. Itu sama artinya Kakang menusukkan belati ke hatinya Mamak."

Kuusap air mataku lalu berkata lagi. Kali ini lebih kutekankan lagi nada bicaraku, karena aku ingin mengancam Kang Sugi. Dia masih berdiri mematung tak bergeming.

"Kenapa hanya diam, Kang?" Tanyaku, kudekati Kang Sugi lalu kuguncang lengannya. "Kang! Jawab Kang!" Kuguncang lagi lengan Kang Sugi yang masih saja membisu.

Tiba-tiba Mamak Mun datang, dia melepaskan kedua tanganku dengan paksa dan kasar dan lengan Kang Sugi. Aku terkejut dan sangat kaget dibuatnya. Kutatap Mamak Mun keheranan, aku membelanya tapi beliau malah memarahiku.

"Lepaskan Kakangmu! Kamu tidak berhak bertanya seperti itu! Pergi dari sini!" Kata Mamak dengan suara serak, seperti menahan tangis. Dan benar, air mata beliau segera bercucuran setelah itu.

Aku mundur perlahan dari hadapan Kang Sugi. Kutatap satu persatu wajah Kang Sugi dan Mamak secara bergantian. Aku kasihan melihat mereka, tapi aku juga marah atas perlakuan Mamak Mun terhadapku. Aku terus mundur hingga pintu dan terus menghujani mereka dengan tatapan satu per satu. Lalu aku segera berbalik dan berlari pulang dengan menangis.

"Kenapa kau menangis?" Tanya Ibu yang duduk di teras rumah, aku hanya menggeleng dan terus masuk. Melewati Ibu dan Bapakku yang kebingungan.

Aku masuk kamar dan kukunci kamarku dari dalam. Sejak saat itu, aku berjanji tidak akan ke rumah Mamak lagi kecuali diminta, tidak akan membantu Kang Sugi lagi kecuali mereka yang memohon. Aku tahu mereka hanya sedang sedih, tak berdaya, tapi mereka sangat tidak memiliki rasa terimakasih, batinku.

Segera kuhapus air mataku, untuk apa aku menangisi keluarga yang bahkan tidak butuh bantuan kita dan bahkan mengusir kita dari rumahnya. Salah aku sendiri terlalu peduli. Rasa marahku sudah menuju ubun-ubun. Aku sudah jengah dengan sikap Kang Sugi juga Mamak Mun. Biarlah mereka mengurusi urusan mereka sendiri. Bodoh amat tentang depresi atau patah hati yang Kakang rasakan.

Saat dadaku sudah mulai lega, aku bangkit mengambil botol minum yang selalu ada di meja kerjaku di dalam kamar. Kuraih dan kuhabiskan seluruh isinya. Begitu kuletakkan botol minumku, handphone yang kuletakkan di samping laptop bergetar. Kuraih lalu kulihat apakah ada panggilan atau pesan masuk. Ternyata sebuah pesan masuk. Aku segera berdiri karen kaget dengan nama si pengirim pesan. Aku tidak memiliki nomer itu sebelumnya, tapi dia mengirimiku pesan terlebih dahulu.

"Hallo Fadhila, ini aku Sri Rahayu (Ayuk). Aku harap kamu bisa datang ya, ke acara syukuran ulang tahun aku. Habis ini aku share ya lokasinya. Aku tunggu kedatanganmu."

Aku membaca berulangkali pesan itu, nyaris tidak percaya. Rupanya pertemuan terakhir kami di bank waktu itu membuat pertemanan kami ada kemajuan. Aku, terakhir diundang ke acara ulangtahun nya, dulu ketika sekolah menengah, sekitar hampir sepuluh tahun lalu. Dan sekarang, saat Kang Sugi ada masalah dengan Ayuk, dia malah mengundangku kesana.

Segera kubalas pesan Ayuk dengan mantap, "InsyaAllah aku datang, Yuk. Terimakasih sudah mengundangku."