webnovel

#10 Bertemu Ayuk

Kemarin aku mengambil uang melalui ATM, entah karena apa tiba-tiba pikiranku saat memencet tombol ATM itu jadi blank. Aku tiba-tiba lupa password, hingga tiga kali tetap salah terus, jadilah atm-ku kena blokir.

Karena uang di dompet hanya tersisa lembaran dua puluh ribu rupiah, jadilah siang ini sepulang sekolah aku harus ke bank, untuk mengurus kartu ATM yang kena blokir.

Sialnya, aku lupa kalau ini adalah tanggal muda. Tanggal bertepatan dengan para pansiunan mengambil uang gaji mereka. Jadi untuk menemui customer service pun aku harus mengantri lama sekali. Padahal aku ingin cepat-cepat pulang, lalu makan siang ayam geprek bersama Kang Sugi. Tapi apalah daya, sampai siang giliranku tetap belum tiba.

Saat nomor antrian-ku hampir sampai, aku sudah waspada mendengarkan nomorku disebut. Tanpa kusadari, seseorang duduk di sebelahku lalu menepuk pundakku. Mataku terbelalak ketika aku menoleh, ada Ayuk di sana. Dia duduk di sampingku, tertawa kecil melihat aku terkaget melihatnya. Seperti biasa, dia selalu tampil cantik, bahkan saat dia memakai jelana jeans dan kaos oblong yang oversize yang nampak sangat kedodoran di badannya yang ramping, dia tetap kelihatan cantik dan modis.

"Ayuk??" Kataku sambil terbengong.

"Eh, jangan kayak lihat hantu gitu." Kata Ayuk masih sambil cekikikan. Perempuan itu mana tahu, hampir sepuluh hari terakhir, Kakangku nyaris depresi memikirkannya. "Sudah lama?" Tanya Ayuk lagi.

"Tujuh puluh sembilan!" Suara dari speaker nyaris bertepatan dengan suaraku yang mau bilang, "sudah dari tadi." Aku segera bangkit. "Bentar ya." Kataku pada Ayuk, dia mengangguk.

Sepanjang memproses masalahku di customer service, rasanya pikiranku terus tertuju pada Ayuk. Banyak sekali yang ingin aku tanyakan padanya. Dan aku khawatir, dia sudah menghilang sebelum aku selesai urusanku, jadi aku tak sempat berbicara dengannya lagi.

Aku menghela nafas lega, ketika aku telah usai dengan urusanku, aku melihat Ayuk masih duduk manis di kursi tunggu tadi. Aku segera menghampirinya, dan kembali duduk di kursi sebelahnya yang untungnya masih tetap kosong.

"Sudah?" Tanya Ayuk, aku mengangguk.

"Alhamdulillah sudah, kamu belum ya? Kamu ada urusan apa, sih?" Tanyaku balik.

"Nabung aja sih." Jawabnya santai. Kami lalu saling diam. Aku dan Ayuk memang tak begitu akrab. Seringkali percakapan diantara kami hanya bersifat basa-basi atau ramah tamah. Tapi kali ini, aku mencoba sedikit mengakrabkan diri padanya.

"Yuk, beberapa waktu yang lalu, Kang Sugi datang ke rumah, ya?" Tanyaku basa-basi, aku sebenarnya juga sudah tahu jawabannya tapi aku ingin melihat bagaimana respon gadis cantik itu. Dia mengangguk dengan santai, seperti bukan masalah besar, atau hal penting.

"Iya, kamu kok nggak ikut?" Dia justru bertanya demikian. Terlihat sekali, Kang Sugi bukan hal penting bagi Ayuk. Aku tersenyum menanggapinya, tidak lupa sambil menggeleng.

"Kamu santai banget nanggapinya, yuk." Kuutarakan secara langsung apa yang ada dalam pikiranku. Ayuk tersenyum lagi.

"Karena sudah sering ada yang datang ke rumah." Jawabnya.

"Wow, sudah sering?" Kataku menanggapi, Ayuk mengangguk. "Kamu ada yang suka diantara yang datang itu?" Tanyaku. Dia menggeleng.

"Belum, sih. Belum ada yang sesuai kriteria."

"Emang kriteria kamu apa?" Semakin lama, rasa penasaranku semakin meningkat.

"Cuma tiga aja sih sebenarnya. Pintar, tanggungjawab, pekerja keras seperti ayahku."

Apa? Seperti Ayahnya? Pantas saja Kang Sugi tertolak mentah-mentah. Bandingan Ayuk kalau mencari suami adalah Ayahnya, Pak Lurah yang kaya raya itu. Apalah Kang Sugi yang petani miskin dan serabutan.

"Kenapa? Kok kamu terkejut gitu? Bukan yang kaya harta kok, Dhila. Tapi juga kaya hari dan yang pekerja keras seperti Ayahku." Mungkin Ayuk melihat raut mukaku sehingga dia berkata demikian. Aku segera mengangguk dan tersenyum. "Kalau kamu pengen yang kayak gimana?" Tanya Ayuk padaku. Kami lalu tertawa kecil.

"Aku, asal nyaman saja sih, Yuk. Tapi kalau orangtuaku, pengennya calon mantu yang pegawai pemerintah. Kamu paham kan ya, pikiran orang-orang desa."

Kami hendak melanjutkan mengobrol, tapi nomor antrian Ayuk sudah tiba gilirannya. Aku masih ingin menunggunya untuk bicara lebih banyak, tapi terkesan aku terlalu mengejar gadis itu. Jadilah aku pamit sekalian untuk pulang duluan.

"Aku pulang dulu ya, Yuk." Kataku sambil mengulurkan tangan, dia menyambutnya. Lalu tanpa kuduga dia menarikku untuk mengajak ber-cipika-cipiki. Ini untuk pertama kalinya dia memperlakukanku dengan begitu hangat. Tapi aku justru kikuk menyambut kehangatannya.

Sebenarnya, aku ingin tanya, apa alasan mendasar Ayuk menolak Kang Sugi. Apakah karena dia miskin? Apakah karena dia kurang berpendidikan? Atau karena ada alasan lain. Tapi aku enggan karena khawatir Ayuk merasa aku terlalu mencampuri urusannya. Selain itu, aku juga ingin bilang kondisi Kang Sugi yang terpuruk pasca ditolak cintanya. Tapi aku khawatir hal itu justru akan membuat Ayuk tidak nyaman denganku. Akhirnya kuurungkan semua niatku.

Aku berjalan keluar bank dengan gontai, memikirkan apakah Kang Sugi bisa sembuh dari berharap pada rembulan bernama Ayuk itu. Aku masih termenung dan tak kunjung menjalankan motorku, sampai kulihat Ayuk juga sudah keluar dari bank itu. Dia menuju mobil Mitsubishi Expander berwarna merah. Dia yang menyetir mobil itu sendiri.

Aku masih saja takjub melihat temanku satu itu. Memang dia, rasanya sempurna sekali. Cantik, baik hati, pintar, dan kaya. Yang kusesalkan hanyalah, kenapa Kang Sugi harus menaruh cinta padanya.

Aku masih terus kepikiran banyak hal tentang Ayuk dan Kang Sugi, sampai akhirnya aku belok ke sebuah minimarket. Aku ingin membeli dua buah es krim cone. Satu rasa tiramisu untukku, dan cokelat untuk Kang Sugi. Setelah itu, aku buru-buru pulang karena khawatir es itu akan segera meleleh.

"Kang, makan es krim, yuk." Kataku menghampiri Kang Sugi di kamarnya. Lagi-lagi dia hanya duduk melamun di atas kasur, dia lalu mengangguk dan mengikutiku berjalan keluar.

Aku masih memakai seragam dinasku, dan kami duduk berdua di kursi kayu bawah pohon mangga, di markas. Menikmati es krim yang sebenarnya sudah lama kami tidak menikmatinya.

Dulu, aku sering merengek pada ibu untuk dibelikan. Ibu sebenarnya punya uang untuk membelikan itu, tapi beliau selalu menggunakan moment untuk memberikannya padaku. Misalnya, selepas aku ujian tri Wulan. Sekarang, aku sudah bisa mencari uang sendiri, meskipun aku tetap mencari moment untuk memakan es krim. Seperti saat ini, saat hendak menghibur Kang Sugi. Kami berdua khidmat menikmati es krim kami, setelah habis tak bersisa, barulah aku mulai mengajak Kang Sugi bicara.

"Kang, aku tadi bertemu Ayuk di bank." Kataku pelan dan hati-hati, aku lalu menatap Kang Sugi untuk melihat bagaimana responnya.

Dia menunduk saja, menatapi bungkus es krim yang tergeletak di atas meja kayu. Lama dia terdiam, entah apa yang dipikirkannya. Aku jadi menyesal mengapa tadi harus berkata demikian.

"Terus kenapa?" Jawab Kang Sugi dengan suara parau. Aku tersenyum getir, lalu menggeleng.