webnovel

#1 Lamaran

Pagi itu, tepat pukul tujuh. Saat aku sedang di depan kompor minyak menggoreng rempeyek kedelai, Mamak Mun datang dengan tergopoh-gopoh ke rumah. Kedua tangannya memegang tas belanja besar yang penuh dengan sayur mayur, buah, jajanan pasar, dan lain-lain.

"Nanti pukul sepuluh. Nanti pukul sepuluh." Katanya terbata-bata sambil ngos-ngosan, mungkin saking semangatnya, atau juga karena nafasnya tersengal karena capek.

"Ada apa pukul sepuluh?" Jawab Ibuku sambil segera bangkit dari duduk, turut penasaran dengan berita heboh apa yang dibawa Mbakyu-nya. Sedang aku, hanya menyimak sambil terus mengawasi wajan penggorengan di depanku.

"Sugi, Dekyu. Sugi ponakan mu akan melamar Sri Rahayu." Jawab Mamak Mun lantang. Matanya berbinar, seperti sedang dapat arisan. Segera diletakkannya dua keranjang belanjaan itu, dan mengajak ibuku berpelukan. Mereka berpelukan, bergoyang-goyang, dan sesekali melompat-lompat.

Apa?? Kang Sugi melamar Ayuk? Aku hanya menggeleng tidak percaya dengan pendengaranku. Aku memang tahu benar, misananku satu itu sudah lama naksir temanku sekelas. Namanya Sri Rahayu, tapi kami memanggilnya Ayuk. Anaknya Pak Lurah yang memang cantik sekali. Kalau ukuran kecantikan yang ada di dunia ini satu sampai sepuluh, nilai Ayuk dapat dua belas. Dia melebihi kecantikan siapapun yang ada di desa kami.

Tapi nekat sekali Kang Sugi. Apalagi sampai membawa keluarga. Apa dia tidak takut ditolak? Apa dia sudah konfirmasi dengan Ayuk bakal diterima? Apa dia hanya menjudikan perasaan. Ya, kali saja beruntung. Tapi masalahnya, berapa peluang diterima?

Ayuk adalah temanku sekelas, dari SD hingga SMA. Kami hanya terpisah ketika perguruan tinggi. Aku mengambil jurusan pendidikan guru SD dan Ayuk mengambil jurusan Ekonomi. Tapi kami sama-sama diangkat menjadi pegawai negeri dalam waktu yang sama. Jadi aku lumayan kenal dengan kembang desa satu itu. Dan hal ini, tentu dimanfaatkan Kang Sugi.

Dia sering sekali menanyakan Ayuk padaku, titip salam, titip hadiah, atau minta nomer handphone. Tapi seperti puluhan laki-laki lain, Ayuk tipe gadis yang cuek bebek dengan laki-laki. Aku merasa dia tidak berpacaran dulu, apalagi menikah. Nomer handphonenya pun aku pura-pura tidak punya, karena aku sungkan kalau memberikan nomer orang lain sedang yang punya tidak mengizinkan.

Tapi sekarang, bagaimana bisa Kang Sugi, Mamak Mun, dan sanak keluargaku yang lain hendak pergi melamar gadis pujaan hati semua pemuda desa ini. Apa mereka siap malu kalau ditolak?

Tapi aku tak berani komentar apa-apa. Aku hanya terus menuangkan adonan rempeyek ke atas wajan. Sambil berharap semoga ibuku tidak ikut acara lamaran itu, bisa ikut malu nanti ibuku kalau ponakannya ditolak.

"Hey, Dhila. Lanjutkan nanti menggoreng rempeyeknya, ayo bantu Mamakmu ini membungkus buah, dibuat persel seperti di toko-toko buah. Bisa kan?" Kata Mamak Mun sambil setengah berteriak.

Aku hanya mengangguk. Kumatikan kompor, kututup adonan dan kusimpan dalam kulkas. Mamak Mun meninggalkan banyak sekali buah dan memberiku pekerjaan rumah membuat parsel. Memangnya aku tukang buah?

Tapi memang seperti itulah keluarga kami. Segala cara harus dilakukan agar tampil baik tapi tetap irit. Kadang kami membuat apapun sendiri, sekalipun hasilnya ya begitulah. Setelah Mamak benar-benar pergi dari rumahku, aku merapat mendekati ibuku.

"Bu, apa sudah jelas diterima, kok berani-beraninya Kang Sugi ngelamar Ayuk." Kataku mulai menyampaikan isi hati. Ibu sedang memasukkan rempeyek dalam toples plastik.

"Ya, kalau tidak dilamar, mana tahu kalau diterima atau ditolak?" Jawab Ibuku santai.

"Maksud Dhila, harusnya Kang Sugi ada pembicaraan dulu dengan pihak keluarga atau Ayuk sendiri. Agar tidak memalukan kalau ternyata ditolak."

"Ya sudah kasih tahu pihak sana kok kalau mau datang." Jawab ibu lagi.

"Sudah tahu kalau melamar?" Tanyaku.

"Ya pastinya sudah. Lagian Sugi kan sawahnya luas, warisannya banyak. Dia itu kalau sawahnya dijual semua nilainya ada dua milyar. Masak Ayuk mau menolak."

Aku hanya bisa menggelengkan kepala mendengar jawaban ibuku. Ya, keluarga kami masih sekolot itu. Meletakkan semua hal pada materi dan kebiasaan yang kadang tidak masuk akal. Aku tahu sawah Kang Sugi luas, sawah Bapakku juga luasnya sama. Tapi setiap hari hidup dari hasil sawah yang luas itu tidak seberapa. Petani di sini seperti untung-untungan kalau menanam sesuatu. Kalau pas dapat harga baik, ya kaya mendadak, kalau pas buruk yang rugi hingga minus. Sayangnya, tidak pernah ada yang mau belajar. Sistem lama terus saja dilakukan, lebih sialnya lagi sering tertipu harga oleh tengkulak yang bengis-bengis. Jadi meskipun tanahnya luas, tetap nggak kaya-kaya juga.

"Heyy cepat laksanakan perintah MbokDhe-mu. Sebelum jam sepuluh, parsel buah harus selesai."

Akhirnya dengan berbekal tutorial YouTube, setelah pergi membeli plastik bungkus dan pita di pasar, aku mulai merangkai parsel buah, untuk yang pertama kali sepanjang sejarah hidupku, demi lamaran tidak masuk akal sepupuku. Hasilnya? Ya bisa kalian kira-kira sendiri lah bagaimana sebagus-bagusnya parsel buah buatan orang amatir baru pertama kali.

Baru saja aku mau berdiri mengantarkan parsel itu ke rumah Mamak Sum, Andini, sepupuku dari saudara ibuku yang lain datang dengan berlarian.

"Mbak Dhila!!! Suruh cepat antar parselnya." Dia berteriak dari halaman sampai ke rumah.

"Iyaa, ini baru saja mau diantarkan." Jawabku santai.

Saat aku mau beranjak, bersamaan dengan ibuku keluar dari kamar beliau. Sudah berdandan dengan pupur dan lipstik yang dipakai hanya saat kondangan atau pergi-pergi. Ibu memakai baju gamis paling bagus yang beliau punya, seingatku itu baju lebaran.

"Alamaaak, ibu ikut juga?" Tanyaku, beliau mengangguk sambil mengancingkan peniti di hijab beliau yang kedodoran. Aku hanya bisa menghela nafas, ya sudahlah mau bagaimana lagi jika itu mau beliau. Mungkin ibuku ingin melihat peristiwa bersejarah keponakannya itu. Dan semoga sejarah yang baik.

Di rumah Mamak Mun sudah banyak orang, aku sampai kaget, ini hendak lamaran atau demonstrasi. Ternyata setelah kuselidiki, yang berangkat hanya satu mobil. Yang lain hanya suporter, ingin mengantar kepergian para rombongan lamaran.

Mobil yang dipakai adalah mobil Kijang milik Puh Ji, saudara tertua ibuku. Mobilnya muat delapan orang, tapi diisi sepuluh orang. Tidak apa-apa, jarak rumah Mamak Sum dengan rumah Pak Lurah hanya tiga kilometer.

Para rombongan tertawa riang memasuki mobil. Masing-masing membawa bawaan yang dinamakan sanggan. Ada yang memegang kotak roti, parsel buah, tetel atau juadah, ada juga yang bawa kopi dan gula.

Kami yang ditinggal di rumah ikut riuh menyaksikan mereka menaiki mobil. Apalagi melihat Kang Sugi yang tak henti menyunggingkan senyum. Semua orang terus menggodanya, dan yang digodapun malah senang cengengesan.

Ketika melihat mobil itu berangkat. Hatiku turut berdoa dengan tulus. Semoga keluarga dihindarkan dari hal memalukan. Agar harga diri keluarga besarku tetap berdiri kokoh di seantero desa ini.