Mungkin, sebuah kata kembali tak harus kembali.
-Rumi-
*
Pov Rumi
Senja terlalu indah dinikmati sendiri, namun tidak ada hati yang kosong, jika hati hanya teruntuk Allah semata.
Tiada hati yang lelah, dalam kata menunggu skenario terindah dari Allah semata, kata mungkin hanyalah sebuah pembodohan. Kepercayaanlah yang membuat hati akan tenang.
Senja itu memiliki sebuah keindahan, mungkin banyak orang yang bilang penikmat senja, namun mereka hanya berkata-kata dalam berbicara tentang senja.
Semburat warna kejinggaan senja itu. Sejingga hati ini. Lupakan tentang senja, tapi tentang hidup. Kadang kala orang terlalu dangkal dalam menikmati hidup. Mereka bahkan kadang menyerah akan hidup, dan memilih mengakhirinya.
Bukankah, Allah menciptakan manusia hidup untuk menjalani ujian yang sudah diskenariokan? Dan, kamu akan bosan, jika hidup tak pernah ada lika-likunya, bukan.
Kehidupan kadang kau bisa ditakdirkan dalam menangis akan sebuah kejadian, kadang bisa ditakdirkan untuk tersenyum, atau kau akan ditakdirkan sendiri. Lupakan saja, tentang jalan pikiran orang yang bilang hidupku, tak pernah adil Tuhan berikan, bagaimana kau tak diujikan, kalau kau ingin hidup di dunia.
Ya, aku pernah mengalami berpikir Allah tidak adil memberikan skenario hidup. Bahkan, aku tak pernah tahu bagaimana wajah kedua orang tua ku.
Kadang hidup mempermainkanku, tapi Allah tak pernah melakukannya, aku percaya akan hal itu.
Cinta terindah hanyalah Allah semata dan tak pernah meninggalkan apapun keadaanku saat itu.
Seoul memang indah, kadang orang tergila-gila untuk sekedar berlibur, tapi aku ke sini ingin mencari kedua orang tuaku yang katanya stay di sini.
Mungkin aku sebagai orang asing, bahkan awalnya aku tak pernah terpikirkan bisa ke sini, tapi ada hal yang aku ingin buktikan kepada dunia kalau aku bisa meraih semua impian itu.
Sejuta impian itu, kadang membuatku semakin kuat.
*
Pov Author.
Pesawat Mawar mendarat di Seoul, ia ditemani oleh Farhan. Perjalanan memakan waktu cukup lama.
"Sayang, kamu akan baik-baik saja, maaf kalau perjalanannya melelahkan" ucap Mawar ke putranya.
Bela kali ini tak bisa menemani Mawar, karena harus balik kembali ke New York.
Farhan memang anak yang sangat pandai. Ia pengertian dan tak pernah rewel sama sekali. Tuhan memang adil memberikan putra tampan dan pengertian.
Mawar hanya ingin hidup bersama Farhan. Ia tidak ingin mencari penganti kembali pria sialan dalam hidupnya.
"Mawar tak selamanya indah, mawar bisa saja menyakiti lewat durinya" gumam Mawar.
Di sana sudah ada seseorang yang diutus menjemputnya.
"Na na na," Farhan mulai mengoceh, ia seolah mengajak Mawar bicara.
Beberapa koper sudah dibawa oleh seorang pria yang menjemputnya.
Mawar memberikan sebotol susu untuk Farhan. Dan, bayi itu mulai tertidur pulas.
*
Pov Rumi
Ku berjalan di sebuah mini market, ku lihat seorang perempuan di masa laluku, tapi aku ini sedang halu.
Ku berusaha mengucek-ucek kedua mataku untuk memastikan kalau dia perempuan di masa lalu ku atau hanya kebetulan mirip.
Perempuan itu memiliki paras milik Mawar, tapi perbedaannya tidak berhijab. Ah, mungkin aku salah lihat atau bagaimana, tapi biarlah.
Ku berjalan melewatinya untuk memastikan kalau itu dia atau bukan.
"Mas, Rumi" sapanya dengan nada gugup.
Aku terdiam kala itu sambil menatapnya sekali lagi, ia pun memanggilku kembali kedua kalinya, meskipun awalnya aku ragu kalau dia perempuan di masa laluku.
Aku menghentikan langkahku kali ini, ia aku berhenti melangkah, lalu membalikkan badanku.
Perempuan itu, adalah Mawar pemilik masa laluku, yang pernah sempat dijodohkan dengan ku oleh pak Kiai Abdullah. Namun, sayangnya ia lebih memilih membatalkannya, karena suatu alasan.
Aku pun melihatnya semakin berubah, ia mengenakan pakaian begitu minim seperti kehabisan kain. Dia bukan Mawar yang begitu indah bila dilihat secara fisik.
Dan, Mawar sekarang terlalu banyak berubah. Penampilan terlihat liar, bukan seanggun Mawar dulu yang selalu terjaga.
Oh, mungkin setahun dua tahun bahkan hitungan tahun selanjutnya perempuan itu sudah banyak berubah.
"Mas," Mawar berusaha membangunkanku dalam lamunan tentang dirinya beberapa waktu lalu.
Mengenalnya dulu begitu menyenangkan, Mawar yang terlihat begitu sempurna dan tak pernah terjamaah, tak pernah terlihat dalam tatapan banyak pria. Mawar yang selalu terjaga keindahannya.
"Mas, kenapa kok bengong? Ini aku Mawar."
"Ya, ampun Mawar aku sampai pangling lihat kamu."
Mata Mawar terlihat begitu indah, meskipun tak seindah dulu.
Kami duduk di depan mini market sambil berbicara ala kadar dan basa-basi. Lalu, ia memberiku sebuah kartu nama dan meninggalkanku begitu saja.
"Maaf, aku harus pergi."
Lalu, aku tersenyum.
"Baiklah."
Sebenarnya aku ingin menanyakan bagaimana hubungannya sekarang dengan Pak Kiai. Tapi, ya sudahlah mungkin dia ada alasan untuk buru-buru pergi.
*
Pov Khadijah.
Ku meminta Hasan untuk menghentikan mobilnya di mini market, karena aku merasa tamu bulanan telah datang dan aku lupa bawa pembalut.
Hasan pun menghentikan mobilnya di mini market terdekat.
Ku turun dari mobil, setelah Hasan menepikan mobilnya di parkiran depan mini market.
Ku lihat ada seorang pria tidak asing untukku.
"Subhanaallah, dia Adam yang selalu ku impikan, Apa aku hanya halu? atau ini nyata kalau dia benar-benar Adam?"
Ku berjalan menghampiri dia yang duduk sambil meminum segelas kopi yang tersaji dalam gelas.
"Mas Rumi?"
Dia menoleh, namun tetap saja dalam menundukkan pandangannya.
"Khadijah?"
"Boleh aku duduk di sini?"
"Boleh silahkan saja."
Aku pun duduk di sebelahnya.
"Oh, ya kamu sedang apa di sini?"
"Biasa beli makanan cemilan sama minuman untuk di kontrakan."
"Oh, gitu ya, Mas."
"Kamu sendiri?"
"Eh, lupa aku mau beli pembalut. Dan, aku harus duluan, mas. Soalnya saudaraku sudah menunggu di sana."
Ku beranjak dari tempat duduk, lalu memasuki ke dalam mini market. Sebenarnya aku ingin mengobrol lama, tapi kasihan Hasan bisa garing, kalau nunggu kelamaan.
Notifikasi line ku berbunyi.
Hasan : Cepetaann, udah garing nungguin kamu!
Khadijah : Bentar napa, masih di kasir.
Hasan : Mangkannya jangan ngoceh mulu sama cowok.
Khadijah : Biarin, udah besar.
Hasan : Ya, kalau kamu keras kepala, aku tinggal biar naik bus umum.
Khadijah : Tega? kalau saudara mu ini diculik?"
Hasan : Ya lumayan buat ngurangi jatah ahli waris.
Khadijah : Nyebelin kamu!
Hasan : Aku ini ada janji sama orang.
Khadijah : Palingan sama cem-cem an.
Hasan : Sok tahu banget
Khadijah : Emang aku tahu, kamu itu terlalu kuat ikatannya sama aku. Mana mungkin aku nggak tahu! ingat kita itu kembar lahir di rahim yang sama, cuman beda detik.
Hasan : Mulai dech. Kalau lima menit nggak nonggol, ku tinggal aja.
Khadijah : Uh, nyebelin kamu, San.
Hasan : Budu amat!
Khadijah : Aku laporin ke ayah.
Hasan : Hhahaa lapor aja. Aku sich woles.
Khadijah : Ih.
Hasan : Yang ada kamu aku laporin kalau pacaran, jadi lupa waktu. Aku ada bukti otentik, udah aku jepret tinggal aku tunjukin.
Khadijah : Curang!
Hasan : Hhahaha.
Khadijah : Emot sedih
Setelah bayar di kasir, aku langsung merathon menuju mobil, meskipun agak dongkol dengan sikap kembaranku.
*
Pov Hasan.
Menunggu? kata terbosan pernah aku ingat. Ku kerjai aja Khadijah, emang enak ngelihatin dia yang asyik sama seorang cowok. Sedangkan, aku sudah hampir kelaparan stadium akhir.
Aku chat via line, eh dia awalnya bikin aku sebal, yaudah ku kerjai biar dia nggak lama-lama sama cowok yang nggak jelas.
Lagian dia bikin aku ingat sama perempuan cantik itu. Ya, meskipun aku belum sempat mengenalnya.
Lima menit kemudian....
Khadijah masuk ke dalam mobil. Mukanya terlihat kusut kayak jemuran belum di setrika. Ya, lucu setengah mampus.
"Cepet jalan" perintahnya.
Ya, hal paling ku kangenin dari Khadijah ya muka cemberutnya. Apalagi mulut yang hampir menyerupai nasi tumpengan yang ujungnya kerucut.
"Dijah, kamu sebenarnya suka nggak dengan Ridwan?
"Nggak!" Singkatnya.
"Terus cowok tadi siapa?"
"Nggak usah kepo!" ketusnya.
Aku terus menyetir. Khadijah masih saja pasang muka jutek, manyun dan sebal. Sedangkan aku malah menyetel lagu milik Judika - Cinta karena cinta.
"Nggak usah nyanyi, suaramu kayak kaleng rombeng!"
Sialan suaraku dibilang kaleng rombeng, padahal suaraku mirip afgan yang bisa meneduhkan hati perempuan.
Ku tambah kecepatan mobil, namun Khadijah tetap diam tak bereaksi.
Hal paling ku benci, kalau lihat kembaranku marahnya ngalahin mak lampir jilid tiga, nyeremin pakai banget.
Ku hentikan mobilnya, setelah sampai di mansion.
Khadijah pun turun tanpa sepatah kata pun, ia langsung mlengos masuk ke dalam.
*