webnovel

Dalam Kecamuk Perang

Pelan embus angin malam itu mengenai dirinya, dari kejauhan ia saksikan nyala kobaran api yang membakar seisi desa. Entah berapa lama sosok berjubah hitam ini duduk di bawah pohon, mungkin teriakan-teriakan yang memekakkan telinga itu juga kembali ia dengar. Teriakan yang seakan meraung, mengumpat, menyayat bahkan beberapa ada yang tak sampai terucap karena tebasan atau ujung tombak mungkin sudah menikam jantungnya. Kepulan asap hitam mebumbung tinggi yang tampak di pelupuk mata itu rasanya membuat Randra enggan berpaling dan masih tertegun di tempatnya.

Hanya mampu menjauh dari kecamuk perang yang sedang berlangsung, mungkin itu yang ada dalam pikiran Randra sejak tiga tahun belakangan ini. Perang yang melibatkan Empat Kerajaan Besar telah mengguncang Montrea, menyebarkan teror dan ketakutan ke segala penjuru bumi. Tak terhitung banyaknya korban dalam tiga tahun terakhir termasuk kampung halaman Randra yang juga masuk dalam wilayah Kerajaan Ra-Herl, lenyap sudah hanya menyisakan tanah lapang seolah tak pernah ada tanda-tanda kehidupan di atasnya.

Bukan sekedar pertanyaan berapa korban jiwa dalam perang ini? Namun ada sesuatu dalam benak Randra yang mengganggunya. Tangis mereka-mereka yang di tinggalkan, luka yang semakin hari semakin mengangga dengan kehidupan yang seolah tak ada harganya tanpa ada solusi penyelesaian masalah, penghancuran besar-besaran kerajaan musuh atau orang-orang yang tak sejalan dalam perang ini, belum lagi ambisi besar pihak-pihak yang merasa dirinya sebagai pemenang yang terus menerus seakan menikmati perang ini, terus menerus menyebarkan luka yang tanpa mereka sadari itu sudah cukup untuk menyalakan pemicu bara dendam turun menurun ke generasi selanjutnya. Entah berapa kali Randra harus menyaksikan ketidakwarasan dunia yang di tinggalinya.

Bulan tak berani menampakkan dirinya malam ini, hanya sedikit sorot cahaya yang tampak darinya, seakan rasa takut membuatnya bersembunyi di balik langit malam dengan cemas. Sementara dalam diamnya, sosok yang duduk di bawah pohon itu tetap menyaksikan kobaran api dari kejauhan sembari menurunkan bagian jubah yang menutupi kepalanya. Tapi bukan itu keanehan darinya, lamat-lamat bayangan pemuda yang terlihat menempel di pohon itu bergerak-gerak seakan hidup. Sekilas gerakannya seperti kobaran api sebelum akhirnya bayangan itu kembali ke wujudnya semula.

"Apa kau masih ingin memandangi desa yang hancur itu?" tanya si bayangan pada Randra.

Seakan tak terkejut dengan bayangannya yang bisa berbicara, dengan santai tanpa berpaling dari desa yang terbakar itu Randra menjawab.

"Tapi mau ke mana lagi kita? Aku sudah tak punya tenaga lagi untuk berjalan, terkadang aku iri denganmu Silbi, kau hanya bayangan yang tak butuh makan dan minum".

"Tentu aku tak butuh itu semua, aku juga kadang lupa kalau kau makhluk lemah yang tak sama sepertiku, hahaha," balas bayangan yang di panggil Silbi ini sambil tertawa.

"Baiklah, coba kita cari sesuatu untuk di makan," sahut Randra sembari bangkit dari duduknya.

Melangkah ia memasuki hutan berharap ada hewan buruan yang bisa ia makan, pandangannya tajam mengawasi sekeliling mencari keberadaan mangsanya. Tangannya menyelinap di balik jubah hitamnya seraya mengambil belati yang ia selipkan di pinggang. Semakin dalam pemuda itu berjalan memasuki hutan dengan sosoknya samar-samar mulai tak terlihat lagi di balik rimbun belantara malam.

Beberapa menit berlalu sejak ia mencari hewan buruannya, di balik pepohonan dan semak belukar sosoknya kini terlihat sedang tidur terlentang di atas rerumputan sambil memandangi langit malam yang tak berbintang. Berulang kali terdengar ejekan Silbi melihat Randra yang hanya malas-malasan di atas tanah. Keduanya berada di atas tebing agak jauh dari desa yang terbakar tadi.

"Sudah kuduga manusia itu payah, dan kau yang paling payah dari semua orang yang pernah kutemui," ejek Silbi yang tampak duduk di samping Randra.

"Diamlah bodoh, aku sudah tak punya tenaga lagi," balas Randra di barengi suara perutnya yang keroncongan.

"Hahaha, lemah sekali! Kau ingat rusa tadi? Untung kau bisa menghindar saat dia menyerudukmu, hahaha, bodoh sekali jika kau mati tadi," sahut Silbi dengan ejekannya.

Randra diam tak menjawab, hanya suara perutnya yang keroncongan terdengar menggema di kesunyian malam di barengi tawa Silbi setiap kali ia mendengar perut Randra berbunyi. Merasa tak kuat lagi untuk tertawa, bayangan hitam ini mengambil belati di pinggang Randra.

"Hentikan suara itu bodoh! Hahaha, akan kuajari kau cara berburu," ucapnya seraya memegang belati Randra.

"Pertama, darahmu," lanjutnya lagi sambil memegang tangan Randra.

Belati itu ia goreskan sedikit di salah satu jari Randra membuat darahnya mengalir membasahi ujung belati. Luka kecil itu agaknya tak berpengaruh terhadap Randra, pemuda ini hanya diam mengamati apa yang akan di lakukan oleh teman bayangannya. Belati dengan kucuran darah yang membasahi ujungnya itu lantas Silbi genggam, ia bangkit meninggalkan Randra yang masih terlentang di atas tanah.

Agak jauh ia berdiri di samping Randra, gelagatnya seakan mengawasi sekitar dengan tenang. Seketika itu juga ia bersiap melemparkan belati itu ke depan ketika di rasanya menemukan sesuatu, dengan erat ia genggam dan mengayunkannya dengan cepat.

CRAAAASSSHHHH.

Api keluar bersamaan dengan belati yang melesat ke depan, layaknya sebuah tombak sedang menerjang dengan kobaran api yang membakar apa pun yang di lewatinya dengan cepat. Randra terperangah dengan apa yang dilakukan Silbi, spontan ia terduduk mengamati api yang melesat itu. Kobaran itu sangat merah seolah bukan api dari dunia ini, rasanya ia tak pernah menemui api seperti ini.

"Apa-apaan itu? Bagaimana kalau tentara musuh ke sini?" celetuk Randra teringat akan desa yang sudah di bumiratakan tentara musuh.

Bisa saja tentara musuh melihat kobaran yang melesat itu dan mendatangi mereka, namun Silbi hanya diam sembari berkacak pinggang, ia sama sekali tak bergeming dari tempatnya. Tangan yang ia gunakan melempar belati tadi juga ikut terbakar, tapi sepertinya ia baik-baik saja. Sesaat ia mengepalkan tangan kanannya ke depan, entah dari mana muncul rantai hitam dari tangannya yang mengikuti arah bekas kobaran api tersebut. Dengan cepat ia tarik rantai panjang itu bersamaan dengan sesuatu yang terbang sedang bergerak ke arahnya.

BRAAAKKKKK

Sebuah rusa berukuran besar menabrak pepohonan di belakang mereka, beberapa bagian tubuhnya pun sudah hangus terbakar. Tampak juga sebuah belati tertancap di punggung rusa malang tersebut, belati itu terhubung dengan tangan Silbi melalui rantai hitam yang muncul secara misterius tadi.

"Aku tak tahu rasanya seperti apa? Tapi kurasa ini sudah cukup matang, lagi pula ini buruanmu tadi," ucap Silbi menghampiri Randra yang masih terperangah.

"Apa-apaan? Apa kau... ah, sudahlah, rasanya aku tak mau berpikir saat ini," balas Randra yang tak habis pikir sembari masih memandangi rusa tersebut.

Silbi seolah kembali bersatu dengan Randra, tampak bayangan hitam itu mendekati Randra dan kembali seperti semula. Sementara Randra yang ragu-ragu, mulai mendekati rusa besar itu dengan rasa lapar yang menuntunnya, aroma daging yang terbakar berhasil menggugah seleranya menambah kesan sudah siap untuk di santap. Sepertinya ia juga tak mau meributkan perbuatan Silbi barusan, lagi pula mungkin para tentara yang menjarah desa tadi sudah pergi jauh dan tak mengetahui kobaran api besar tersebut.

Mungkin rasa lapar sudah berhasil menguasa dirinya berhari-hari ini, tak perlu dijelaskan bagaimana cara ia menyantap menu makan malamnya, yang pasti bunyi kunyahan yang lahap itu sudah cukup jelas terdengar di kesunyian malam. Masih asyik ia menyantap makanannya, tiba-tiba matanya melebar seperti menyadari sesuatu. Dari kejauhan sayup-sayup bunyi ringkikan kuda terdengar memecah kesunyian malam, derak kaki yang berlari itu terdengar bukan seperti satu atau dua kuda yang sedang melintas di hutan. Tentu kuda-kuda ini tak sekedar berlarian tak jelas tanpa arah.

"Sial, mereka datang!" umpatnya yang langsung berdiri menyadari ada kerumunan yang datang.

Gelapnya malam seakan menyamarkan sosoknya yang mengenakan jubah hitam, dengan tergesa-gesa ia membawa beberapa potong daging rusa sebelum akhirnya kembali memasuki belantara hutan. Dari kejauhan ia dapat menyaksikan beberapa lentera yang tampak berseliweran diiringi derak kaki kuda yang terdengar sangat ramai. Untungnya posisinya sekarang berada di tanah yang agak tinggi dari kerumunan tersebut, tentu pasukan berkuda itu perlu waktu untuk mengejar Randra yang berada di atas mereka. Ringkikan kuda dan teriakan para prajurit yang terdengar itu seolah tak menghiraukan malam yang semakin larut, wajah-wajah garang itu memutar pandangannya ke segala penjuru hutan yang gelap mencari sesuatu.