webnovel

AlHasani

Qumar Shiddik AlHasani, atau Hasan, bergabung dengan perusahaan setelah masa percobaan selama 3 bulan. Berbeda dengan intern lain yang rata-rata membutuhkan 6 bulan sampai setahun sebelum diangkat menjadi pegawai tetap yang mendapatkan banyak tunjangan di luar gaji pokok.

Sebagai sekretaris wakil direktur, Hasan menunjukkan etika dan profesionalisme di atas rata-rata. Sebagai seorang individu, dia yang tingginya 183 cm, berparas menarik dengan berat tubuh ideal ditunjang selera berpakaian yang makin menunjang kelebihannya.

Tiga tahun lebih Haris mengenal pria itu, dia tidak terlihat dekat dengan karyawan manapun, hanya bersosialisasi sekedarnya saja. Dari banyak staff wanita di kantor, Hasan mungkin paling dekat dengan Mak Jum di bagian serabutan. Itu juga dia selalu berbicara dengan sopan dan santun.

Image sempurna sekretaris muda berbakat, tampan dan punya masa depan karir cemerlang itu hancur saat dia terengah-engah penuh nafsu di depannya.

Haris berontak dengan mencoba lepas dari cengkraman tangannya. Tapi kekuatan duda yang sudah bertahun-tahun hanya bekerja dari balik meja jauh berbeda dari pemuda dua puluhan tahun yang masih rajin berolahraga dan aktivitas fisik lainnya.

"Tenanglah sebentar biar ini cepat selesai.." bisiknya dengan suara berat tepat di telinga Haris, bersamaan tubuh Hasan yang makin merapat.

Panik, pria tiga puluh lima tahun itu berusaha mendorong dengan menjejakkan kaki dan meronta ke kiri, ke kanan. Apapun agar dia bisa lepas.

"Sialan.. Pak Haris, jangan bergerak!"

Terlambat. Kursi kantor yang di duduki tidak bisa menahan berat mereka berdua, terlebih karena insting Haris untuk kabur, hingga kursi condong dan jatuh ke belakang. Haris sudah menutup mata, bersiap menerima benturan kepala dengan lantai.

Tubuh mereka terhempas tapi rasa sakit itu tidak kunjung datang. Saat Haris membuka mata, dia terkejut melihat lengan Hasan telah menahan kepalanya.

"Kamu tidak apa, Hasan?"

"Iya, saya..." Hasan bergeser sedikit sehingga telah memerangkap pria di bawahnya dengan sempurna. Dia tidak ingin melepaskan kesempatan ini apapun yang terjadi nanti. Dengan cepat dia melepaskan anggota tubuh yang sedari tadi sudah merasa sesak dan tidak sabaran.

"Biar saya selesaikan sebentar, setelah itu saya akan lepaskan Bapak."

Haris yang akhirnya pasrah dengan keadaan, mendengarkan suara deru nafas Hasan dalam diam. Dia tidak berani bergerak atau membuat suara sekecil apapun agar semuanya segera berakhir. Rasa malu yang di tahannya dan insiden jatuh barusan membuat degupan jantungnya bersaing dengan desahan erotis dari bibir Hasan.

Pria yang sudah menduda itu bisa menduga apa yang tengah dilakukan sekretarisnya saat ini.

Sclep sclep sclep..

Dari suara yang timbul akibat gesekan antar kulit pada permukaan yang basah.

Sclep sclep sclep..

Dirinya juga laki-laki, dan pernah muda.

Sclep sclep sclep...

Meski Haris dulu tidak pernah mengocok diri di depan orang lain, terlebih lagi di kantor. Di ruangan dimana siapa saja yang berkepentingan bisa keluar masuk setiap saat.

Apa yang akan dia lakukan kalau sampai ada yang melihat mereka berdua? Hatinya berdegup kuat.

Sclep sclep sclep...

Tapi suara yang ditimbulkan Hasan, dari tangannya.. dari berat nafasnya.. dari desah dan erangannya.. dan wajah yang kini menghujani leher dan pipinya dengan kecupan kecil dan basah..

Haris tidak bisa menghentikan stimulus dari luar yang mempengaruhinya. Hasan terdengar sangat erotis, jadi wajar kalau bagian dirinya bergerak-gerak bangun.

Sclep.. sclep..

"Ugh.. Pak Haris..."

Tubuh Hasan yang lebih besar dan lebar, adalah tubuh pria dewasa. Tubuh yang tengah menindihnya, memanggil namanya..

Haris bisa merasakan saat tubuh di atasnya mengejan dan kaku, seiring dengan makin tajamnya aroma vulgar yang menyeruak ke udara. Dia bisa menciumnya di antara bau perspirasi dan wangi cologne Hasan.

Gila! Apa yang dia pikirkan?!

Dia tidak sekering itu hingga menggunakan masturbasi orang lain sebagai sumber imajinasi!

"Menyingkir!!" Haris meninju wajah Hasan hingga tubuhnya terpelanting ke sebelah.

Hasan yang tengah berada dalam status terpuaskan setelah klimaks tidak bisa menghindari pukulan yang dilontarkan atasannya itu. Tidak ada keinginan baginya untuk membalas. Hasratnya saat ini sudah terpenuhi.

Haris berdiri dan hendak mengibaskan debu di pakaiannya saat tangannya terhenti. Sebagian kemeja dan celananya terkena cairan putih hasil perbuatan pemuda yang tengah terlentang santai.

"Hari ini aku sial sekali.." Haris mengambil tas dan ponselnya sebelum meninggalkan kantor.

Hasan duduk dan merapikan dirinya sebelum berjalan pergi seolah tidak terjadi sesuatu. Dia hanya berhenti sebentar saat akan memakai helm. Di spion motor, pemuda itu melihat tulang pipinya berwarna kemerahan. Bibirnya sedikit terangkat mengingat penyebab memar di wajahnya.

. . .

Pagi itu Haris menggeser layar ponsel saat alarmnya berbunyi.

Setelah semalaman merasa gelisah dan tidak bisa tidur, duda yang rambutnya mulai ditumbuhi rambut putih itu menghabiskan sisa malam dan dini hari menyelesaikan pekerjaan rumah termasuk memasak.

Menu sarapan sayur sop dengan tempe goreng dan ayam ukep sudah siap. Bahkan dia sempat membuat jus, puding pisang, dan menyiapkan bekal makan siang. Semua itu demi menyingkirkan bayangan kejadian kemarin sore.

"Pikirkan hal tidak menyenangkan... Pikirkan hal menyebalkan... " Gumam Haris sambil mencari hal yang membuatnya bad mood.

Wajah tertawa seseorang berhasil membuat Haris kembali ke alam nyata. Terutamanya jika yang bahagia itu seseorang bernama Asmoro Bangun, direktur yang menjabat sejak lima tahun lalu. Anak laki-laki direktur sebelumnya, yang baru pulang kuliah setelah mendapat gelar MBA di luar negeri.

Haris mungkin tidak akan sekesal ini kalau Pak Bangun melakukan tugas sesuai jabatan dan gelarnya. Sambil berdiri di depan cermin, pria setinggi 168cm itu menatap balik mata coklat gelap yang tengah memandangnya. Meyakinkan diri kalau dia telah mengambil keputusan terbaik saat itu sesuai dengan kapasitas berpikirnya. Dan bahwa tidak apa-apa meskipun hidupnya tidak sempurna. Dia masih bisa hidup dengan baik, lebih baik dibanding banyak orang seumurannya.

Setibanya di kantor, Haris yang sudah sama sekali lupa, terkejut waktu Hasan menyapanya pagi itu.

"Selamat pagi, Pak. Mau dibuatkan kopi?"

Mata Haris tertuju pada plester kecil yang tidak bisa menyembunyikan warna merah gelap kebiruan. Selain itu, Hasan juga memakai kacamata.

"Wajahmu..." Haris menyesal melihat wajah idola kantor mereka itu.

"Ah, iya, kemarin saya jatuh dari kursi, jadi untuk sementara tidak pakai contact lens dulu." Jawab Hasan dengan senyum sumringah.

Penyesalan Haris bertambah dalam, Harusnya aku hajar dia sampai bonyok!!

"Iya, tolong buatkan kopi hitam. Dan bilang ke bagian marketing, aku minta analisis data penjualan semua produk besok selama tiga bulan terakhir, paling lambat hari sabtu. Hari ini tolong kumpulkan semua event dan promo selama tiga bulan terakhir, dan hari rabu nanti aku ingin mereka sudah punya rencana promosi untuk tiga bulan mendatang."

Kalau sudah kepalang basah, sekalian nyebur!

Haris yang memantapkan hati akan melakukan pekerjaannya sebaik mungkin, tidak ada lagi yang akan memonitornya selama seminggu kedepan. Dia akan membuat perusahaan ini, tidak bisa bergerak tanpa dirinya.

"Baik, Pak." Hasan tidak berlama-lama berdiri di sebelah meja wakil direktur.

"Nisa!" Haris ganti memanggil staffnya yang lain.

"Iya, Pak," Nisa menyahut dan tidak lama sudah berdiri di samping meja Haris.

"Tolong buatkan notif atk tiap departemen, stok masih berapa, keperluannya berapa, nanti kita pesankan. Tolong kamu survey, ya, carikan yang harganya murah aja. Kertas ganti yang 60gram."

"Kertasnya kalau murah gampang sobek, Pak. Lalu untuk stempel merek Burung lebih cepat kering daripada merek Ayam."

"Tidak apa, kertasnya suruh lebih hati-hati saat handling. Stempel dicampur saja mereknya, nanti minta tolong anak CS bantu oplos. Sekalian cek stok sabun dan lainnya, kamu bisa tanya Pak Umar, kepala CS."

"Iya, Pak."

"Dananya seperti biasa nanti kamu laporan ke bagian pembiayaan, ya. Belanjanya kamu ajak satu dari sana, kalau mereka mau bantu."

"Iya, Pak Haris."

Sementara ini untuk urusan pekerjaan sudah sebagian besar beres. Tapi hati Haris tetap merasa tidak nyaman saat dia kembali mengingat apa yang dilakukan sekretaris pria itu.

.

.

.