webnovel

27. Jangan Pegang Pegang (2)

Teman baik.

Teman baik adalah posisi yang cukup istimewa dalam kehidupan orang lain. Dan Haris berpikir kalau dia ingin jadi teman baik pemuda itu. Terlepas mereka berhubungan badan atau tidak.

Karena itu, perasaannya terluka saat dia tidak tahu apa-apa tentang Hasan!!

Tapi Haris sudah tua, akan memalukan kalau dia bertingkah seperti masih muda. Seperti mengacuhkan Hasan saat pemuda itu menawarinya kopi.

Atau mendiamkannya selama makan siang. Atau, masih cemberut saat kembali dari makan siang.

"Pak Haris, barusan Pak Hilman menghubungi saya. Kontrak dengan pihak Tbk sudah selesai dibuat. Silahkan diperiksa dulu sebelum dilakukan pengajuan," ujar Hasan yang berjalan di sebelah Haris sambil menggeser layar tabletnya.

"Taruh saja di mejaku," perintah Haris ketus.

"Pak Hilman bilang, ada yang sekalian mau dibicarakan dengan Pak Haris. Beliau menunggu di ruang rapat C-4," lanjut Hasan tetap kalem.

Haris mendengus saat kakinya menginjak ke lantai lift, bersama dengan karyawan yang lain. Dia tetap tidak merespon saat Hasan menekan tombol lantai 8 untuknya.

Keduanya keluar saat pintu lift terbuka di lantai 8. Berbeda dengan lantai lainnya, suasana cukup sepi karena hanya dipakai jika ada rapat saja.

Haris langsung berjalan ke arah toilet. Dia berkumur untuk memastikan tidak ada sisa makanan, dan memanfaatkan cermin besar untuk merapikan penampilan.

Sebenarnya Haris tidak ambil pusing meski nafasnya bau bawang, atau rambutnya acak-acakan saat rapat. Duda itu hanya melakukannya agar tidak jadi bahan gunjingan orang.

Terlebih dengan pemuda berpenampilan keren seperti Hasan sebagai sekretarisnya. Meski tidak ganteng, penampilannya rapi sudah cukup bagus.

Duda itu lalu masuk ke ruang rapat yang masih kosong, diikuti Hasan di belakangnya. Hanya ada meja persegi dengan lima kursi di sekelilingnya, sama seperti ruang rapat kelas C yang lain.

"Pak Haris, maafkan saya," ujar Hasan.

"Ada apa?" tanya Haris dengan kesal. Ketika matanya melihat tangan Hasan memutar kunci ruangan, seketika Haris tahu ada yang salah.

"Saya berbohong," kata Hasan. Pemuda itu lalu mendorong tubuh Haris ke dinding.

Saat duda itu akan bertanya, Hasan mencium bibirnya. Pemuda itu juga tidak segan memasukkan lidahnya dalam rongga mulut Haris. Sementara kedua lengan Haris di tahan di belakang tubuhnya, menyebabkan duda itu mati kutu.

Ketika Haris berusaha melepaskan diri, Hasan kembali mendorong dadanya ke dinding.

"Apa Pak Haris sadar kalau ngambek sejak tahu saya tidak ikut outbond?" tanya Hasan tepat di telinga Haris.

"Aku tidak ngembek!" bantah Haris dengan bibir yang merah dan basah.

"Baiklah, tidak ngambek. Tapi merajuk," goda Hasan. Tangannya yang bebas meraih bagian depan celana Haris dan melepaskan sabuk lalu pengaitnya.

"Aku tidak merajuk!" bentak Haris setengah berteriak. Tidak terima dengan tuduhan Hasan.

"Ssh, Pak Haris jangan keras-keras.." bisik Hasan yang mencium leher Haris, selagi kedua tangannya sibuk di bawah sana. Satu bermain di organ vital wakil direktur itu, satu lagi mengelus perut pria yang lebih tua itu.

"Tapi, kenapa Pak Haris ngambek?" tanya Hasan.

Haris sudah akan menjawab saat jari Hasan membuatnya hilang akal, jari-jari besar yang menggenggam dan mengocok miliknya dalam irama yang pas. Darah berdesir cepat di telinga duda itu, begitu kerasnya, seolah jantungnya berada tepat di samping telinga.

"Nggak.. ngambek.." bantah Haris dengan fokus yang sudah terpecah. Tangan Hasan terasa nikmat beradu dengan kulit sensitifnya. Dan dia yakin kalau gajah di dalam celana pemuda itu sudah mengangkat belalainya tinggi-tinggi.

Haris menjulurkan tangan ke belakang, ke celana Hasan yang masih tertutup. Dibelainya tenda dan kayu keras yang ada di dalam sana. Sebuah senyum kemenangan menghiasi sudut bibir Haris saat ada respon denyut dari celana Hasan.

"Lepaskan celanamu," perintah wakil direktur itu. "Biar aku kocok."

"Hmm, tidak mau," jawab Hasan. Kali ini dia menggigit tepian telinga Haris. "Nanti mereka dengar suara saya."

Bajul! umpat Haris dalam hati. Apa Hasan pikir, Haris juga mau suaranya terdengar sampai keluar?

Lagipula ruang rapat ini bersebelahan dengan ruang rapat lain. Untuk menghemat biaya, mungkin saja pakai bahan yang tipis dan tidak meredam suara.

"Bukannya kamu menarikku kesini untuk memuaskan diri?" tanya Haris. Dia tidak paham kenapa Hasan menolaknya. Hasan yang punya birahi tinggi dan tetap lanjut meski Haris memintanya berhenti.

Haris berusaha tetap fokus meski seluruh syarafnya sedang berteriak, menginginkan kenikmatan yang lebih tinggi.

"Saya hanya ingin melihat reaksi Bapak."

Jawaban Hasan itu perlu waktu hingga bisa dicerna sepenuhnya oleh Haris.

Gairah yang membakar setiap nadinya, perlahan seperti disiram air dingin.

Haris merasa seolah Hasan ingin melihatnya merintih dan hilang akal, karena Hasan tahu bagian tubuh mana saja yang sensitif. Hasan tidak perlu ejakulasi untuk mendapat kepuasan.

Seakan, pemuda itu sudah merasa cukup hanya dengan memainkan tubuh Haris.

"Kalau begitu, lepaskan..." perintah Haris dengan mendesis.

Hasan yang merasa ada perubahan dalam diri atasannya, menghentikan sentuhannya. Dia tidak tahu apa yang membuat Haris tiba-tiba dingin dan jauh.

Jika sebelumnya, wakil direktur itu ngambek dengan manis dan menggemaskan. Kali ini kemarahan dan kekesalannya tampak jelas.

Hasan pun diam saja, saat Haris membenahi posisi pakaian dan celana yang lepas saat permainan kecil mereka. Haris bahkan membanting pintu saat keluar ruang rapat.

...

Haris sangat kesal pada Hasan. Tapi lebih kesal lagi pada dirinya sendiri.

Dia sangat malu, sudah bertingkah seperti anak kecil.

Memangnya kenapa kalau Hasan tidak pernah bercerita tentang keluarganya? Tiap orang punya satu atau dua rahasia yang bahkan tidak diceritakan pada pasangan mereka.

Bisa jadi, keluarga Hasan tidak harmonis. Atau dia punya masa kecil yang tidak bahagia. Karena itu dia tidak mau mengungkit tentang mereka.

Tapi Haris malah marah-marah dan menuduh Hasan yang bukan-bukan. Dia menganggap Hasan hanya butuh dirinya sebagai mainan. Seandainya benar Hasan melihat dirinya seperti itu pun, bukan urusannya.

Hasan sudah membantu dengan menyediakan tempat tinggal yang layak. Memberi pinjaman tanpa batas waktu, serta dukungan moral.

Gaji yang Haris terima bulan ini, sebagian besar terpakai untuk biaya penitipan Niar dan perawatan ibunya. Dia sudah berutang banyak untuk operasi dan sekolah Niar yang baru. Sedangkan bonus akhir tahun ini, akan dia pakai sebagai DP kendaraan dan biaya tak terduga.

Kalau dirinya bisa berhemat, dua bulan lagi Haris akan punya cukup uang untuk DP kontrakan rumah sederhana. Dan entah baru bulan keberapa, mulai mencicil utangnya pada Hasan.

Duda itu menghela nafas sambil membalik lembar laporan yang dibacanya. Laporan demi laporan yang tak kunjung habis. Belum lagi kunjungan dan diskusi kalau ada masalah.

.

"Maafkan aku."

Kata-kata itulah yang pertama kali keluar dari mulut Haris saat dia duduk di dalam mobil. Bersamaan dengan Hasan menyalakan mesin mobil.

Hasan menoleh ke arah pria yang lebih tua 10 tahun darinya itu. "Maaf, apa, Pak?"

Duda itu berdecak dan melipat kedua tangan di dadanya. "Aku minta maaf," ujar Haris ketus.

Sambil memasukkan gigi dan gas, mata Hasan terarah pada jalur di depannya. "Saya dengar kalau Pak Haris minta maaf. Maksud saya, minta maaf untuk apa?"

Kali ini Haris sudah akan meledak karena malu. Namun tangan Hasan yang dia letakkan di paha Haris, membuat emosi duda itu terkontrol.

"Aku.... Kamu benar, Hasan. Sejak kamu bilang tidak ikut outbond..." Haris membiarkan kata-katanya mengambang. "Aku ingin tahu lebih banyak tentang dirimu. Tapi, kalau aku melewati batas, aku minta maaf."

Haris memperhatikan reaksi Hasan lekat-lekat. Dia ingin menjaga perasaan Hasan sebisa mungkin. "Tidak semua orang punya keluarga yang harmonis."

Pandangan mata Hasan meredup, seiring dengan sudut bibir yang terangkat dalam senyum palsu. "Keluargaku tidak apa-apa. Aku hanya malu kalau Pak Haris atau siapapun sampai tahu."

Pemuda itu bahkan menarik tangannya dari kaki Haris.

"Oh," celetuk Haris. Dari reaksi Hasan, sepertinya ada masalah yang cukup rumit. Duda itu pun menepuk pundak Hasan. "Kamu tidak usah cerita kalau tidak nyaman."

"Tidak, sungguh. Saya tidak apa-apa," ujar Hasan dengan suara pelan.

Kini Haris jadi merasa tidak enak sebab mengungkit tentang keluarganya. Sudah pasti 100% kalau keluarga Hasan bermasalah.

.

.