webnovel

21. More Workout (1) 20+

Ada beberapa hal yang Haris sadari sejak tinggal bersama dengan Hasan.

Pertama, Hasan tidak malu mengutarakan apa yang ada di pikirannya. Termasuk hal-hal kotor / mesum, pada Haris. Hanya kehadiran Niar yang jadi semacam penyangga, mencegah pemuda itu bertindak lebih jauh.

Kedua, Hasan sangat persuasif untuk meraih tujuannya. Hampir-hampir manipulatif. Atau Haris hanya terlalu bodoh dan terlambat menyadari maksud di balik kata-kata manis Hasan.

Ketiga, Hasan mengetahui Haris lebih baik dari dirinya sendiri. Luar dan dalam. Kadang duda itu merasa takut dengan keadaannya yang terekspose secara menyeluruh.

Seperti saat ini.

Pemuda itu kembali mengingatkan Haris akan posisinya. Menumpang hidup dan meminjam sejumlah uang untuk kebutuhan keluarga Haris.

Meski enggan, Haris mengulurkan tangan ke pinggang pemuda itu, dimana celana pendeknya melekat longgar. Dia juga tahu apa yang Hasan inginkan darinya. Selama ini pemuda itu konsisten dengan keinginannya.

"Kamu mau aku pakai tangan atau mulut?" tanya Haris dengan sedikit mendongak.

Perubahan dalam diri Hasan hanya kentara karena Haris berada dekat dengannya. Pupil berwarna gelap yang melebar, desahan nafas yang panjang dan makin berat, tubuh memanas, serta organ yang menggeliat pelan.

Tapi Hasan mengulur waktu. Jarinya berpindah dari ujung rambut Haris ke bibirnya. Ujung jempol Hasan mengusap pelan bibir bawah Haris, pelan tapi penuh tekanan. Ketika Haris membuka mulut, pemuda itu tidak segan memasukkan dua jarinya yang tebal dan panjang.

Rasanya tidak nyaman saat telunjuk dan jari tengah Hasan merogoh liang mulutnya. Memainkan lidahnya. Atau mengelus gusi dan giginya.

"Harusnya sejak awal Pak Haris melakukan ini," ujar Hasan dengan seringai lebar. Matanya mengarah sebentar ke pintu kamar Haris sebelum kembali pada pria dewasa di hadapannya. Dia lalu menarik jarinya keluar.

"Silahkan Pak Haris masuk dulu ke kamar," ujar Hasan.

Ketika Haris berdiri dan mulai beranjak, Hasan memegang lengannya. "Lepaskan pakaian Bapak disini."

Haris menoleh, dahinya berkerut dan bibirnya cemberut. Protesnya hanya membuat senyum Hasan makin lebar. Dan makin garang. Dengan terpaksa, dia melepas kaus dan celana pendeknya.

Saat Hasan memberinya tatapan penuh ancaman dan intimidasi, Haris pun menyerah. Dia menarik turun benda terakhir yang masih melekat menutupi daerah pribadinya.

"Sudah?" gertaknya ketus.

"Ya," jawab Hasan. Tangannya meremas pantat Haris saat atasannya itu berjalan menjauh.

.

Di dalam kamar, Haris tidak segera naik ke atas ranjang. Dia tidak mau berasumsi apapun saat mood Hasan seperti ini.

Pemuda itu menutup dan mengunci pintu kamar sebelum naik ke atas spring bed. Satu tangannya mengeluarkan benda lonjong dari celana. Tangan lainnya terulur ke arah Haris.

"Silahkan kemari, Pak," ajak Hasan. Seolah Haris punya pilihan lain.

Hasan langsung menarik Haris mendekat, mengadu bibir mereka satu sama lain dalam ciuman yang panas dan melumatkan. Tangannya yang besar dan kokoh, menahan punggung Haris. Mengusap, mengelus, meraba dengan penuh perhatian.

Ketika bibir mereka akhirnya terpisah, masih ada jejak liur yang terlihat mesum di wajah Hasan. Tanpa Haris sadari, dia membuat ekspresi wajah yang sama seperti pemuda di depannya.

"Saya ingin, mulut Pak Haris penuh terisi dengan penis saya," ujar Hasan dengan suara yang lebih rendah dari biasanya. "Dan seandainya tidak cukup pun, Pak Haris harus tetap menjilat dan menciuminya. Dari bawah sampai atas, jangan ada yang terlewat."

Pemuda itu hendak membuka kembali mulutnya tapi Haris keburu membungkam dengan telapak tangannya. Wajahnya terasa panas mendengar perintah memalukan keluar dari sekretarisnya itu.

"Aku tahu, jangan teruskan," pinta Haris yang mulai bergeser turun.

"Tunggu," perintah Hasan. Tangannya lalu menarik dan mengubah posisi kaki Haris hingga duda itu terjungkal.

Kini, wajahnya berhadapan langsung dengan kemaluan Hasan yang berukuran besar. Sedangkan Haris bisa merasakan nafas Hasan yang berat dan dalam di bawah sana.

Meski pernah menikah, pernikahan Haris tidak cukup lama untuk membuatnya merasa nyaman mengeksplor berbagai macam posisi dengan istrinya dahulu. Terutama posisi 69 ini, dimana Haris harus menunggingkan pinggang dan mengkangkangkan kaki.

"Hasan..." rengek Haris sambil menutupi bagian yang bisa dia tutupi dengan kedua telapak tangannya.

"Hmm? Kenapa berhenti, Pak?" tanya Hasan pura-pura tidak tahu. Dia bahkan mulai mengecup dan menggigit satu dari dua kekenyalan di hadapannya. Tangannya mengelusi lengan dan paha Haris bergantian.

Rasanya sangat memalukan bagi Haris. Membiarkan wajah orang lain berada begitu dekat dengan zona pribadi yang selalu tertutup dan tersembunyi. Karena kulitnya gelap, berbintik dan keriput di bawah sana, belum lagi rambut-rambut liar yang tumbuh semaunya.

"Bagaimana kalau lampunya disetting paling redup?"

"Hmm, nanti tidak kelihatan," gumam Hasan sambil mencoba menyingkirkan tangan Haris. "Jangan ditutupi, Pak."

"Tapi..." Haris mencoba memikirkan alasan lain.

"Kalau Bapak tidak mau, sebaiknya tidak usah dilanjutkan. Saya tidak mau melakukannya dengan orang yang enggan."

Kata-kata Hasan yang berbeda dari biasanya, mengejutkan Haris. Biasanya pemuda itu mencari berbagai cara agar Haris mau mengikuti kemauannya di tempat tidur. Bahkan saat Haris protes pun, Hasan cenderung menepisnya.

Berani-beraninya dia berkata begitu, sekarang..! Grrrr..!!

"Sudah, fokus saja pada bagian Pak Haris." Kali ini Hasan menekan leher Haris dari belakang, berbanding terbalik dengan apa yang dikatakannya tadi. "Atau Pak Haris benar-benar ingin berhenti?"

Tidak ada pilihan lain, Haris langsung mulai menjilat organ yang mulai lemas di depan wajahnya. Saat benda itu berkedut mendekat-menjauh, Haris menangkapnya agar tidak banyak bergerak. Dalam benak Haris, makin cepat dia membuat Hasan keluar, akan lebih baik.

Hasan menahan agar tidak ketahuan duda itu, kalau sedang tertawa. Sebagai gantinya, dia meraih milik wakil direktur itu dan membelainya dengan lembut.

"Coba Pak Haris bisa melihat, pantat Bapak sangat menggemaskan," ujar Hasan diikuti dengan sentilan pelan pada bola sensitif Haris.

.

Untuk memastikan mereka bisa menikmati malam degan aman, Hasan menambahkan lube di sekitar lubang Haris. Saat ini dia bisa memasukkan dua jari dengan lancar. Tinggal sedikit lagi sampai lubang kemerahan itu bisa menerimanya dengan baik.

"Ugh." Sebuah desahan kembali keluar dari bibir atasannya.

Hasan tahu kalau atasannya itu excited berada di posisi ini. Pria itu hanya malu untuk mengakui. Buktinya, sejak tadi, kemaluan pria itu tetap keras. Bahkan beberapa kali meneteskan precum tiap Hasan menyentuh wilayah sempit antara lubang dan kantungnya.

"Hasan.. " panggil Haris (dengan manja).

Pemuda berkulit gelap itu memasukkan jari ketiga. "Hmm, sebentar lagi."

Tanpa Haris sadari, pinggulnya bergerak mengikuti arah jari Hasan. Dia ingin menahan suara agar tidak keluar dari mulutnya. Usaha yang hampir mustahil, dengan benda tebal kemerahan yang berkedut di dalam rongga mulutnya.

Jujur, rahangnya sudah terasa kaku dan lelah. Tapi dia tidak juga berhasil membuat sekretarisnya itu sampai ke puncak. Haris bertanya dalam hati, apakah tekniknya seburuk itu? Padahal dia sudah menjilat, mengulum, dan mengisap sebaik mungkin.

Selagi pikiran wakil direktur itu tepusat pada benda di antara kedua kaki Hasan, tiba-tiba jari Hasan mencapai titik yang membuat seluruh tubuh Haris menggeliat.

"Uugh...!"

.

.