webnovel

Crystal Pair

Sejak kecil, Liza tahu kalau dia berbeda. Liza diberkahi sepasang mata yang memiliki kemampuan aneh, yaitu melihat kristal cahaya gaib yang dimiliki oleh setiap manusia di dunia. Selama ini Liza mengira kristal cahaya itu tidak berarti apa-apa, sampai suatu ketika ia terseret dalam sebuah kejadian tak terduga. Sejak itulah Liza mendapatkan suatu fakta mencengangkan tentang kebenaran jati dirinya yang ternyata adalah seorang keturunan penyihir putih legendaris yang pernah hidup di zaman abad pertengahan bernama Adera. Konon penyihir putih legendaris itu adalah penyihir yang mampu mengendalikan tujuh cakra dalam tubuhnya untuk mengeluarkan sihir dengan fungsi tertentu. Salah satunya adalah cakra jantung, cakra yang berfungsi untuk cinta dan penyembuhan. Dan berkat kemampuan sihir yang dimilikinya, Liza mampu menyembuhkan manusia dari serangan magis dan juga menolong mereka untuk menemukan jodoh sejati hanya dengan melihat pola-pola kristal gaib yang dia lihat. Itu seperti menemukan dan menyatukan jodoh kepingan puzzle. Sampai suatu hari, Liza memiliki keinginan untuk mencari siapa pasangan jiwa menggunakan kemampuan sihirnya itu. Namun anehnya, Liza masih belum menemukannya hingga sekarang. Keberuntungan jodoh seolah tidak berpihak padanya. Alih-alih mencari pasangan, Liza malah dipertemukan terus dengan Chistone, pria misterius yang memiliki pola kristal jodoh yang tidak terbaca. Siapakah sebenarnya Christone? Bagaimana bisa kristal jodoh pria itu tidak bisa terbaca oleh Liza? Lalu apakah nanti Liza bakal menemukan jodohnya? Follow untuk info dan update cerita di : @fenlykim

Fenly_Arismaya · Fantasie
Zu wenig Bewertungen
235 Chs

Nona Tabib Hijau

'Apa aku benar tidak salah lihat? Bagaimana bisa roh Christ ada disana?'

Masih membatin dalam hatinya, Liza pun kembali menengok ke gerbang itu lagi. Memastikan kalau penghilatannya tidak salah. Namun Liza juga tetap memasang waspada, jangan sampai Christ tahu kalau ia membuka gerbang di dekatnya.

Mata merah itu. Tidak salah lagi! Siapa lelaki yang memiliki mata merah darah setajam dan semenakutkan itu kalau bukan Christ, pria pemburu gila itu?

Buru-buru Liza menundukkan badan untuk menyembunyikan diri. Agar jangan sampai pria itu melihatnya. Menunggu pintu gerbang benar-benar menutup sempurna. Baru ia menghela napas lega.

"Aku tidak bisa berlama-lama disini! Aku harus segera pergi ke Bernsberg untuk mengamankan diriku!" gumam Liza seraya memulai langkahnya keluar mulut gua.

Namun baru saja Liza menapakkan satu langkahnya keluar, mendadak terdengar suara geraman dari kejauhan. Dan Liza pun meyakini kalau itu pasti suara hewan-hewan buas di hutan itu.

Suara mengerikan sontak membuat Liza meringis. Ingatan tentang dirinya yang hampir mati diterjang serigala itu pun kembali muncul di benaknya. Liza ingat kalau hutan ini rawan hewan buas. Yang mana selanjutnya itu mendorong Liza untuk memundurkan badannya. Kembali bersembunyi.

"Oh iya!" Sebuah ide lantas muncul dalam pikiran Liza saat melihat buku sihir di genggamannya. "Apa disini ada sihir untuk menyerang?"

Liza pun membolak-balikkan buku itu sekali lagi. Sementara manik ungunya bergerak cepat melompati tiap halaman. Berharap ada tulisan yang menjelaskan cara mengeluarkan sihir untuk menyerang. Siapa tahu dia bisa menggunakannya untuk menyerang binatang buas itu seperti di film-film.

Namun sampai halaman belakang buku, Liza tetap tidak menemukan mantra sihir yang dicarinya. Itu aneh. Liza kira buku sihir terapan ini mencakup semua sihir untuk penyerangan. Tapi sepertinya tidak demikian.

Liza kembali membuka per halaman yang menjelaskan ketujuh cakra itu dengan lebih teliti. Berikut pula fungsi-fungsinya.

Lalu dengan tanpa kesengajaan, iseng-iseng Liza membuka satu halaman yang paling tengah. Yang mana itu mengarah pada penjelasan satu cakra.

"Cakra perut. Adalah cakra energi yang memiliki fungsi menyimpan dan keluar masuk energi."

Sedikit merasa curiga dengan penjelasan cakra itu, Liza kembali melirik ke bagian tulisan tentang bacaan mantra-mantra pada cakra itu.

Baru saja Liza hendak membuka halaman mantra, tiba-tiba Liza merasakan getaran stalaktit dan stalakmit di gua itu. Walau samar, tapi itu amat menarik perhatian Liza.

Liza baru menyadari kalau getaran itu adalah sinyal pertanda ada keberadaan seseorang. Karena setelahnya terdengar langkah kaki masuk ke gua.

"Siapa?" cicit Liza lirih seraya menyembunyikan bukunya dibalik pakaian ia dikenakan.

Dan dengan takut-takut, Liza mencoba mendekat. Dia cukup penasaran, karena Liza sekilas seperti mendengar derit roda dari luar sana. Namun Liza tetap mencari jarak aman untuk memantau tanpa ketahuan.

Tampak sosok anak manusia yang berdiri di depan mulut gua. Dia terlihat mengenakan jubah kumal dan bertudung. Sepertinya dia hendak masuk ke gua.

Dan bodohnya, Liza kurang berhati-hati mengintip orang itu. Hingga bayangan Liza terlihat karena mengenai cahaya dari luar gua.

"Siapa disitu!"

Anak tiba-tiba berteriak kencang, hingga suaranya menggaung keras dan memekakkan telinga. Dan dari suaranya Liza pun tahu, kalau ternyata dia perempuan.

Awalnya Liza takut karena anak berjubah itu sepertinya galak. Apalagi dia membawa tombak juga. Tapi kemudian Liza berpikir, mungkin anak berjubah itu bisa membantunya mengantar ke Bernsbergh. Lagipula dia juga masih kecil.

Tapi aneh juga. Mengapa anak kecil perempuan bisa sampai disini? Untuk apa?

"I--ini aku." Liza beranjak dari posisi jongkoknya dan merentangkan dua tangannya--seperti mengajak berdamai. "Maaf, aku Liza. Beberapa waktu lalu aku berteduh disini."

Untuk beberapa saat anak bertudung itu terdiam. Dan tanpa bicara lagi dia melenggang masuk ke dalam gua begitu dengan setengah berlari. Mengabaikan perkenalan Liza.

Liza ingin mengikuti anak itu. Tapi entah bagaimana tiba-tiba kakinya tidak bisa digerakkan.

Dan betapa terkejutnya Liza saat tahu kalau ternyata kedua kakinya terjerat oleh tumbuhan rambat yang sangat lebat. Walau samar oleh kegelapan gua, Liza bisa melihat dan yakin kalau itu yang membelit kakinya adalah jenis tumbuhan rambat.

Yang mengherankan lagi, tumbuhan itu bukan tipe sulur. Melainkan tipe berkayu. Maka tidak heran kalau kaki Liza kesakitan. Karena tumbuhan itu cukup kokoh memerangkap kakinya.

'Aku sangat yakin kalau tadi aku tidak menginjak tumbuhan apapun. Dan mustahil juga ada tumbuhan sulur seperti ini di gua!' Liza membatin curiga sembari berusaha melepaskan kakinya dari perangkap tumbuhan itu.

Walau agak kesusahan, Liza berhasil melepaskan tanaman itu. Tentu dengan bantuan bebatuan disana. Memotong tanaman itu satu persatu tiap helainya.

Dan bertepatan dengan itu pula, anak kecil itu muncul dari dalam gua. Membawa karung kecil yang sudah terisi penuh itu di punggungnya. Berjalan melewati Liza dengan angkuh.

Sekilas Liza melihat sorot mata anak itu yang sangat tidak bersahabat. Juga Liza bisa melihat sorot mata anak itu seperti memancarkan kilat cahaya. Dan entah salah lihat atau tidak, sepertinya kilat cahaya itu berwarna hijau atau biru? Entahlah Liza kurang yakin.

"Tunggu! Biarkan aku menumpang ke Bernsberg!" pinta Liza seraya mengejar anak itu.

Sampai ke bibir gua pun, anak itu tetap tidak berhenti. Malah semakin mempercepat laju langkahnya. Astaga!

Dari niat ingin mengejar anak itu, tapi tubuh Liza terjatuh. Lagi-lagi tersandung oleh satu tanaman yang tiba-tiba bisa muncul dengan sendirinya.

BRUK!

'Ah, tubuhku seperti lemas sekali.' Batin Liza sembari meringis dan berusaha bangkit.

Dan seketika itu Liza baru ingat. Sudah lama dia tidak makan dan minum semenjak kabur. Kini tubuhnya telah mencapai batas. Seketika itulah kesadarannya mulai terenggut. Liza pun jatuh pingsan.

Sempat sebelum kesadarannya hilang, Liza mendengar satu suara lain tak jauh dari sana.

"Siapa dia, Nona? Cepat kita bawa dia!"

**

Pagi itu Liza terbangun dari tidurnya lantaran panca rungunya sedikit terusik dengan kegaduhan yang sayup-sayup terdengar.

Begitu membuka mata, Liza dikejutkan oleh pemandangan yang asing, berupa pemandangan atap rumah yang mengerucut. Itu aneh.

Juga pemandangan sekeliling tempat Liza berbaring juga sangat unik. Seperti berada di rumah kerucut yang kecil, namun hangat dan nyaman di dalam sini. Dan kalau dilihat lagi, sepertinya dinding rumah ini terbuat dari kain tebal berwarna coklat kehijauan. Dengan sedikit hiasan motif sana sini di dinding kain rumah itu.

Saat Liza hendak bangkit, mendadak Liza dikejutkan oleh kemunculan seseorang yang baru masuk ke rumah kerucut itu. Dia masuk melalui pintu sekat yang ternyata juga terbuat dari kain.

"Kau sudah sadar?"

Seorang lelaki muda itu menyapa Liza dengan ramah. Ia datang membawa satu kotak, yang jika Liza bisa menebak itu adalah kotak berisi obat-obatan. Tercium dari aromanya cukup kuat, sampai Liza bisa menciumnya.

Lelaki itu cukup tampan juga. Perawakan dan ciri-cirinya hampir mirip pengawal Christ yang pernah Liza temui. Namun wajah jelas berbeda. Dia juga memiliki freckless di pipi dan berambut ginger. Dan dari gaya berpakaiannya mirip dengan gaya busana penduduk Bernsberg yang biasa mengenakan jubah tebal dan berbulu. Apa jangan-jangan ... Liza sudah ada di Benrsberg?

Liza menjawab dengan satu anggukan. "Terimakasih sudah menolongku. Kalau aku boleh tahu, sekarang dimana ini?"

"Kita ada di Agathi." kata lelaki itu seraya meletakkan kotak itu ke satu meja kecil di dekat tempat tidur Liza. Lalu menarik satu dua botol obat itu sambil membaca keterangannya satu persatu.

"Agathi?" tanya Eve keheranan. Dia belum pernah familiar dengan nama tempat itu.

"Wah." Pria itu menoleh sekilas. Memasang senyum. "Sepertinya kau benar-benar tersesat ya?"

Liza tergagap. "A--Aku ..."

Pria itu tertawa lagi. "Kalau kau ingin berterimakasih, maka sebaiknya kau menemui Nona tabib hijau kami. Tapi tentunya, setelah kau meminum obat ini dulu." katanya seraya mengarahkan dua botol obat pada Liza.

"Nona tabib ... hijau?"

Liza tidak salah dengar, kan? Mengapa nama julukannya aneh sekali? Nama tabib itu kan biasanya digunakan untuk seorang dokter di jaman dulu. Yang benar saja?

"Ya," katanya dengan nada maklum. "Anak kecil yang kau jumpai saat di gua itu adalah tabib cilik kami. Dia adalah anak yang diberkahi kekuatan luar biasa dari Tuhan untuk menyembuhkan orang-orang. Kami sering memanggilnya nona tabib hijau, karena bola matanya yang unik berwarna hijau."

**

To be continued.