webnovel

Prolog

Suasana malam itu sedikit mencekam dengan napas yang tersengal satu-satu pasca teriak yang sempat dipekikkan.

Aish, kalimat awal yang buruk. Reload. Ada-ada saja isi kepala Aurora di saat dia tadi sedang kesal tiba-tiba malah terlintas di kepalanya kalau adegan yang baru saja terjadi, dideskripsikan dalam sebuah novel. Malam mencekam? Napas tersenggal? Kenapa jadi berasa cerita horror?

Aurora terkikik sendiri.

"Kenapa kamu ketawa, Dek?"

"Hehe... udah ah, aku capek debat sama Bunda. Udah tua kok ngotot."

"Kak, anakmu ngatain aku tua," kata Bunda dengan pandangan memelas menghadap ke arah Ayah. Ayah hanya mengulas senyum dan mengangguk ringan. Mencak-mencaklah bundanya Aurora.

"Udah tua, tukang ngadu pu... la," tukas Aurora lagi dan seketika meringis karena bundanya mendelik.

"Dek, udah. Kan kita tadi lagi bahas Masmu, kenapa malah ribut sama Bunda?"

"Abis Bunda ngotot banget, Yah."

"Dek...."

"Nggak Bunda, pokoknya aku nggak mau kalau Mas pindah. Kalau Mas pindah, aku juga mau pindah!"

"Ke Finlandia? Oh, bagus. Serius kamu mau? Bunda bisa sekalian S3 di sana sambil ngawasin kalian."

"Bunda, nanti Ayah sama siapa?" tanya ayah tampak tak terima.

"Hehehe... ya Ayah ikut sekalian."

Ayah geleng-geleng frustrasi, "Udah ah, makin ngaco ini nanti. Serius sedikitlah, itu kasihan si Mas," ujar Ayah lagi. Lalu Ayah, Bunda dan Aurora menoleh pada Antariksa yang masih bergeming. Pandangannya lurus ke depan saja.

Ini orang lagi dibela malah nggak ada usahanya sama sekali, batin Aurora frustrasi betul sama kakaknya itu.

"Kalau Anta dipaksa pindah, aku juga pindah!"

"Dek...."

"Iya, Mas Anta maksudnya."

"Halah, kamu kok minta pindah. Kena salju bentar aja langsung pilek," cibir Bunda.

"Siapa bilang aku mau ikut Mas ke Finlandia. Ya aku pindah lagi ke Yogya. Ikut Eyang. Kalau nggak aku ke Makassar nyusulin Kak Adel."

"Trus Bunda di rumah sama siapa? Kan kamu dipulangin biar Bunda ada temennya kalau masmu jadi pindah."

Ribet sekali keluarga Aurora ini. Urusan sekolah saja dari setengah tahun yang lalu tak kelar-kelar dibahas.

"Bunda, aku udah ngalah ya kelas IX aku pindah ke sini. Tapi bukan buat ngizinin mas pindah. Aku mau nanti satu SMA sama si Mas. Bun, kalau nggak diawasin, si Mas ini berbahaya. Bisa digondol orang. Lihat aja mukanya itu craving son in law banget. Masa SMA itu keras, Bunda."

"Sok banget sih kamu Dek, trus kamu gitu yang mau jagain masmu?"

"Oh jelas...."

"Jadi gimana Mas, kamu mau di sini apa ke Finlandia?" tanya Ayah akhirnya. Sepertinya Ayah sudah lelah melihat anak dan istrinya berdebat tak karuan.

"Mas terserah Ayah sama Bunda aja," lirih Antariksa. Akhirnya yang jadi subjek pembicaraan angkat bicara juga.

"An... MAS!" jerit Aurora.

"Apasih kamu Dek kok teriak-teriak gitu?"

"Lo kenapa melempem gini sih Mas? Lo bilang dong kalau lo emang nggak mau ke sana. Lo mau di sini kan? Gue tau. Lo juga berhak nentuin masa depan lo sendiri."

"Dek, kok kamu kesannya jadi kaya nuduh Ayah sama Bunda maksa Masmu sih?" tanya Bunda tampak tak terima.

"Bukan gitu, Bun, aku sebel aja sama si Mas. Aku tahu dia punya keinginan sendiri. Entah dia mau menjalankan perintah agama apa gimana, pas Bunda sama Ayah nyaranin dia SMA di Finland, dia iya-iya aja. Si Mas itu pengen masuk SMA Cakra Nusantara, Bun. Aku pernah dengar dia ngobrol sama Om Arius. Si Mas ini lebih nasionalis dari Bung Karno kalau Bunda mau tahu."

"Benar itu Mas?" tanya Ayah.

"Ayah, Bunda, Mas mau bicara di ruang kerja Ayah aja. Tanpa Adek. Bisa?"

"Ihhhhh...." Aurora geregetan tak karuan pada Antariksa.

"Udah, kamu tidur sana. Seminggu lagi masuk kelas IX SMP kamu ini. Katanya SMA mau masuk akselerasi biar bisa lulus bareng si Mas. Belajar yang bener. Jangan kerjaannya gambar-gambar melulu."

"Sebeeeeeel sama Maaaaass...."

"Berisik, Dek," kata Bunda sambil menyusul Ayah dan Antariksa yang sudah masuk ke dalam rumah.

***

Tok...tok...tok

"Gue mau tidur, Ra," sahut Antariksa dari dalam kamar.

Aurora tetap membuka pintu kamar Antariksa. Dikunci!

"An buka doooooong, lo gitu banget sih sama gue."

"Gue mau tidur."

"Elah, baru juga jam 1," sahut Aurora lagi tak mau kalah.

Jam 1 dibilang 'baru'? Tak ada anak SMP sewaras Aurora.

"Gue gedor nih kalau lo nggak mau buka."

Beberapa detik masih tak ada sahutan.

"Masku yang ganteng, ayo dong buka pintunya. Gue cuma mau ngobrol kok. Bentar aja. Lo tahu kan gue nggak bakal bisa tidur kalau gue masih penasaran?"

Tiga detik kemudian....

Aurora nyengir depan pintu melihat Antariksa membuka pintunya. Aurora duduk di ranjang Antariksa dan perasaan nyaman itu segera menyergap. Entah kekuatan magis apa yang dimiliki kamar Antariksa ini, hingga bisa membuatnya sangat nyaman. Bahkan kamar ayah dan bundanya saja tak senyaman ini.

"Jadi gimana?"

"Menurut lo?"

Antariksa tak ambil pusing melihat delikan adiknya yang mendadak jadi jaksa. Dia malah merebahkan diri di kasur dan baca buku. Apa itu bukunya? Jangan coba cari tahu. Hanya akan membuatmu kesal, bagaimana mungkin anak yang baru lulus SMP membaca buku yang bahkan susah-susah dia beli di Amazon karena di Indonesia tidak ada.

Kalau Aurora bilang, Antariksa ini waras sekali. Otaknya tak dibiarkan tak maksimal.

"An, serius sedikit lah, jadinya gimana?" tanya Aurora geram.

Memandang niat tak niat, Antariksa menjawab, "SMP gue susah, belajar sana. Jangan anggap sepele."

Kenapa jadi bahas gue coba? Aurora nyeletuk, "Malah bahas gue. Lama-lama gue lelepin juga lo di Porong. Jadinya gimana ih? Malesin banget sih lo, najis sok serius."

Antariksa menggeleng dan berdecak, "Mulutnya. Gitu kok katanya diajarin tata krama sama Mbah Buyut."

"Hehehe... Masku yang ganteng, jadinya gimana? Lo nggak jadi pindah 'kan?"

"Gue bilang masih mikir-mikir."

"Udah gue duga. Ck, udah gue duga, lo bakal jawab begitu. Ya Tuhan, kenapa cobaanku begitu berat? Kenapa harus kau ciptakan manusia laknat ini menjadi kakakku? Menjadi saudara kembarku? Untung saja Engkau baik padaku, Tuhan. Tak Kau biarkan manusia bodoh ini mengambil nutrisi jatahku saat diperut ibuku. Jadinya aku tak bodoh seperti dia."

Aurora serius berdoa. Tak lupa mengangkat kedua tangannya. Entah, ucapan syukur macam apa itu. Bicara sama Tuhan kok melaknat-laknatkan manusia.

Antariksa menukas, "Ra, mulutnya. Kalau ketahuan Bunda, lo bisa nggak dikasih uang saku sebulan."

"Sebodo, gue keceplosan manggil lo Anta aja tadi duit jajan gue udah dikurangin sehari. Manggil An doang, dikurangin setengah hari. Gue nggak ngerti lagi, kenapa dunia kejam sama gue."

Antariksa melirik jam di dinding, "Lo ganggu gue. Mending lo balik kamar sana."

"Ah iya! Kok jadi gue yang curhat sih. Sekali lagi nih gue tanya, kalo lo nggak jawab, prototype pesawat lo gue obrak-abrik. Prototype kok dari kayu," tukas Aurora sambil mendecak.

"Bahannya mahal kalau mau buat yang asli. Bentar lagi, duit gue belum cukup buat beli."

"Anta masyaallah, lo kenapa geeky banget sih jadi orang? LO PIKIR GUE TERTARIK SAMA PEMBAHASAN PESAWAT LO ITU?"

Aurora sudah habis kesabaran menghadapi kakaknya yang tak pintar-pintar ini. Ralat, payah dalam memahami bahasa manusia.

Sambil menormalkan napasnya, Aurora berkata lagi, "Serius An, lo nggak perlu lah sok berjuang buat jadi anak soleh di mata Ayah. Gue yakin Ayah ngerti kok kalau lo nggak mau ambil alih perusahaan. Gue yakin Ayah juga ngerti kalau impian lo jadi insinyur, eh, bukan insinyur lagi ya sekarang namanya. Ya, pokoknya itulah."

Pasrah, Antariksa membalas lirih, "Iya, Ayah emang nggak maksa."

"Tapi apa? Tapi lo berpikir kalau bukan lo siapa lagi? Lo beneran nggak nganggep gue serius kalau gue yang bakal nerusin perusahaan warisan Kakek? Orang bodoh macam mana sih yang nolak dikasih perusahaan kapal pesiar macam begitu? Hah? Ya ... emang cuma lo ini yang bodoh."

"Lo di Yogya temenan sama siapa sih?" tanya Antariksa kesal. Tak cukup dikatakan laknat, adiknya bilang dia bodoh juga. Adiknya benar-benar sesuatu.

"Karna gue belum mulai belajar manajemen, filsafat, ekonomi bukan berarti gue nggak tertarik. Hanya belum, okay? Nanti ada saatnya gue bakal belajar itu semua. Sekarang, gue masih mau seneng-seneng. Enak aja kemaren mau liburan ke Italia aja nggak dikasih sama Bunda, eh, mana bisa nyuruh-nyuruh belajar bisnis sekarang. I am not that innocence. Nggak kaya...."

"Apalagi? Ngomong sama lo cuma bikin capek," balas Antariksa mulai jengkel.

"Kalo daritadi lo bisa diajak ngomong baik-baik juga gue bakal kalem-kalem aja."

"Gue udah jawab tadi."

"Mana? Apa? Mikir-mikir tadi? Yaelah, lo ngobrol sama bokap nyaris tiga jam, An. Pasti banyak yang diomongin 'kan?"

"Itu kesimpulannya."

"An, lo kurang berjuang banget sih buat mimpi lo. Gue tahu lo punya cita-cita mulia buat negeri ini. Cita-cita sok filosofis lo yang pengen bikin alat-alat apalah buat memudahkan pekerjaan manusia, ngatasin macet di Jakarta yang kaya mbako semprul ini. Makannya lo bertahan di sini. Lo juga berhak egois kali. Ayah juga bukan diktator kali. Kalo Ayah maksa, lo tinggal ngerengek ke Bunda juga Ayah keok."

"Udah ya Ra, tidur. Kenapa harus ribut jam segini?"

"Ya karna gue peduli sama lo. Lo ngerti nggak sih?"

"Iya, makasih."

"Makasihnya lo pake buat berjuang aja. Kembaliannya lo kasih abang gojek."

"Udah ya?"

"Lo bener-bener ya. An, gue tahu lo mau masuk Cakra Nusantara karna di sana emang sekolahnya bagus...," Aurora terdiam sebentar karena Antariksa memandangnya tak suka, oh, dia salah bicara. "Ya maksud gue, sekolahnya nyediain fasilitas laboratorium yang lengkap dan semua siswanya bebas eksplorasi tanpa dibatasi sama jam pelajaran. Makanya lo nggak mau akselerasi lagi biar lo bisa puas gabut di lab 'kan? Trus perusahaan Om Arius juga penyumbang tetap itu sekolahan, makin berjayalah lo bisa minta ini itu buat peralatan lab."

"Ra, gue ngantuk."

Aurora berdecak. Orang ini tak ada terima kasih-terima kasihnya.

"Oke, kalau lo melempem gini. Biar gue yang ngomong sama Ayah besok...," Aurora tampak berpikir sebentar, "eh nanti maksudnya. Pas sarapan. Sekarang udah setengah dua."

***

Aurora yang paling terakhir duduk di meja makan. Itu juga masih bawa bantal dan belum cuci muka dan gosok gigi. Jorok sekali anak perempuan ini, pikir bundanya.

Bunda dibantu Antariksa membawa lauk dari dapur. Tak tahan melihat kelakuan Aurora yang masih ngulet-ulet kaya uler keket, bunda mencubit pinggangnya.

"Aw... aw... aw...."

"Bangun, Aurora! Mau Bunda siram pakai air kolam ikan, kamu?"

"Iya Bunda iya."

"Cuci muka sana, Dek," tegur Ayah.

Aurora bangkit pergi ke kamar mandi. Matanya masih merem. Terimalah nasib kepentok meja dan kursi lima kali.

Sudah tak terhitung berapa kali kaki Aurora menyenggol Antariksa memberi kode untuk bicara. Ayah tak suka kalau sedang makan sambil berbicara. Tersedak bisa berbahaya katanya.

Antariksa masih tak acuh. Aurora gemas sekali dibuatnya. Laki-laki lembek bener, pikirnya.

Saat sudah selesai makan, Aurora angkat tangan.

"Apasih kamu Dek angkat-angkat tangan? Belum mandi juga, bau tau." Belum apa-apa bunda sudah sewot duluan.

"Ibu Alfa Centauri Radistya, saya mengacungkan tangan ingin berbicara dengan Bapak Auriga Bintang Septario. Kalau Ibu ingin bicara juga, silakan angkat tangan dan menunggu giliran."

"Kak, anakmu...," Bunda merajuk.

Ayah cuma geleng-geleng kepala sambil mengelap sisa air minum di mulutnya.

"Kenapa, Dek?"

"Ayah, Ara masih nggak terima kalau si Mas pindah ke luar negeri. Si Mas pengen di sini, Yah."

"Yaudah, kamu aja yang ke luar negeri."

"Ayah ih."

Ayah tersenyum, "Emang Masmu bilang apa ke kamu? Masmu nggak bilang kalau Ayah udah bayarin uang gedung Cakra Nusantara dari seminggu yang lalu?"

Aurora melongo sebentar. Dia tahu, Antariksa test diam-diam masuk SMA itu. Aurora juga tahu, kakaknya itu diterima di SMA Cakra Nusantara. Tapi, yang tidak dia tahu....

"Ayah... serius?"

"Masmu tahu, kok."

"An...."

"Apa?" tanya Antariksa tak ada muka bersalah sama sekali.

"Lo ngerjain gue."

Dia cuma mengedikkan bahu.

"ANTARIKSA SIALAN! AWAS LO YA!"

Aurora kesetanan dan mencak-mencak sampai kursinya terjengkang ke belakang. Dia tak tidur semalaman karena memikirkan metode yang tepat untuk membujuk ayahnya. Tahunya....

"AURORA ZAININA SEPTARIO! UANG JAJAN KAMU BUNDA POTONG SEBULAN!"

***