webnovel

Bab 3 | Nusapacita

Jam sudah menunjukkan pukul 23.21 dan Aurora masih sibuk dengan webtoon-nya. Sudah lebih dari enam komik offline yang dibacanya sejak setelah makan malam tadi. Dia suka kesal kalau malam sering tak bisa tidur, jangan sampai kena insomnia. Nambah masalah saja. Seakan belum cukup dia harus bangun pagi dan berangkat sekolah supaya tak kena macet.

Baru saja diletakkan, ponselnya diambil lagi dan buka webtoon lagi. Tadi, dia mendapatkan jarkom kalau besok siang harus berkumpul di basecamp Nusapacita. Pecinta alam milik SMA Cakra Nusantara. Sabtu memang tak akan masuk kelas dan belajar, tapi digunakan untuk kegiatan klub dan ekstrakurikuler. Dan Aurora hanya memilih pecinta alam sebagai pilihan wajib kedua setelah pramuka.

Ekstrakurikuler banyak sekali di SMA Cakra Nusantara. Lalu dibagi menjadi klub-klub kecil agar semakin menjurus pada minat dan bakat siswa. Aurora tak tertarik dengan klub-klub yang isinya cuma Neraka Jahanam macam Matematika, Fisika, Biologi, Bahasa Inggris, Astronomi, Ekonomi, Sosiologi, KIR dan sesuatu seperti itu. Dia mau masuk klub jurnalistik dan menggambar, tapi keduanya berbenturan dengan kumpul Nusapacita. Akhirnya setelah menimbang minat, Aurora lebih memilih Nusapacita. Itu juga sudah bagus Aurora mau ikut. Sorenya dia ikut badminton sebagai pilihan. Tak yakin juga Aurora bakal datang.

Tok tok tok...

Aurora nyaris menyemburkan tawa, dia melirik jam di ponselnya, 23.37. Rekor untuk seseorang yang berada di balik pintu karena ini waktu terlama dibandingkan dua malam sebelumnya. Aurora bangkit dan menuju pintu, dibukanya pintu tersebut dan menemukan seseorang nyengir di depannya. Aurora mendengus.

"Apa, Bunda? Makannya jangan sok deh, daritadi kan juga udah ditawarin."

"Hehe... iya nih, Bunda lemah banget ngga bisa tidur. Untung ada kamu, jadi ada yang bisa dipeluk." Bunda masih nyengir sambil garuk-garuk tengkuk. Kelakuan macam anak perawan sedang kasmaran.

Aurora tertawa geli dan membuka lebar pintu kamarnya menyuruh bunda masuk. Apa banget kan bunda bawa-bawa guling, kaya di kamar Aurora ngga ada aja.

"Si Mas masih nangis, Bun?"

"Heh? Masmu nangis?"

"Ya paling, masuk kamar, duduk di pojok tembok trus nangis."

"Hahaha Bunda suka ngerasa malu, dia yang cowok tapi lebih sensitif. Lihat berita tentang tanggap asap bisa langsung hopeless gitu wajahnya. Seriusan emang, Masmu itu sesuatu banget. Kadang Bunda suka ngeri sendiri kalau dia udah lihat berita di TV trus ada aja kelakuan negara ini, dia langsung ngambek trus belajar ngga berhenti-berhenti."

"Ngga ngerti lagi sama si Mas mah. Gitu mau jadi ilmuwan, jadi tentara ajalah."

"Jangan ah, Bunda ngga mau. Ngga boleh. Nanti pergi lama ngga pulang-pulang. Biarlah kontribusi lewat hal yang dia suka aja. Ngga perlu harus jadi tentara."

"Haha iya, lagian si mas juga ngga mungkin lolos kualifikasi. Orang bersosialisasi aja ngga bisa. Gimana bisa membangun kebersamaan korps. Yang ada kalah terus kalau disuruh perang."

"Emang masmu kalau di sekolah gimana? Bunda kalau nanya dia bilangnya baik-baik terus."

"Tahu deh, aku belum pernah ketemu si mas seminggu ini. Paling juga nongkrongnya di lab. Malesin. Aku jadi penasaran, si mas nyesel ngga ya ngga jadi ke Finland. Secara Finland nerapin eksplorasi eksakta kayak yang Mas harepin banget."

"Udah jangan dibahas, nanti masmu kesal. Ngga mungkin juga sih kayanya dia nyesel sama keputusan yang dia bikin walaupun pilihan lain sepertinya jauh lebih nguntungin buat dia. Kontemplasi banget kan masmu itu. Kalau lihat masmu, Bunda jadi inget ayah. Dia tuh mirip banget sama ayah. Kadang suka lupa waktu kalau udah dapet mainan baru."

"Ya nggapapa si mas mirip ayah. Asal aku jangan mirip Bunda."

"Ih, emang kenapa? Gitu banget ya kamu sama Bunda."

Aurora tertawa ngakak, dia peluk Bundanya dan cium pipi Bundanya cepat. "Becanda Bunda. Habisan Bunda banyak noraknya sih, kan aku lebih keren."

"Nggak apa-apa ngga keren juga, yang penting suami sama anak-anaknya keren."

"Aihhh...." Aurora tersenyum, mengingat kelakuan Bundanya, sudah hampir kepala empat tapi masih selabil anak-anak di Gemintang. "Bun, kenapa sih Ayah mau Bunda hamil lagi? Emang aku sama si mas kurang ngerepotin apa? Ya aku ngga nolak sih kalau punya adik baru, asal duit jajanku ngga dipotong-potong. Lagian, ayah kan sibuk, nanti kasian si adik kalau jarang digendong ayah."

"Itumah bisanya ayahmu doang buat godain Bunda. Kata ayah, Bunda belum bikin ayah jadi lelaki sejati kalau belum nemenin Bunda di ruang bersalin. Dulu memperjuangkan kalian waktu lahiran Bunda milih ditemani eyang."

"Aihhhh, kenapa emangnya?"

"Hahaha habis Bunda males, perawat sama dokternya jadi salah tingkah semua waktu ayah pertama kali masuk ruangan. Nanti salah-salah lagi mereka proses lahirannya. Yaudah biar pada waras, Bunda suruh ayah keluar aja. Ayahmu ngomel-ngomel ngga berhenti-berhenti hahaha."

"Serius? Ya ampun, ayah gue pesonanya emang tak ada tandingannya. Whoaaa...," Aurora menyambung lagi, "Bun, pernah ngga sih Bunda sebel sama Ayah?"

"Sering," jawab Bundanya singkat dan meyakinkan.

Kening Aurora mengkerut, tak pernah dia lihat bunda dan ayahnya bertengkar. Adu mulut saja jarang. Paling cuma bunda yang ngomel-ngomel dikit kalau ayah udah kelamaan di ruang kerja. "Serius? Kenapa?" Aurora heran, dia tak pernah kesal pada Ayahnya.

"Suka kesal kok jadi orang keren banget, pinter banget. Manusiawi sedikit kenapa."

"Trus Ayah bilang apa?"

"Cuma senyum. Bikin Bunda makin kesel."

"Ayah pernah kesal sama Bunda?" tanya Aurora penasaran.

"Katanya ngga pernah."

"Serius tuh? Wah, kok bisa? Kok aku sering ya," Aurora sangsi sendiri, dia sering kesal sama Bundanya. Apalagi kalau bukan urusan apa-apa potong uang jajan.

"Kok bisa apanya? Kamu sering kesal sama Bunda? Iya?" Bundanya sudah pasang tanduk, tapi milih melanjutkan bicaranya, "kata ayah, Bunda nyenengin, 'kan bikin Bunda makin kesal aja."

Aurora meringis, bahaya kalau salah ngomong. Uang jajan taruhannya. Bulan ini duitnya makin menipis. "Kok Bunda kesal terus sih?" cari aman, Aurora tak menyindir bundanya lagi.

Bunda menjawab lagi setelah terdiam beberapa detik, "Habis ayah ngga pernah nuntut macam-macam."

Bunda kesal karena ayah tak pernah menuntut macam-macam? Orang aneh macam apa bundanya ini? Aurora menjawab lagi, "Emang Bunda pernah nuntut macem-macem?"

"Sering," tandas bunda tanpa pikir panjang.

"Trus ayah gimana?" Aurora makin tertarik dengan pembahasan tentang ayahnya ini.

Bunda menjawab lagi, sambil mengerutkan kening, "Senyum sambil bilang iya."

Ayahnya baik sekali. Bagi ayah yang nyaris sempurna, Aurora yakin saja kalau ayah mampu memenuhi apapun keinginan bunda. Tapi tanpa balik menuntut? "Kok Ayah baik?"

"Itulah, bikin Bunda makin kesel."

"Apadeh Bunda kesel terus," Aurora tak habis pikir punya ibu baperan sekali.

"Habis, Ayahmu itu baiknya ngga ketulungan," jawab bundanya lagi tanpa pikir panjang.

"Bagus dong," balas Aurora mantap.

"Iya bikin Bunda makin kesel. Karna Bunda ngga bisa ngga makin hormat sama Ayah."

"Bagus dong," Aurora makin mantap lagi.

"Iya, kata ayah, kalau ada kita, ayah akan selalu mencoba buat menjadi yang terbaik. Karena kita makannya ayah jadi keren begitu. Katanya sih, tapi Bunda mah ngga percaya. Emang Ayahmu udah keren dari lahir."

Aurora langsung tersenyum selebar yang dia bisa, "Ayah manusiawi banget. Karena kita."

Bunda menjawab lagi, "Tapi Ayah suka frustrasi sendiri kalau sudah baca cerita Rasul. Bingung gimana caranya biar bisa seperti mereka."

"Tapi Ayah ngga kalah keren kan ya, Bun?" tanya Aurora dengan yakin. Aurora senang kalau membahas tentang ayahnya. Dia adalah fans nomor satu ayahnya.

"Kalah jauh lah. Bandingin kok sama mereka. Sama Pak Habibie aja, ngga kalah keren ayahmu itu."

Aurora jadi mikir, "Kalau ditanya, si mas lebih suka Habibie apa ayah ya?"

"Kalau jawab Habibie, Bunda potong uang jajannya setahun."

Aurora langsung mencibir, "Ih maksa. Orang Bunda lebih suka Habibie kan?"

"Iyalah, kalau ke ayahmu kan cinta," Bunda senyum-senyum lebay. Matanya berbinar-binar.

Aurora mulas mendadak, "Tidur ah, besok sekolah."

***

Sebelum datang ke basecamp Nusapacita, Aurora dan anak kelas X lainnya menyerbu kantin setelah selesai eskul pramuka dan PMR. Masih ada 15 menit sebelum kumpul dimulai. Satu yang Aurora sukai dari sekolah ini, murid-muridnya selalu diajarkan untuk tepat waktu.

"Ara, lo yakin mau ikut Nusapacita?" tanya salah satu temannya.

"Kenapa emangnya?" tanya Aurora tanpa meninggalkan minat pada jus alpukatnya.

"Gue denger sih seleksi masuknya susah. Songong kan, kalau yang lain pada lomba-lomba nyari anggota sebanyak mungkin, lah ini malah nolak-nolak anggota. Berasa yang ikut banyak aja."

"Biar ajalah, bagus kalau gue ngga diterima. Ngga mau ikut yang lain gue," jawab Aurora lagi.

"Enak aja. Mau ngga naik kelas lo?"

"Ya habis apaan. Ribet bener dah itu. Namaya juga eskul ya harusnya please for everyone to join in."

"Kenapa lo ngga masuk klub Matematika aja, Ra? Ada yang gantengnya ngga ketulungan di sana. Dia juga ikut klub Fisika sama Astronomi. Ini makannya gue bela-belain ikut Metematika. Biar bisa lihat kakak kelas kita yang kaya jelmaan Shawn Mendes. Imut-imut ganteng perfect gitu."

Aurora jijik mendengar istilah temannya itu. Tapi yang bikin dia makin heran, temannya yang lain langsung mengangguk mengiyakan. "Lo semua ikut klub Mate?"

"Gue sih ngga suka Mate, gue masuk Fisika aja."

"Jelas dong..."

"Gue Astronomi aja, sweet ngga sih nanti kalau pengamatan bintang, gue bisa sama dia."

"Anjir, geli lo."

"Alah, gaya lo geli. Lo juga masuk Astronomi ya, Nyong."

Dan begitulah seruan-seruan temannya yang lain. Aurora tak tertarik. Sama sekali. Tapi, mau tak mau dia penasaran. Karena, teringat tiga klub itu, perasaannya jadi tak enak. "Emang siapa sih?"

"Lo ngga denger dari seminggu ini anak-anak pada heboh ngomongin kakak kelas kita ini?"

Aurora menggeleng, dia tak terlalu antusias dengan gossiping girl. Aurora merasa banyak dosa, kalau bisa jangan nambah. Tapi, dia memang lihat teman-teman ceweknya heboh. Hanya tak tahu menghebohkan apa.

"Lo harus liat, Ra. Dia ganteng banget. Gantengnya seksi ngga nguatin."

"Oke stop. Lo bikin gue pengen muntahin jus alpukat gue yang belum juga nyampe usus dua belas jari. Just gimme a name," tandas Aurora.

"Antariksa Zaidan Septario."

Sudah Aurora duga, dan dia langsung bangkit dari duduknya dan pergi dari hadapan teman-temannya. Mirip Shawn Mendes tadi katanya? Enak aja! Abangnya limit tak terhingga lebih ganteng.

"Ra...."

"...woy, Ra!"

"Ra, mau kemana lo? Ara!"

"Ara, awas lo ya kalau nyuri start."

Dan seruan-seruan yang lain semakin lirih di pendengaran Aurora. Dia harus bicara sama kakaknya itu, jangan sampai ada yang tahu mereka saudara. Aurora tak mau jadi kurir cinta dadakan.

***

Aurora terlambat sebentar karena mencari-cari Antariksa. Tak dia temukan dimanapun. Tadi dia sudah tanya-tanya laboratorium yang mungkin didatangi Antariksa. Juga ke perpustakaan. Tapi tak ada. Karena jengah digoda-goda, Aurora tak jadi masuk ke area kelas XI lebih jauh. Padahal masih ada beberapa lab yang belum dia datangi. Nanti lagilah pikirnya.

Buru-buru dia ke basecamp Nusapacita yang ada di bagian belakang sekolah dekat taman. Langkahnya dia percepat karena sudah mendengar banyak rumor tentang ketatnya aturan di Nusapacita. Mungkin bisa dinego karena dia anggota baru.

Baru saja mau berbelok ke arah kantin, Aurora melihat pemandangan yang membuat matanya benar-benar tak berkedip. Juga mulutnya yang ternganga dan tubuhnya kaku. Dia tajamkan pengelihatan dan memastikan bahwa dua orang itu adalah orang yang dia kenal, setidaknya salah satunya. Satu yang lainnya hanya sekedar tahu nama.

Antariksa sedang berdiri menyandarkan sisi kiri tubuhnya di tembok dan di depannya seorang wanita menempelkan pucuk kepalanya di dada kakaknya itu. Cewek itu menunduk, tapi dari samping Aurora bisa melihat pemandangan itu dengan jelas. Bagaimana kakaknya yang tak bergerak sedikitpun dan mendongakkan kepalanya ke atas tampak tak peduli pada cewek yang kemungkinan besar sedang menangis itu. Di dadanya.

Aurora tak suka melihat pemandangan itu. Tambah satu lagi alasan dia harus segera bicara pada Antariksa.

***

"... santer banget ya berita tentang lo. Ngapain lo mau masuk Pacita? Cari tenar? Harusnya lo masuk eskul cheerleader atau teater sana!"

Ya Tuhan, Aurora mendadak sedih. Kabar tentang dirinya yang tukang bikin onar dan tukang cari tenar sepertinya sudah tersebar dimanapun. Dia tak menyangka tingkah isengnya waktu MOS dulu bisa sampai seperti ini.

Walau tak suka dipermalukan, Aurora mengaku salah juga kalau begini. Apa banget sekolah seperti ini. Sukanya membesar-besarkan masalah.

Aurora hanya menunduk saat seorang seniornya memarahinya karena terlambat 7 menit. Cuma 7 menit! Forget it, this is the superior school with somebody who dreams million earn in every secs.

"Lo ngga mau bikin pembelaan? Lo terima gue omelin kaya gini? Takut lo sama gue?" teriak senior itu lagi yang bikin Aurora ingin mengusap kuping karena bulu-bulu halusnya bergetar semua.

"Engga, Kak. Saya salah, Kak," jawab Aurora pada akhirnya.

Sejujurnya dia bingung, kenapa mendadak mood-nya hilang setelah melihat Antariksa dengan Alyn tadi. Jadi dia tak bisa membalas omelan itu dengan candaan seperti biasanya. Padahal itu hak kakaknya kalau memang ada hubungan dengan wanita manapun. Tapi Aurora merasa, ada yang salah dengan Alyn ini. Dia harus segera cari tahu. Oh, setelah drama Pacita ini selesai. Elah!

Bahu Aurora tiba-tiba ditepuk. Aurora mendongak dan senior yang suaranya nyelit di kuping itu memasang senyum lebarnya. Bukan, tawa tertahannya. "Hehe sorry gue becanda tadi."

Grrrr....

Langsung terdengar kasak-kusuk dari teman-teman seangkatan Aurora. Mungkin mereka ngeri juga, belum-belum sudah disuguhi adegan pembantaian verbal.

Aurora tampangnya sudah tak tertolong, cengo. "Gue Ibeth, sorry ya ngga bermaksud ngomelin lo tadi. Gue cuma disuruh. Lagian, biar seru juga."

BIAR SERU JUGA?!

Aurora cuma mengangguk dan memaksakan senyum. Tak bisa, senyumnya jatuhnya masih masam. Dia sedang dalam mood yang buruk untuk dikerjai.

"Nama lo siapa tadi?"

"A... Aurora, Kak."

"Oke Aurora, sorry ya sekali lagi bikin lo kaget. Tenang aja, kita di sini semua santai, kok. Eskul ini isinya buat seneng-seneng aja. Jadi, tadi cuma lucu-lucuan doang."

NGGA LUCU TAPI! Batin Aurora menjerit. Satu sifat jelek Aurora, dia mudah sekali terpancing emosinya. Emosi ya, bukan hanya rasa marah. Malu, merasa bersalah, sedih dan kemudian kesal. Tiga emosi kurang dari 5 menit.

"Lo jangan gitu dong mukanya. Yah kan ... Ar, kelakuan lo nih. Liat, nih anak mau nangis nih," seru Kak Ibeth pada seseorang. Aurora menundukkan wajahnya lagi, menahan geram.

"Tadi gue cuma disuruh, Dek. Serius deh ngga bohong. Sorry ya. Lo sekarang duduk aja deh. Yang bikin salah sama lo lagi mau demo panjat tebing tuh. Nanti kalo udah kelar, lo gasak aja dia."

Aurora lalu duduk bersama dengan teman-temannya. Dia tenangkan dirinya dan menarik napas panjang. Otaknya sudah menjalin ide untuk pembalasan yang sepadan ke senior yang tega-teganya membuat dia ingin tenggelam dalam tanah karena dibego-begoin depan temannya. Konteks bercanda adalah permasalahannya. Kalau saja dia tahu itu bukan bercanda, justru dia tak akan semarah ini.

Aurora mendongak saat ada aba-aba untuk melihat demo panjat tebing di depannya. Dia memandang punggung seorang cowok yang sedang naik pada hold and crack dengan lincah. Posisi kaki yang mantap memperlihatkan dengan jelas kalau dia sudah sangat ahli. Tubuh yang dibalut harness full body dan helmet itu bergerak lincah mengikuti arahan belayer.

Seruan-seruan tertahan dari teman Aurora mau tak mau membuat Aurora ikut terkagum juga dengan skill orang itu. Terlebih ada yang membuat otak Aurora agak korslet. Itu ... melihat lengan kokoh dari bawah membuat napas Aurora tertahan. Tak menyangka ada seniornya dengan penampakan sekeren itu. Tubuh yang dibalut singlet hitam itu semakin getas bergerak mempraktekkan teknik panjat tebing. Yang Aurora dengar tadi hanya outside edge, jamming, drop knee, twistlock dan sisanya suara belayer terhembus angin. Karena Aurora sudah fokus sepenuhnya pada orang yang begitu pintarnya mendistraksi otak Aurora untuk memperhatikan lengan-lengan yang membentuk massa otot dengan sempurna.

"Falling..."

Aba-aba terakhir dari belayer dan orang itu menjatuhkan diri dan tubuhnya melayang di udara ditahan dengan tali karmentel. Semua yang di sana langsung berseru takjub.

"Beri tepuk tangan untuk Ketua Nusapacita kita, Arlo Vidar Dewangga."

Orang tersebut membalikkan badannya dan menuai tepuk tangan riuh. Menyisakan Aurora yang menyesal setengah mati sempat terkagum-kagum.

Ingatkan Aurora sama rasa kesalnya tadi, perasaan ingin menggasaknya tadi.

***