webnovel

Citra Dan Cerita

Amanda Citra Sofia, atau kerap di sapa Citra. Gadis berusia 18 tahun yang terpaksa menikah muda dengan kekasihnya yang bernama Satria Wijaya. Karna suatu hal pernikahan muda tak bisa terelakkan. Citra terpaksa mengubur dalam-dalam mimpinya, dan memilih hidup berumah tangga dengan suaminya yang juga sangat mencintai. Dan dari sini kehidupan baru Citra di mulai, awal dari pernikahan itu memang kehidupan mereka tampak bahagia dan baik-baik saja. Namun semakin lama, perubaham sikap sang suami terlihat nyata. Alih-alih hidup bahagia tapi Citra malah mengalami penderitaan dan KDR. Suaminya yang dulu sangat menyayanginya berubah menjadi kasar dan semena-mena, hal itu karna di ketahui suaminya mengalami gangguan jiwa. Lalu sanggupkah Citra mempertahankan rumah tangganya? Note: Cerita ini di angkat dari kisah nyata.

Eva_Fingers · Teenager
Zu wenig Bewertungen
4 Chs

Rencana Perjodohan

Setelah Security melerai pertengkaran mereka, akhirnya Putri yang di seret keluar, sementara Citra masih berada di dalam menunggu Satria.

Citra tidak turut di seret keluar karna ibu dari Satria yang membelanya.

 

"Terima kasih ya, Nak Citra. Karna Nak Citra, sudah mau menjaga Satria. Kalau gak ada, Nak Citra, di sini, Ibu tidak tahu apa jadinya."

"Iya, Bu. Lagi pula itu sudah menjadi kewajiban saya. Saya dan Satria itu sudah resmi berpacaran yang artinya kami saling mencintai, dan tentu saya tidak akan tega melihat Satria seperti ini sendirian," tutur citra yang memberitahu kepada ibunya Satria.

 Dan Bu Ningrum atau ibu dari Satria sangat bahagia mendengar ucapan Citra itu.

"Nak, apa kamu mau menjadi Istrinya, Satria?" tanya Bu Ningrum secara terang-terangan.

Citra mendadak mematung, karna ucapan Bu Ningrum itu sangatlah tiba-tiba dan terdengar mengagetkan.

"Loh, kenapa diam? sekali lagi Ibu bertanya, apa kamu mau menjadi menantu Ibu?" tanya Bu Ningrum lagi.

 

Tapi tatapan kosong dengan pikiran yang masih terombang-ambing terlihat jelas di wajah Citra. Karna Citra belum bisa menentukan Jawabannya sekarang.

Dia mamang sangat mencintai Satria, tapi kalau untuk menikah saat ini juga, agaknya sangatlah cepat.

Sementara Citra masih ingin menggapai cita-citanya, begitu pula dengan Satria, dia sudah berencana melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.

"Bu. Saya bukannya tidak mau menikah dengan Satria, tapi saya ini masih terlalu muda, usia saya baru menginjak 18 tahun, saya masih ingin melanjutkan sekolah saya,"

"Ibu tahu soal itu, tapi bagaimana dengan keadaan anak Ibu, dia terlihat sangat mencintaimu, dan sepertinya dia tidak dapat jauh-jauh dari kamu,"

"Huuuffft ...." Citra menghela nafas panjang-panjang.

"Beri waktu saya untuk berpikir ya, Bu." Tukas Citra.

Lalu Bu Ningrum pun mengangguk seraya tersenyum.

Seperti ada setitik harapan baginya.

Bu Ningrum berharap setelah ini, Citra akan luluh hatinya dan benar-benar akan mau menjadi menantunya.

Karna mungkin dengan cara itu, keadaan Satria akan kembali membaik, karna adanya Citra yang selalu ada di sampingnya.

 

Sejak kecil serangan panik selalu mengganggu Satria, entah apa sebabnya sampai saat ini belum di ketahui, dia akan merasa ketakutan dan gelisah karna memikirkan sesuatu. Bahkan tentang hal yang kecil sekalipun.

Oleh karna hal itu, Bu Ningrum berpikir jika Citra mau menjadi istrinya Satria, Satria akan sembuh karna teralihkan dengan kebahagiaan-kebahagiaan berada di samping Citra.

 

***

Sepulangnya ke rumah, Citra masih terus memikirkan apa yang telah diucapkan oleh Bu Ningrum tadi.

Kalau di lihat dari kondisi Satria, dia memang sangat membutuhkan dirinya.

Tapi ini soal menikah, hidup berumah tangga. Tentu ini bukanlah perkara yang mudah.

Dia harus memikirkannya matang-matang.

Sambil merebahkan diri di atas kasur, Citra memikirkan hal itu. Berharap ke ajaibkan datang dan membuat Satria kembali normal lagi.

 

Tapi tepat saat itu juga, ponsel dalam sakunya mulai bergetar.

Drrtt....

Citra pun langsung mengangkatnya, dan ternyata itu adalah Bu Ningrum.

"Hallo, ada apa, Bu?" tanya Citra.

"Nak, Citra, Satria  kembali mengamuk, badannya juga ganas sekali, dia mencari-cari Nak Citra, apa Nak Citra bisa datang kemari?" tanya Bu Ningrum.

"Hah! tapi ... ini sudah malam, Bu. Saya tidak berani datang ke sana sendirian, Ayah saya juga tidak ada di rumah, bagaimana ini?"

"Tenang, saya akan menyuruh sepupu saya agar menjemput, Nak Citra." Jawab ibunya Satria.

 

Akhirnya malam itu juga Citra bertolak ke rumah sakit untuk menjaga Satria.

Dan saat berada di rumah sakit, sepanjang malam, Satria yang masih terbaring itu tetap menggenggam tangan Citra.

Sama sekali Satria tidak mau di tinggal oleh Citra.

Sesekali dalam tidurnya Satria juga mengigau dan menyebut nama Citra.

Dalam perasaan Citra, ada rasa bahagia bercampur rasa khawatir.

Dia bahagia, ternyata sebegitu besarnya cinta Satria kepadanya.

Tapi di sisi lain. Ke-khawatiran dan pertanyaan, bagaimana kalau sampai Satria benar-benar mengajaknya menikah saat ini juga, terus menggelayut dan menjadi bebannya.

Karna sejujurnya dia benar-benar belum siap.

 

"Satria, kamu cepet sembuh dong, aku, 'kan sudah ada di sini," ucap Citra yang mencoba mengajak bicara Satria.

"Tapi Satria enggan menjawabnya, dia masih memejamkan mata.

Dalam bayangannya, ada Dino yang sedang mendekati Citra dan hendak menyakitinya.

Dan hal itu membuat Satria tak sadar langsung berteriak kencang dan terbangun.

 

"Jangan sakiti Citra!" teriaknya sambil menggenggam erat tangan Citra.

Citra pun sampai kaget, sambil mengelus dada  untuk menenangkan jantungnya yang serasa mau copot.

Entah situasi macam apa ini, Citra seperti mimpi berada di sini dan berdua saja bersama Satria dengan tingkah anehnya.

Dan perlahan Citra berkata, "Satria, aku di sini, kamu kenapa?" tanya Citra.

Satria yang masih duduk di atas kasur rumah sakit itu pun langsung menoleh kearah Citra.

Dengan nafas tersengal, dan keringat Dingin yang membasahi dahi dan sekujur tubuhnya.

Satria langsung memeluk Citra.

"Citra, jangan pergi ya, jangan pergi!" pinta Satria memohon dengan nafas tak beraturan.

"Iya, aku gak pergi, aku di sini," jawab Citra dengan sabar.

Dan pelukan Satria semakin kencang saja.

 ***

Satu hari setelah kejadian itu, Satria pun keluar dari rumah sakit.

Tapi kondisi mentalnya tentu tak sebaik sebelumnya.

Karna dia menjadi aneh, sering melamun, dan bertingkah di luar nalar, seperti tiba-tiba marah.

Dan sejak saat itu serangan panik lebih sering terjadi, dan Satria tidak mau jauh-jauh dari Citra.

Citra menjadi sering ke rumah Satria. Bahkan sesekali menginap, dan sebaliknya kadang Satria yang menginap di rumah Citra.

Mereka seolah tidak dapat terpisahkan, dan hal itu tentu tidak baik di pandang lingkungan, apalagi mereka tinggal di sebuah perkampungan yang tentunya masih penuh dengan kearifan lokal.

 

Meski Satria dan Citra tidak melakukan apa pun dan tidak pernah tidur dalam satu ranjang, tapi tetaplah kabar tidak enak terus menerpa mereka berdua.

Karna tidak sepantasnya seorang lelaki dan perempuan menginap dalam satu rumah.

 

Tapi Citra tak bisa berbuat apa-apa, karna dia sangat mencintai Satria. Sehingga dia tidak mau membuat Satria bersedih karna jauh darinya.

 

Dan akhirnya orang tua Satria mulai merundingkan hubungan Citra dan Satria.

Mereka berencana untuk melamar Citra.

Tapi tentu saja orang tua Citra tak bisa menerima begitu saja, karna usia mereka  yang terbilang masih sangat muda.

Citra kala itu baru saja menginjak usia 18 tahun sementara Satria baru menginjak usia 20 tahun.

Ayah dari Citra yang bernama pak Jalal  sangat tidak setuju jika putrinya menikah muda dengan Satria.

Karna menikah baginya bukan perkara muda  beliau takut rumah tangga mereka  malah akan berantakan dan berujung cerai, apalagi saat ini kondisi Satria terlihat tidak baik.

Menikah dengan orang sehat dan waras saja terkadang masih banyak cekcok dan pertengkaran, apa lagi dengan orang yang boleh di bilang mengalami gangguan mental seperti Satria.

 

"Pak pokoknya saya tidak setuju anak saya di nikahkan dengan anak, Bapak. Kalau memang Bapak ingin menjadikan putri saya sebagai menantu, maka tunggu setidaknya sampai dia lulus sekolah!" tegas Pak Jalal ayahnya Citra.

"Saya, mohon, Pak. Anak saya tidak bisa hidup tanpa putri, Bapak. Saya mohon izinkan anak saya menikahi putri, Bapak," mohon Pak Jono, ayah dari Satria.

 

 

 

To be continued