webnovel

Part 7

~Hanya sebuah kertas kosong yang mampu memahami rasa kesepianmu~

***

Author

"Gue duluan ya,"

"Oh, oke" gadis berambut hitam agak kecoklatan itu masih sibuk memasukkan buku-buku yang tercecer di meja ke ranselnya. Ruangan itu semakin sepi semenjak Rara meninggalkannya sendiri. Kini menyampirkan ranselnya di bahu kanan dengan tangan kiri menggenggam kunci mobil. Netra gadis itu masih menyapu setiap sudut ruangan, memastikan tak ada barangnya yang tertinggal. Ia segera membalikkan badan dan mendekati pintu.

Brakk

Baru beberapa langkah menjauh dari pintu kelasnya, gadis itu malah jatuh tersungkur dan hampir saja kepalanya terbentur pot di koridor depan kelasnya.

"Ish," Gadis itu mendecih kesal. Ia merasakan perih di sikunya. Manik abu-abunya melirik sikunya sekilas. Berdarah.

"Lo jalan gak bisa bener ya?" Suara yang begitu gadis itu kenal. Ia langsung memalingkan pandangannya dari siku yang masih mengeluarkan darah karena terlalu keras menggores lantai yang lebih tepatnya lantai pecah.

"Lo yang jalan gak liat-liat! Pake nyalahin orang terus, " Gadis itu berdiri menatap sang iris coklat dengan tatapan tajam. Cowok itu tertawa sinis.

"Lagian kelas lo di mana, lo jalan ke mana juga. Pintu keluar juga ada di deket kelas lo. Ngapain masih lewat sini sih," Gadis itu kembali memberikan omelannya.

"Gue ya suka-suka gue dong! Repot amat sih lo, " Iris coklat itu tanpa sengaja melihat siku kanan gadis di depannya yang masih terus mengeluarkan tetes merah gelap.

"Siku lo luka, ke UKS dulu ya!"

"Gak usah! Gue mau pulang," Gadis itu segera berlalu dari hadapan sang iris coklat sambil memegangi sikunya yang masih asik mencecerkan cairan merah gelap. Ia berhenti sebentar di sisi koridor menuju parkiran untuk membasuh lukanya.

"Curut!" Panggilan itu membuat sang netra abu-abu mendesah kesal.

"Apa lagi sih?"

"Oh yaudah kalo gak mau pulang" katanya sambil memainkan sebuah kunci mobil dengan gantungan kepala robot.

"Ih lo. Mana!" rampas gadis itu dan segera berlalu.

Sepasang mata sedang menatap apa yang baru saja terjadi. Satu sudut bibirnya terangkat dengan tangan mengepal.

***

"Lama banget sih. Gue sampe lumutan nungguin lo,"

"Lebay ah lu, udah ayok!" ajaknya. Tapi gadis di hadapannya malah menatap bingung sesuatu yang berada di belakang Ero, membuat sang pemilik netra abu-abu mengernyitkan dahinya.

"Liat apaan sih? "

"Itu, yang ngasi bunga sama coklat ke lo nyamperin tuh," katanya santai tanpa menyadari sedikit pun kata-kata itu berhasil membuat sesuatu di dalam sana milik gadis mungil itu berdetak tak normal. Ia mengedarkan pandangannya ke sekitar mobil merah miliknya. Oke, netranya tak menemukan motor sport hitam yang biasa cowok itu bawa. Mungkin saja Indah sedang berbohong.

"Hai," Suara itu membuat gadis yang masih sibuk mencari motor hitam itu tersentak dan membalikkan tubuhnya.

Keindahan dunia sekarang berada di depan matanya. Ia menahan napasnya berusaha membuat detak jantungnya kembali normal.

Gila! Gue gak mimpi kan?

"Hai. Iya Kak, kenapa?" Gadis rambut hitam itu mencoba terlihat biasa saja. Ia pasti bisa melalukan hal itu lagi, seperti saat manik hitam itu menemaninya di saat hujan turun.

"Lo pulang bareng sapa?"

"Hem. Indah. Kenapa? "

"Indah, lo bisa bawa mobil, kan?" Tanyanya yang hanya dijawab anggukan oleh lawan bicaranya.

"Lo bawa mobil Ero ya, gue yang mau anterin Ero balik,"

"Hah? " Kutuklah Ero yang mulai tidak bisa mengontrol emosinya.

"Kenapa? Kamu gak ada janji kan? "

"Hem? Nggak kok nggak ada," jawabnya dengan senyum dan saat itu pula kunci mobil dengan gantungan kepala robot berpindah tangan.

"Lo gak biasa naik motor ya?" tanya pemilik manik hitam itu saat melihat gadis yang ia ajak pulang sedang kesusahan menaiki motor.

"He? Nggak lah. Kan gue yang sering dibonceng sama Lorenzo," jawabnya dengan cengiran konyol saat sudah duduk di boncengan motor Gamma.

"Lo suka sama Lorenzo?" tanyanya di tengah perjalanan.

"Bukan suka tapi mengidolakan," koreksi Ero.

Gamma hanya mengganggukan kepalanya, memilih fokus pada jalan.

"Loh, mau kemana? Kok belok? Kan gue gak bilang belok," protes gadis yang sekarang sudah melupakan debaran itu, ia mulai berhasil menguasai dirinya lagi.

"Ke kedai es krim bentar ya," ajakan dan suara itu berhasil membuat sang netra abu-abu menarik kedua sudut bibirnya. Ia membiarkan semilir angin menyapu lembut wajahnya membuat rambutnya yang diikat mulai berantakan, anak rambut miliknya mulai keluar namun semakin menambah wajah imut gadis itu.

"Lo suka es krim rasa apa? " tanya pemilik manik hitam itu saat mendudukkan diri di tempat yang ia rasa cocok untuk bersama sang netra abu-abu, dekat jendela.

"Semua es krim juga gue suka,"

Cowok itu tertawa dan mengatakan pesanannya pada pelayan.

"Tadi, kenapa lo suka sama Lorenzo? Eh, mengidolakan" tanya pemilik manik hitam itu saat melihat punggung pelayan tadi semakin menjauh.

"Gue suka sama gaya balapnya. Rapi banget, gak pake nurunin kaki, terus dia itu kalo nikung keseringan lewat jalur luar, terus dia itu skillnya bagus, gue suka. Terus dia itu orangnya asik, ke penggemarmya juga gitu. Banyak dah pokonya," ocehannya malah membuat cowok di hadapannya mengulum bibir menahan senyum.

"Kenapa ketawa?" tanya gadis itu menaikkan sebelah alisnya.

"Nggak, lucu aja. Jarang aja gue nemuin cewe kayak lo. Suka balapan, suka sama robot juga kan? "

"Iya. Eh Kakak kenapa gak ikut lomba itu sih? Kan Kakak udah kelas 12, terakhir loh, Kak"

"Lagi gak pengen aja. Besok ya workshopnya? Lo sama siapa? "

"Hem. Sama Nata terus sama Chardi. Padahal kan gue maunya bareng Alta. Eh dia malah nyuruh bareng Chardi, mana pake ngebayarin uang pendaftaran dia segala. Kan ngeselin. Mana Chardi gak enak banget. Aaargh. Frustasi," gadis itu memasukkan sendok es krimnya dengan kasar.

"Lo lucu ya," tanpa sadar cowok itu mengembangkan senyumnya.

***

Warna dan bau ini kembali memenuhi indra milik sang hazel. Ia menghembuskan napasnya lagi. Suara decit sepatunya terdengar begitu mengesalkan bagi sang hazel.

Sang hazel mengehentikan langkahnya dan memasuki sebuah ruangan di depan sebuah taman di daerah itu. Ia mengembangkan senyumnya saat melihat mata indah milik Dina menatapnya. Ia melangkahkan kakinya mendekati wanita itu.

"Gak bawa Pelangi lagi?" tanyanya dengan dahi mengkerut. Sang hazel masih berusaha menahan senyum yang ada di bibirnya.

"Pelangi sibuk, Ma" Wanita itu mengerucutkan bibirnya, membuat sang hazel menghela napas panjang. Tangannya bergerak membelai rambut wanita yang telah melahirkannya itu.

"Kalo kamu gak sayang sama Mama lagi bilang," hati Nata tertohok. Ia mencoba meredam rasa sakitnya dengan tetap tersenyum dihadapan wanita itu.

"Nata sayang sama Mama. Coba Mama inget lagi, Nata gak bisa semudah itu ngelupain apa yang dilakuin Pelangi, Ma. Gak bisa!" cowok itu mulai luruh, ia tak bisa mempertahankan senyum yang ada di bibirnya.

"Bukan Pelangi, Nata. Bukan. Dia yang nolongin Mama. Pokonya Mama gak mau kamu bareng cewek lain selain Pelangi," wanita itu membalikkan tubuhnya memunggungi sang hazel.

Sang hazel mengusap wajahnya dan memilih keluar dari ruangan putih itu. Ia mendudukkan dirinya di sebuah kursi yang berjajar rapi di sepanjang koridor. Ia menenggelamkan wajahnya di kedua telapak tangannya.

"Kenapa semua jadi kek gini? Gue capek. Gue capek! Mama, Papa udah kek gini. Dan sekarang, gue harus ngerelain perasaan gue? Kenapa? Kenapa harus Pelangi? " gumamnya.

***

Jadi gimana part ini?

Vomment ya:*