Riski untuk saat ini tidak tertarik sama sekali dengan yang namanya perempuan, karena alasannya hanya satu, ia merasa tidak pantas memiliki seorang pacar.
Tidak ada yang mau dengannya, sewaktu SMP juga ia jarang mengobrol dengan kaum hawa. Mengobrol paling hanya berkelompok dalam tugas. Riski juga merasa minder ketika melewati genk perempuan yang banyak, ia memilih untuk berputar arah daripada melewati perempuan. Menurutnya, ia selalu di hina ketika lewat di depannya. Padahal ia hanya lewat tanpa berbicara sedikit pun.
Yahhh, mungkin untuk saat ini Riski juga memprioritaskan masalah usaha dan sekolahnya. Ia percaya, masalah jodoh sudah ada yang mengatur.
Malam ini, bulan sedang bersinar dengan cantiknya, ditemani bintang malam yang setia berada di dekatnya. Kali ini Riski masih memikirkan keesokan hari, apakah ia bisa percaya dengan orang yang belum ia kenal? Riski takut jika ternyata Bang Budi adalah orang jahat, dan ingin menculiknya? Apalagi besok merupakan perjalanan yang jauh.
Riski terus di hantui oleh pertanyaan itu, tetapi hatinya selalu berkata untuk selalu percaya pada orang baru.
"Kak, kenapa manusia di ciptakan dari berbagai kalangan?" tiba-tiba Riski menanyakan hal itu pada Rudy. Karena menurut Riski, Rudy adalah orang yang pandai dalam hal penjelasan. Penjelasan Rudy lebih mudah di pahami daripada Joko.
"Kalo di ciptakan sama semua, bagaimana kita akan hidup? Misalnya, manusia memiliki pekerjaan yang sama, bagaimana ia bisa membeli beras kan tidak ada petani?" jelas Rudy dengan perumpamaan yang gampang agar mudah di mengerti.
Riski mengangguk, "Tetapi, kenapa ada manusia yang bisa kaya raya, dan juga sangat miskin?" tanya Riski kembali.
"Kalo masalah kaya dan miskin itu tergantung dari setiap orang. Orang yang kaya juga dulunya ia tidak punya apa-apa, karena bekerja keras ia bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Begitupun semua orang, jika kerja keras, mau terus berusaha, selalu mau menjadi lebih baik pasti kedepannya juga akan menjadi kaya." jawab Rudy dengan menatap atap rumahnya.
Lalu Riski juga ikut menatap atap, "Kalo yang miskin?"
Rudy menoleh ke arah Riski, "Ya berarti kebalikannya, dia selalu malas-malasan dan ketika mendapatkan uang selalu menghabiskannya."
"Jadi, semua orang pasti bisa kaya ya, kak? Meskipun keluarga ini?"
Deg.
Pertanyaan itu membuat Rudy sedikit bergetar, kenapa Riski menanyakan hal seperti ini?
"Iya, pasti bisa! Asalkan semua mau berusaha, lo juga belajar yang pintar di sekolah. Buat Ibu bangga." perintah Rudy canggung.
"Pasti. Lo juga ya, kuliah yang serius. Semoga ilmu yang lo dapat bisa bermanfaat, kak." tukas Riski, lalu ia ingin tidur lebih awal agar keesokan harinya bisa bangun lebih pagi, "Yaudah, gue mau tidur aja deh. Ngantuk." sambung Riski.
"Tumben, ini masih jam 8."
"Emangnya ngantuk harus nunggu malem? Kan enggak." Riski lalu pergi ke tempat tidurnya.
"Semoga saja besok bisa bangun pagi." batin Riski.
***
Keesokan harinya.
Riski bangun sangat pagi, ia sudah terjaga pukul 03.00 pagi. Udara pagi hari menang sangat dingin, membuat Riski agak sedikit malas untuk pergi bersama Budi. Tetapi, ia mengingat perkataan Rudy kemarin yang membuatnya kembali semangat.
Sastro yang melihat Riski sudah bangun, ia heran, "Kenapa sudah bangun jam segini?" tanya Sastro. Sastro memang kebiasaan bangun pagi, untuk memasak.
"A-anu, mau pergi survei sayuran. Boleh?" ijin Riski ke Sastro.
"Kemana?"
"Kemarin Riski pergi ke pasar, Ibu tau pedagang yang namanya Budi kan? Nah, aku diajak untuk survei sayuran sama dia, bu." jawab Riski.
"Oh, dia langganan emang. Yaudah, kamu hati-hati ya, jangan khawatir sama dia. Dia orang yang baik kok. Ibu sudah mengenalnya sejak SMA dulu." jelas Sastro, ia mengetahui bahwa Riski jarang bisa percaya sama orang yang baru.
"Lho? Teman SMA, bu?"
"Iyaa, mau berangkat jam berapa? Naik apa?" tanya Sastro khawatir menanyakan itu.
"Di jemput naik motor habis ini, makanya ini mau nunggu di luar rumah."
"Pakai jaket, pasti sangat dingin cuaca di pagi hari." perintah Sastro.
"Baik, bu."
Riski sangat patuh terhadap apa yang Sastro katakan, ia juga akan menuruti semua apa yang di kehendak oleh Sastro. Ia tak mau membantah, karena hanya Sastro lah yang ia miliki beserta kedua kakaknya. Riski hanya ingin menjaga keluarga kecilnya ini, tak ingin membantah dengan tujuan agar tak jadi pertikaian diantaranya.
Riski menengok jam di sebelah kanannya, dan sudah menunjukkan pukul 03.35. Ia segera keluar rumah untuk menunggu kedatangan Budi.
Riski juga semakin yakin pergi dengannya, karena beliau merupakan teman SMA Sastro. Pasti tidak akan berani macam-macam.
Tak lama Budi datang bersama motor bebeknya, lalu Budi melepaskan helmnya.
"Bang Bud.." panggil Riski yang sudah siap dan menghampiri Budi.
"Lo anaknya Sastro?" tanya Budi.
"Iya bang."
"Pantes kemarin saat lo ngasih alamat, gue inget siapa tapi lupa. Tapi saat ini sudah ingat lagi." jelas Budi dan Riski hanya mengkerutkan keningnya karena bingung.
"Berangkat sekarang bang?" tanya Riski.
"Yaudah, sekarang aja. Sampai sana biar nggak terlalu ramai, jam segini biasanya masih sepi. Jadi, enak nawar harganya, apalagi udah punya langganan."
Budi mengenakan helmnya kembali, Riski juga ikut memakai helm milik Joko.
Jalanan masih sangat sepi, cuman ada beberapa orang yang bekerja sebagai tukang sapu jalanan. Ia di jam segini sudah menyapu, karena kalo sudah agak siang pasti akan ramai jalanannya.
Riski menikmati perjalanan ini, di setengah perjalanan ia sudah melihat sekeliling yang sangat indah. Gunung yang tertutupi oleh kabut juga terlihat sangat mewah.
"Kenapa lo mau jualan sayur? Padahal di usia lo yang sekarang harusnya fokus untuk belajar." tanya Budi saat berhenti di lampu merah.
"A-anu bang. Riski mau biayain sekolah pakai usaha sendiri, dan syukur-syukur masih bisa bantu ibu." jawab Riski.
Budi tersentak kaget dengan kalimat, 'Bantu ibu', "Kemana ayahmu? Bukannya Sastro sehabis lulus dulu sudah menikah ya?"
"Ayah pergi bang, gue nggak tahu kemana. Gue kasihan liat ibu gue kerja banting tulang. Makanya gue ingin meringankan bebannya meskipun hanya sedikit." jelas Riski.
Budi sedikit trenyuh mendengar penjelasan Riski. Ia percaya pada Riski, anak seusia ini tidak mungkin berbohong, "Lo yang sabar ya. Emang hidup terkadang nggak sesuai apa yang kita inginkan. Dah, nggak usah sedih. Gue akan bantu usaha sayur lo ini, okay?" Budi memperkuat hati Riski dengan akan membantunya.
Lampu sudah berganti berwarna hijau.
"Makasih bang, sebelumnya gue juga pernah kerja bang. Tapi ikut sama orang, jualan sayur keliling miliknya. Meskipun sedikit hasilnya, tapi lumayan." jawab Riski.
"Bagus, jadi lo udah tahu nama sayuran ya?" tanya Budi di perjalanan mereka.
"Aman bang. Sekali lagi makasih banyak bang, udah mau bantu." Riski selalu mengucapkan terimakasih kepada orang yang membantunya, itu yang diajarkan oleh Sastro.