webnovel

Percakapan Di Tengah Hujan

Cuaca kali ini cukup buruk, hujan sangat lebat, beserta angin yang sangat kencang. Sore ini Riski sedang terjebak di sebuah gubuk sawah, ia sangat ketakutan dengan situasi ini. Apalagi petir juga menambahkan ketakutan Riski, Riski berada di sana karena sehabis mengantarkan sayur di sebuah desa yang sangat jauh dari lokasi rumahnya.

"Gila, kapan redanya ini?" batin Riski, dan ia terus berucal doa agar hujan yang extream ini cepat berlalu.

Riski di temani seorang bapak-bapak yang masih keliatan muda, nampaknya beliau adalah pemilik sawah di sekitar sini. Riski enggan menyapa, karena memang ia terlebih dulu tiba di gubuk itu.

Hening.

Tiba-tiba, bapak itu memanggil Riski dengan santai, "Rumahmu mana?"

"Situ pak." jawab Riski sambil tangannya menunjuk ke arah yang di sebutkan.

"Hujannya lebat banget, padahal sebelum-sebelumnya nggak hujan."

"Iya." jawab Riski seadanya. Ya begini sikap Riski jika bertemu dengan orang baru, Riski takut jika akan terjadi apa-apa di sini. Bisa saja motor dan barang berharga milik Riski di maling, bisa saja bukan?

"Kamu sekolah di mana? Ini kok bawa sayuran?" tanya bapak itu, ketika melihat motor Riski di depan gubuk.

"Mau daftar di SMK kimia, pak. Tapi ini masih nunggu pengumuman juga.." Riski menjeda ucapannya sejenak, "Oh iya, aku jualan sayur." sambungnya.

"Masih sekolah tapi udah jualan, ya?"

"Iyaa, lumayan bisa buat nambah uang jajan." jawab Riski dengan tersenyum.

Bapak itu mengkerutkan keningnya, "Kamu jualan sayurnya dimana? Di rumah atau di pasar?"

"Lewat online, pak." Riski mengambil kartu nama miliknya dan memberikan ke bapak itu.

Bapak yang bernama Waji itu menerimanya dengan baik, kemudian ia membacanya.

"Baru dengar hal yang seperti ini. Tapi, ini sangat membantu." tukasnya manggut-manggut.

"Iyaa. Memang tujuan awalnya buat ibu-ibu yang bekerja, pak. Karena mereka pasti tidak memiliki waktu untuk pergi ke pasar atau belanja sayuran, dan ide untuk ini akhirnya bisa di ciptakan."

"Udah lama jualannya?" Waji melirik Riski yang berada di sebelahnya.

"Sudah, pak. Sudah dari waktu SMP dulu, alhamdulillah." bohong Riski. Karena ia takut jika ada orang lain yang meniru idenya ini, apalagi ia baru saja memulai usaha ini. Riski takut jika ada pesaing yang bisa lebih baik darinya, Riski juga tak sembarangan berbicara mengenai konsep dan juga cara bekerjanya.

"Kamu dari SMP udah bekerja, ya. Jadi teringat jaman dulu." Waji menundukkan kepalanya tiba-tiba.

Riski yang melihat itu nampak kebingungan, ada apa dengannya? Kenapa bisa tiba-tiba tertunduk lemas begini?

"Gue dulu waktu SMP juga udah bekerja, di suruh ke sawah. Itu pun bukan sawah milik sendiri, sawah milik orang lain lalu di suruh untuk mengurusnya. Nanti masalah hasil, biasanya di bagi." Waji tiba-tiba bersuara lirih.

Riski mengangguk, mungkin masalah yang dialaminya sama seperti Riski.

"Gue bekerja karena ayah waktu itu lagi sakit yang parah dan membutuhkan biaya rumah sakit yang mahal, soalnya setiap minggu harus cuci darah. Mau tak mau, gue yang jadi bekerja untuk membayar cuci darah tersebut. Semua anggota rumah saling bantu, termasuk kakak gue pun juga ikut bekerja. Tapi, akhinya dari hasil kerja itu bisa untuk membayar cuci darah setiap minggunya. Dan gue nggak kerja di sini aja, biasanya kalo malem gue jaga toko di dekat rumah. Waktu kecil gue, sangat akrab dengan dunia orang dewasa. Nggak sama kayak anak seumuran yang bisa main dengan bebas." jelas Waji menceritakan semua masa lalunya yang sangat suram.

Riski mendengarkan itu juga ikut bersedih, ternyata ada orang yang bekerja lebih keras darinya, masalahnya lebih berat darinya. Yah terkadang memang dunia ini tidak adil, tapi ketika semua orang mengatakan dunia ini tidak adil, disana lah dunia sebenarnya adalah adil.

"Kamu yang semangat kerjanya, apapun masalahmu pasti akan tercapai, apapun tujuanmu pasti akan terpenuhi. Yang penting mah jangan menyerah aja, kamu bolah kalah, tapi jangan sampai menyerah. Karena menyerah adalah tindakan yang hina, ingat itu yaa." nasihat Waji, agar Riski bisa seperti dirinya di masa lalu yang berjibaku ke kanan dan kiri.

"Iyaa. Aku bekerja karena ayah pergi begitu aja, pak. Sama sekali nggak pulang sampai saat ini, jadi mau nggak mau harus bekerja biar bisa ngurus biaya sekolah dan juga membantu ekonomi ibu. Memang keparat dia!" Riski sangat membenci ayahnya, bahkan tak termaafkan. Riski berharap suatu saat nanti jika ia memiliki seorang anak, pasti akan menyayanginya dan tak akan pernah meninggalkannya.

Waji mengangguk paham dengan masalah Riski saat ini.

"Udah nggak papa. Memang jalannya sudah seperti itu, mau bagaimana lagi? Yang terpenting sekarang rawat ibumu saja dan kembangin usaha ini lebih kreatif dan lain-lain, nanti biar di bantu." ucap Waji menenangkan Riski yang nampak sedikit emosi.

"Makasih, pak."

"Boleh minta kartu namanya lagi? Nanti biar di sebarin di penduduk warga sini."

Riski mengangguk dan segera mengambilkan kartu nama itu.

Sebenarnya Riski tak ingin di kasihani seperti ini, tapi nampaknya dari sikap Riski yang bekerja ini membuat orang penasaran. Setidaknya dari pengalaman ini semoga banyak orang yang membantu, dan Riski tak akan lupa siapa-siapa saja orang yang ada ketika susah.

Riski melirik ke arah hujannya, ternyata hujan juga sudah semakin reda. Ini pertanda bahwa Riski di haruskan pulang dan obrolan dengan Waji akan berakhir.

"Hujannya udah reda, pak." celetuk Riski tiba-tiba.

"Mau pulang?"

Riski mengangguk, dan ia berjalan menuju arah motornya yang kehujanan beserta sedikit sayur yang tersisa.

Riski dan Waji pergi dari gubuk itu, Riski dengan motornya dan Waji yang berjalan kaki karena rumahnya memang di dekat sini saja.

Setiap bertemu dengan orang baru, Riski selalu mendapatkan pengalaman baru dari masalah yang di hadapinya. Cerita yang membuat Riski yakin, jika ia tak boleh menyerah begitu saja. Karena masih ada makanan enak yang harus di makannya, masih banyak hal yang belum ia lakukan, dan masih banyak hal yang lainnya.

Bertemu orang yang baru ternyata menyenangkan sekali, tetapi kenapa orang yang menyenangkan itu selalu yang lebih tua darinya? Kenapa orang yang seumurannya malah justru menghinanya? Berbeda sekali dengan orang tua yang selalu memberikan semangat tanpa batas. Mungkin orang yang lebih tua tak memikirkan masalah fisik, tapi lebih ke usaha dan kerja kerasnya.

Riski pulang dengan perasaan tenang di hatinya, sedikit demi sedikit ia mulai bisa terbiasa dengan hal ini. Memang hal yang menyakitkan terkadang hanya butuh waktu, waktu yang bisa membuat hati semakin tenang dan tak memikirkan kesana lagi. Waktu bisa menyembuhkan seseorang dari rasa sakit.