webnovel

Sebuah Mimpi

Anaya merasa lelah seharian ini menjaga Ayahnya. Berhari-hari di rumah sakit tanpa tidur yang nyenyak. Setiap hari dia hanya sekedar memejamkan mata di kursi samping ranjang pesakitan Ayahnya. Dan mungkin karena terlalu lelah badannya, tiba-tiba ia memejamkan mata sedikit lebih lama dari biasanya.

Rendra menggeleng kepala melihat keadaan Anaya sekarang. Meski Anaya tak pernah mempedulikannya namun Rendra selalu memperhatikan wanita itu. Ia menurunkan kedua lengannya yang sebelumnya bersedekap di depan dada. menghampiri Anaya dan menggendongnya ala bridal style menuju sofa yang cukup untuk berbaring Anaya.

Anaya hanyut ke dalam mimpinya saat merasakan tubuhnya melayang bagai terbang keatas awan. Rendra mengusap pelan rambut Anaya, merapikannya yang berantakan lalu mengusap pipinya pelan. Tersenyum menatap pujaan hatinya yang tidur bagai anak kecil. Sungguh, mungkin Rendra telah sangat mencintai gadis di depannya ini.

*****

Seorang gadis kecil yang berusia hampir sepuluh tahun berjingkrak riang saat Ayah dan Ibunya mengajak jalan-jalan ke taman hiburan. Berlari kesana kemari melihat arena permainan di sekelilingnya.

"Ayah, Ayah. Aya mau naik itu, Yah!" teriak bocah cilik itu kegirangan. Ayahnya berlarian mengejar anaknya bagai tak ada habis tenaganya.

"Aya, sayang jangan lari-lari begitu. Ayah capek, Nak. Ayahnya menggeleng melihat tingkah laku anaknya. Istrinya hanya terkikik geli di belakang suaminya. Merasa ditertawakan, Yudha melirik tak suka pada istrinya.

" Sayang, kamu jangan tertawa terus dong. Aya gak mau berhenti berlari dari tadi. Aku capek," rengek Yudha lelah. Istrinya masih terkikik.

"Dia terlalu semangat sayang. Lihat! Kita kurang sekali waktu buat Aya. Sampai-sampai kegirangan begitu anak kita," ucapnya sambil memandang senang dengan pemandangan indah di depannya. Anaknya menarik orang tuanya untuk segera ke wahana permainan.

"Aya, sayang! Pelan-pelan dong. Nanti jatuh sayang " tegur Mitha, Ibunya.

" Mama, ayo cepat aku pengin naik kuda putar ma," rengek Anaya kecil.

"Iya, sayang. Tapi gak pake lari-lari dong."

Keluarga kecil itu menghabiskan waktu liburan dengan sangat riang.

Sepulangnya dari taman hiburan mereka pulang menaiki mobil Jeep hitam milik Yudha, suami Mitha.

Namun tiba-tiba sebuah truk besar yang sedang membawa muatan melaju cepat kearah mereka.

Ciii...ciiit..ciiitt...

Terdengar mobil ban yang berdecit karena Yudha berusaha memutar setir kearah lain. Namun sayang, berusaha mengehindari Truck besar tadi, sebuah Bus besar dari belakang menabraknya.

Braaakkkk.. Braakkk...

" Aaaaaaaaaaa.... Mama...!!!"

"Aaaaaaa..!!" Anaya berteriak dalam tidurnya

"Nay, bangun! Hey, Nay!" Rendra menepuk pipi Anaya pelan berusaha membangunkan gadis itu yang seperti sedang bermimpi buruk. Anaya menggeleng dan berteriak setelahnya membuka mata lebar. Mengatur nafasnya yang tersengal. Peluh memenuhi wajahnya.

"Haaahhh... haaah." Anaya memejam matanya sembari memegang dadanya yang berdegup kencang. Aneh sungguh aneh. Kenapa Anaya mimpi seperti itu?? 'Mama?' Lirih Anaya. Anaya masih ingat betul bagaimana wajah mendiang mamanya yang meninggal. Tapi bukan karena kecelakaan. Mamanya meninggal akibat Kanker darah yang menggerogoti tubuhnya. Tapi kenapa Anaya merasa sangat nyata dengan mimipi itu?

Anaya menoleh saat uluran tangan memberikan segelas air. Menerimanya lalu meneguk hingga tandas. Mengembalikan gelas pada Rendra lalu kembali menyenderkan tubuhnya di sofa. Kaget. Anaya sangat kaget dengan mimpi kecelakaan tadi. Sungguh seperti benar-benar terjadi. Tak terasa air matanya meleleh begitu saja. Apa sebenarnya tadi itu? Anaya bingung.

"Mimpi buruk? Ckck.. Kamu gak berdoa kali yang mau tidur," ledek Rendra berusaha mencairkan suasana. Anaya hanya melirik sebentar. Lalu mengusap air mata yang sempat menetes.

"Ckk, begitu aja cengeng," sindir Rendra.

"Untuk apa anda disini tuan Rendra yang terhormat?" sinis Anaya.

"Tentu saja menjaga calon istriku!" jawab Rendra enteng sambil mengedikkan bahcou lalu menyilangkan kedua tangan kedepan dadanya.

"Jangan terlalu berharap sama saya, Tuan Rendra. Anda lebih pantas menjadi Om saya," dengus Anaya kesal dan hendak berdiri menghampiri Ayahnya yang masih berbaring.

"Setua itukah aku? Kau jangan bercanda berlebihan, Aku pria dewasa bukan pria tua seperti katamu!" ucap Rendra tak terima menarik tangan Anaya untuk menatap padanya.

"Ck..., Tak mau menyadari kalau anda sudah tua. Dasar orang tua!" gerutu Anaya.

"Jaga bicaramu, Nona. Oke aku tua. But i will be your husband, Babe!" ucap Rendra dengan seringainya.

"In your dream!" sinis Anaya melepas tangan Rendra.

Anaya duduk di sebelah pembaringan Ayahnya. Anaya melihat jari Ayahnya sedikit bergerak. Anaya melotot tak percaya.

"Ayah???!!! Ayah sadar??!!! Ini Anaya yah?!" teriak Anaya saking senangnya.

"Hey, kamu hanya akan membuatnya semakin memburuk. Berhentilah berteriak! Aku akan panggil Dokter!" ucap Rendra segera lalu memencet tombol merah diatas tempat Ayah Anaya berbaring.

Tak lama Dokter dan suster berdatangan memeriksa kondisi Pak Arya yang tak lain adalah Ayah Anaya.

"Perkembangan Pak Arya cukup bagus. Mungkin belum bisa sadar untuk saat ini. Sebaiknya terus ajak dia berbicara atau bercerita. Meski ia belum bisa merespon namun sebenarnya alam bawah sadarnya menerima rangsangan suara. Saya sarankan untuk segera Operasi. Memang kemungkinannya kecil. Setidaknya kita berusaha." Terang Dokter. Rendra mengangguk merespon perkataan Dokter. Anaya hanya menatap Ayahnya yang belum juga bangun dari koma. Air asin itu kembali membasahi pipinya.

"Ayah, Ayah cepat sadar. Anaya pulang, Yah. Anaya janji kalau Ayah bangun Anaya akan pulang dan menjaga Ayah. Anaya gak akan ninggalin Ayah lagi. Please, Yah bangun," ucap Anaya sedih sambil menggegam tangan Ayahnya. Anaya terisak dan menyembunyikan kepalanya diantara kedua tangannya.

Rendra menepuk bahu Anaya pelan. Anaya menegakkan kepalanya menatap kearah Rendra dengan sinis.

"Ini semua karena Anda, Tuan Rendra!!!" sinis Anaya pada Rendra. Rendra tak terima. Dia menarik Anaya menjauh dari Ayahnya, memegang tangan Anaya erat, lebih tepatnya mencengkeram tangan Anaya

"Jangan karena aku baik padamu kau bisa seenaknya padaku!! Cepat atau lambat kau akan menjadi istriku!!" ucap Rendra sengit. Anaya melepas kasar pegangan Rendra yang begitu erat hingga pergelangan tangannya terasa sakit.

"Tidak akan!!!!" ujar Anaya yang juga marah.

Rendra mendengus kasar. Lalu pergi dari sana. Jika berlama-lama meladeni kekeras kepalaan Anaya yang ada Rendra akan lebih kasar memperlakukan Anaya. Rendra tak mau itu terjadi.

Anaya kembali menitikkan air mata. Menangkupkan kedua tangannya menutupi wajah.

"A..na..ya.." Samar Anaya mendengar suara memanggilnya. Anaya segera berbalik melihat Ayahnya. Benar, Ayahnya telah membuka mata. Anaya berlari mendekati Ayahnya.

"Ayah? Ayah? Ini Anaya, Yah. Ayah, maafin Anaya, Yah," hanya kata-kata itu yang meluncur dari mulut Anaya. Dia terisak tangis. Bahagia karena masih bisa melihat Ayahnya membuka mata. Mengenggam erat tangan Ayahnya yang sudah mulai kurus.

"Aa.. iirrr.." ucap Arya. Segera Anaya mengambil air minum di meja. lalu meminumkan pada Ayahnya dengan menggunakan sendok.

"Ayah.. Anaya janji akan tinggal bersama Ayah lagi. Ayah cepet sembuh. Anaya gak mau sendirian lagi," isak Anaya sesenggukan.

"Na...yaa... Ii..bu...mu... Mi...taa...Mi taa.. " Ucap Ayah Anaya putus-putus. Anaya tak begitu mengerti apa yang dimaksud oleh Ayahhnya.

"Ayah jangan banyak bicara dulu. Anaya panggil dokter dulu ya, Yah," Anaya hendak memanggil dokter tapi terhenti saat Ayahnya menggenggam lebih erat tangannya. Seolah tak ingin anaknya pergi. Anaya berusaha meraih tombol memanggil dokter. Tapi tak sampai karena Ayahnya begitu erat menggenggam tangannya.

Saat itulah Rendra datang melihat Anaya yang kesulitan meraih tombol merah. Rendra menoleh ke arah Pak Arya yang sudah membuka mata. Cukup terkejut lalu menggantikan Anaya memencet tombol merah itu. Rendra memencet tombol lebih dari tiga kali.

"Kenapa tak memanggilku?!" tanya Rendra kesal. Anaya hanya menghela nafas lega tanpa menjawab Rendra. Lalu membalas erat genggaman Ayahnya. Terharu. ia sangat bersyukur masih diberi kesempatan untuk bertemu Ayahnya lagi setelah bertahun-tahun melarikan diri darinya.

"Maaf Ayah.. Maaf," lirih Anaya lalu mengecup berulang kali tangan yang sudah jarang ia menyalaminya. Bohong jika Anaya tak rindu. Sangat. Anaya sangat merindukan Ayahnya.

Begitu banyak kesalahan dan penyesalan saat ini menyelubungi hatinya. Karena setelah lama tak bertemu, tapi sekarang bertemu dengan keadaan Ayahnya yang terbaring lemah di rumah sakit, Anaya takut. Jika hari ini atau esok adalah hari terakhir dirinya bertemu Ayahnya.

Penyesalan memang selalu datang di belakang. Manusia pun tidak akan tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Sebagai manusia hanya bisa berusaha untuk sesuatu yang lebih baik, meski dengan usaha yang baik itu, entah akan membuahkan hasil yang baik atau tidak. Akhirnya kita menyerahkan semua keputusan pada Yang Maha Kuasa.

Can yo give a comment??

Z3e_zeestycreators' thoughts