webnovel

Kebimbangan

Luna berjalan mondar-mandir di depan sebuah gedung bertingkat yang tampak amat megah di hadapannya. Well, sejujurnya, tidak benar-benar di depannya sebab dia mengambil jarak agak jauh untuk menutupi tindakannya. Setidaknya, tidak ada seorang pun di sekitarnya yang menyadari bahwa fokusnya tak pernah lepas dari bangunan itu sejak pertama kali mendaratkan kakinya di area tersebut.

Dia menggigit bibir bawahnya, terlihat gugup setiap kali kepalanya menoleh ke gedung itu. Apa yang mesti dilakukannya?

Tiba-tiba terdengar desahan keras diiringi gerakan Rio yang bangkit dari posisi duduknya di atas trotoar. "Aku pusing melihatmu mondar-mandir," keluhnya, terdengar sama frustasinya dengan desahannya. Terhitung lebih dari enam jam dia menemani Luna, termasuk menungguinya saat pingsan. Dan hampir dua jam mereka berada di tempat yang sama tanpa aktivitas jelas. Jadi, jangan salahkan dia ketika rasa bosan menderanya. Dia tidak terbiasa duduk bersama manusia. "Mending kamu masuk dan cari Rangga daripada berdiri nggak jelas di sini." Dia mengujarkan saran sekaligus protesnya. Lebih lama lagi mereka bersama, bisa-bisa dia gila.

Mendengar hal itu, Luna dengan cepat berpaling ke arah Rio dan menatapnya tajam. "Kalau dia tanya siapa aku, aku harus menjawab apa?" Dia membalas dengan sebuah pertanyaan. Jika Rio memintanya melakukan itu, pria itu juga mesti membantunya mengarang alasan. Benar, bukan?

"Katakan saja kamu wanita yang tadi ditolongnya. Dia nggak mungkin langsung melupakan wajahmu."

"Justru itu lebih aneh," seru Luna tertahan. "Apa kamu nggak merasa aneh melihat orang yang sudah kamu tolong dan kamu bayari biaya perawatannya, tiba-tiba mendatangimu?" Dia bertanya dengan memberikan pengandaian. Bukan aneh lagi. Dia yakin dirinya akan tampak mencurigakan, entah di mata Rangga atau siapa pun.

Rio menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Iya juga, sih." Dia menanggapi dengan canggung.

See?

"Lalu, rencana kamu apa? Ingat, kamu harus membunuhnya." Rio berkata lagi.

Kali ini, ganti Luna yang mengeluarkan dengusan kesalnya. Dia tidak suka diingatkan kepada sesuatu yang tidak disukainya, walaupun, yah, dia tidak punya pilihan selain melakukannya. "Aku lebih khawatir di mana malam ini aku tidur," gerutunya dengan bibir mengerucut.

Satu hal yang pasti. Adegan pembunuhan tidak akan terjadi malam ini. Dia butuh waktu mempersiapkan hatinya untuk ini. Lagi pula, dia belum memiliki rencana jelas. Apakah dia mesti menyamarkannya sebagai kecelakaan ataukah secara terang-terangan menunjukkan niat membunuhnya?

Skenario paling memungkinkan adalah dengan mendorongnya ke tengah jalan, sama seperti saat dia mendadak berlari untuk melindungi anak kecil yang menjadi penyebab semua masalah ini terjadi. Itu pun dia harus mencari celah untuk mewujudkannya.

Pertanyaannya adalah bagaimana dia mendapatkan celah itu?

Rio berdecak sembari berkacak pinggang. Digeleng-gelengkannya kepalanya, takjub akan apa yang baru saja memasuki indra pendengarannya. "Aku nggak menyangka kamu akan secepat ini beradaptasi sebagai manusia."

"Berhenti meledekku," hardik Luna dalam suara setengah berbisik. Awalnya, dia senang dan berterima kasih pada Rio sebab malaikat maut itu mau menemaninya dan membantunya mempelajari situasi mengejutkan yang terjadi kepadanya. Tetapi sekarang, agaknya, dia perlu memikirkan ulang perasaannya itu.

Rio meletakkan satu tangannya ke pundak Luna dengan ekspresi menguatkan namun juga mengasihani perempuan itu. "Kamu harus kuat mendengarnya. Yang lain pasti akan melakukan hal yang sama."

Luna cuma menatap nanar tangan yang terbalut mantel hitam panjang itu. Dia lantas mengubah pandangannya pada wajah Rio dan berhenti pada sesuatu yang ada di belakangnya. "Oh!" Dia nyaris meneriakkan kekagetannya.

Rio yang bingung akan perubahan mendadak di roman Luna, segera berbalik mengikuti sorot mata kecokelatannya. Dia mendapati sosok yang mereka tunggu-tunggu keluar dari gedung bertingkat untuk menaiki sedan hitam yang pintunya telah dibukakan oleh seorang sopir.

"Oh!"

"Oh!"

Luna dan Rio bereaksi serupa ketika sedan itu bergerak menjauhi mereka. Kemudian, hembusan napas panjang terdengar dari sang malaikat maut wanita.

"Dia pergi." Seakan tak puas, Rio kian memperjelas fakta itu. "Kamu, sih, nggak berani masuk." Dan memperparahnya dengan tuduhannya.

"Kamu bilang harus meninggalkan KTP." Luna merespons dengan sindiran telak. Ya, Rio sendiri-lah yang mengatakan bahwa dia perlu meninggalkan kartu identitas untuk bisa masuk dan menemui langsung Rangga setelah dia mengirimnya untuk mengamati keadaan. Hal itu pula-lah yang menjadi alasan kenapa dirinya hanya bisa berkeliaran tak jelas di depan kantor Rangga. Dia tidak mempunyai satu pun bukti identitas di dirinya.

Suasana berubah hening.

Ah, tidak. Keheningan itu cuma terjadi di antara Luna dan Rio yang memilih diam dengan pikiran masing-masing. Di sekeliling keduanya tetap ramai dengan padatnya lalu lintas di sore menjelang malam serta aktivitas manusia di jam pulang kantor.

Tanpa kata, Luna mulai melangkah menyusuri jalanan yang searah dengan kepergian Rangga. Jalannya gonta seolah-olah kehilangan semangat dan tenaga. Tentu saja. Tubuhnya sudah lelah setelah melakukan perjalanan panjang menuju kantor Rangga hanya untuk berakhir sia-sia. Belum lagi dengan panasnya cuaca Jakarta serta kepergian Rangga, satu-satunya orang yang mungkin dapat membantunya. Ternyata, menjadi malaikat maut jauh lebih baik dari menjadi manusia.

"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Rio setelah kediaman cukum lama di antara mereka. Sejak tadi dia cuma diam setelah menyadari betapa seriusnya situasi ini untuk Luna. Sendirian di dunia manusia bukanlah ide bagus. Sebagai manusia, pastinya. Terlebih, Luna tak memiliki seseorang untuk bisa dimintainya bantuan. Malang sekali nasibnya.

Hembusan napas berat kembali keluar dari bibir Luna. Jujur, dia tak punya rencana apa pun selain Rangga. Sungguh ironis.

Tiba-tiba kakinya berhenti sesaat setelah sebuah kesadaran merasukinya. Kepalanya menoleh, sementara matanya matanya memicing, memandang penuh arti sosok yang hanya bisa dilihatnya itu.

"A-Apa?" Seketika kegugupan mendera Rio. Luna terlihat seperti serigala yang hendak menerkam buruannya.

"Kamu tahu? Nggak ada yang bisa membantuku selain kamu." Alih-alih mengungkapkan langsung maksudnya, Luna memilih jalan berputar. Yah, berbasa-basi supaya keinginannya berpotensi besar untuk dikabulkan.

Kebingungan di wajah Rio bertambah seiring dengan munculnya kerutan di keningnya. "Apa?" Dia melontarkan pertanyaan yang sama.

"Kamu bisa langsung berteleportasi ke tempat Rangga, kan? Bantu aku mencari tahu alamat rumahnya." Dan inilah bagian terpentingnya. Permohonannya.

Raut wajah Rio melunak setelah mengetahui keinginan Luna. Rupanya, hal itu tidak seburuk bayangannya. Tetapi, memangnya hal buruk apa yang sanggup Luna lakukan terhadapnya?

Kemudian, dia mengangkat tangan kanannya dan membentuk simbol OK menggunakan jari-jarinya. "Itu masalah kecil."

Jika bisa memeluk Rio, Luna pasti sudah melakukannya. Sayangnya, tubuh mereka sudah tak lagi sama, yang artinya dia tak lagi dapat berinteraksi bebas dengan rekan-rekannya. Kenyataan itu sedikit memunculkan kesedihan di hatinya.

"Makasih, Rio." Meskipun demikian, dia dapat menggantinya dengan kata-kata. Masih bisa melihat dan berbicara dengan mereka merupakan sebuah keberuntungan.

"Kamu sedang berbicara dengan siapa?"