webnovel

Bab 9

Aku memang suka mengajak anak santri di pondok pesantren Abah berjalan jalan keliling kompleks setiap sore hari. Selain untuk menyegarkan pikiran para santri, agar mereka juga mampu bersosialisasi dengan lingkungan sekitar pondok pesantren. Entah kenapa ketika aku melewati sebuah jalan di gang sebelah pondok pesantren diriku ingin sekali berhenti, bukan karena hantu atau apapun yang pasti karena ada sosok wanita yang begitu cantik, yang menarik perhatianku.

Sebenarnya bukan karena kecantikannya melainkan lebih dari kebaikannya. Aku sering melihat wanita bertubuh semampai itu memberikan uang atau makan kecil untuk para adik adik santri yang melintasi pagar kontrakannya. Dia pun tidak ragu menolong siapa pun yang membutuhkan bantuannya. Aku kagum pada wanita yang masih belum aku ketahui namanya itu. Entahlah, sepertinya rasa di dalam hatiku ini lebih dari rasa kagum belaka. Terkadang hati kita yang belum baik saja masih suka merendahkan orang lain.

Sungguh baru kali ini aku merasakan debaran hebat, setiap kali menatap sosok wanita yang hampir setiap sore duduk di teras kontrakannya itu. Menyesap sebatang rokok, dan terlihat begitu menikmatinya. Aku tau dia adalah seorang wanita malam, mungkin sudah banyak lelaki hidung belang yang telah menjamah tubuhnya. Tapi lagi-lagi, desiran dalam hatiku tak mampu melihat hal itu. Ah, aku ini terkadang tidak mengerti dengan jalan pikiranku sendiri.

Ada rasa rindu yang menyesakan rongga pernapasanku setpia kali aku tidak melihat wanita yang biasa duduk di teras kontrakan itu. Membuat malamku engan sekali terpejam. Jika sudah seperti itu aku akan menghabiskan malamku dengan mengulang hafalanku dan salat malam hingga waktu subuh pun tiba.

Seperti biasa, setiap subuh buta aku sudah berada di masjid yang terletak bersebelahan dengan pondok pesantren. Memang masjid itu adalah milik masyarakat umum. Tetapi ketua RT di kompleks tempat tinggalku memasrahkan masjid itu kepadaku sebagai pengurusnya. Katanya biar masjidnya ramai dengan para santri yang mengaji. Wajar saja lingkungan tempat tinggalku kebanyakan adalah pekerja yang jarang di rumah serta di dominasi oleh para perantau.

Akumasih duduk di serambi masjid, menunggu adzan subuh berkumandang. Mendengarkan Salma, santriwati dari pondok pesantren Abi yg sedang melantunkan qiro'ah dengan suaranya yang begitu merdu sekali. Pantas saja Salma mendapatkan juara satu sekabupaten untuk lomba qiro'ah. Desas desus Salma pun juga menaruh hati padaku. Pantas saja setiap keberadaanku terlihat olehnya gadis hitam manis itu akan selalu tebar pesona, terkadang aku merasa geli melihat tingkah para wanita itu.

Netraku masih terus menatap ke ujung gang. Seorang wanita yang sedang berjalan dengan terseok-seok itu baru turun dari taksi. Paling juga perempuan malam yang tinggal di kontrakan ujung gang. Sudah menjadi rahasia umum jika kontrakan itu dihuni oleh perempuan malam. Begitu juga dengan wanita yang membuatku terus merasa rindu itu, dia juga tinggal di situ. Namun rindu itu juga masih aku tahan, hingga benar-benar dia menjadi halal untukku.

Aku masih terus mengawasi wanita yang berjalan di kegelapan itu. Sepertinya lampu yang berada di ujung jalan mati tak menyala. Berkali-kali wanita yang hanya nampak bayangannya itu berpegang pada dinding tembok, untuk menopang tubuhnya yang hampir rubuh. Tiba-tiba dua orang pria datang menghampiri wanita itu, mungkin hendak mengodanya. Sepertinya kedua pria itu pun sedang mabuk, terlihat dari bayangan cara berjalannya pun sama terseok-seok.

Wanita itu menepis tangan kedua pria itu berkali-kali. Hingga tubuh tinggi semampai itu terjatuh membentur tembok. Aku masih terus mengawasi, meskipun rasanya aku ingin sekali segera menghampiri mereka. Sepertinya salah satu dari pria itu hendak melucuti pakaian wanita yang sudah tak mampu bangun lagi itu.

Segera aku bangkit dan berlari menghampiri mereka. Tidak mungkin aku membiarkan pria itu melampiaskan kebejatan di muka umum.

Baku hantam dengan kedua pria itu pun tidak bisa aku hindari. Mau tidak mau aku harus tetap memberikan pelajaran kepada kedua pria berotak mesum itu. Untuk mengalahkan kedua pria itu bukanlah hal yang sulit, meskipun aku sedikit kalah telak dengan tinjuannya yg membuat hidungku mimisan. Tapi pada akhirnya aku mampu membuat mereka berlari terbirit-birit. Aku pun tersenyum puas melihat kedua preman itu ketakutan.

Segera aku angkat tubuh wanita yg teler karena mabuk itu. Tubuhnya memang sedikit berat. Wanita dengan celana pendek itu terpaksa harus ku gendong menuju Masjid. Hendak meminta tolong kepada Salma. Karena jika Abah dan umi tau, bisa kenal omelan aku sepanjang malam.

Netraku seketika membelalak, ketika aku melihat wajah wanita yang berada dalam gendonganku itu dari cahaya terang lampu masjid.

"Desi!" gumanku tergeragap. Ternyata dia adalah wanita yang aku inginkan Selama ini. Ya, aku kini sudah tau namanya dari para santri yang sering berinteraksi dengannya.

"Salma, Salma!" teriakku memangil Salma. Aku harap wanita itu bisa membantuku saat ini.

Wanita dengan mukena putih tulang itu terkejut melihatku yang sedeng mengedong Desi. Tanpa banyak bicara aku meminta Salma mengantarkan ku ke pondok santriwati. Biarlah wanita cantik ini berada di dalam pondok santriwati hingga ia siuman. Karena aku tidak mungkin mengantarkannya pulang ke kontrakan yang dipenuhi perempuan malam itu. Bisa jadi sasaran empuk para jablay di sana aku. hahaha .... Maklum tampangku lebih mirip artis turki karena Abah adalah turunan Arab, sementara umi asli orang sunda dan jadilah aku orang Banten.

Senja telah menguning, temaram sinar Surya yang hampir menyingsing itu membuat aku terus menatap wanita dengan balutan rok coklat dan kerudung warna biru laut itu. Meskipun kerudung itu tidak dikenakannya dengan benar, tapi jujur wanita yg sedang berjalan melintasi halaman pondok itu terlihat angun sekali. Ya, aku melihat Desi yang berlalu meninggalkan pondok. Sesekali netranya menatapku yang tengah sibuk merapikan rerumputan di halaman pondok pesantren. Namun, aku masih mengabaikan tatap itu. Jual mahal sedikit tidak masalahkan? Pikirku.

Sore itu, sudah kubulatkan niatku untuk mengajak wanita malam itu ta'aruf. Rencananya sebulan kemudian akan aku temui kedua orangtuanya untuk meminta restu. Mungkin orang akan beranggapan bahwa aku ini pria bodoh. Karena aku mau menikahi seorang wanita malam. Tapi tidak bagiku, terkadang orang yang merasa dirinya suci itu lebih buruk dari pada seorang pendosa. Aku yakin jika Desi dibimbing dengan baik ia bisa jadi wanita yang baik. Karena seorang istri itu bagaimana pemimpinnya.

Aku masih melihat Desi yang termenung di tepi danau. Rambut panjangnya terus berkibar oleh terpaan angin'. Aku memberanikan diri mendekati wanita itu. Meskipun saat ini jantungku seolah copot dari tempatnya. Berkali kali aku menyentuh dadaku, agar debaran ini tak nampak oleh Desi. Hingga ucap setuju yang ia lontarkan dari mulutnya membuat aku sangat kegirangan. Tetapi aku tetap menapakkan wajah santaiku. Setidaknya aku tidak bucin-bucin amat di depan Desi yang kini tersipu malu. Yes, berhasil ...! ucapan itu bersorak-sorai di dalam hatiku.

Meskipun aku mengajukan beberapa permintaan, tapi Desi dengan tegas menerima persyaratanku itu. Apa mungkin sebenarnya dia juga naksir aku ya? Heheh ... Bisa jadi sih!

Yang pertama, aku meminta Desi untuk tinggal di pesantren selain dia bisa belajar ilmu agama, setidaknya ia akan berkumpul dengan orang-orang yang lebih baik.

Karena jika kamu berteman dengan tukang penjual minyak, maka kamu akan wangi seperti minyaknya. Namun, jika kamu berteman dengan tukang ikan, maka kamu akan bau amis seperti ikan-ikannya. Ini sabda Rasulullah Saw, jadi tidak mungkin diragukan lagi, bahwa lingkungan itu sangat mempengaruhi kehidupan seseorang.

Yang kedua, aku meminta Desi merubah penampilannya yang fullgar dengan sedikit tertutup. Meskipun awalnya dia sedikit risih dengan baju yang terkesan kebesaran itu tetapi kelamaan wanita itu pun merasa nyaman juga. Buktinya dia tidak pernah protes padaku. Yang aku tau karakter Desi itu meledak-ledak bagaikan petasan. Dia bukan wanita yang mudah menyimpan perasaannya. Dia itu natural dan apa adanya. Jika suka ya suka, jika tidak suka ya tidak suka dan aku suka dia seperti itu.

Dengan adanya Desi di pesantren, semakin memudahkan aku untuk mengenalinya lebih jauh. Mulai dari sifat dan karakternya. Karena tidak semua perempuan malam itu baik, ada sebagian yang memang tidak ingin berubah menjadi baik. Tapi tidak dengan Desi, dia sebenarnya seorang yang penurut hanya saja sedikit keras kepala harus dengan cara lembut untuk meluruskannya. Tidak ku pungkiri, bukankah wanita memang tercipta dari tulang rusuk yang belok.

Aku suka ketika wanita yang kini tampil dengan tertutup itu senang mendengar ceritaku. Tetang kisah Rosulullah, kisah istri-istri beliau, para sahabat dan masih banyak cerita yang belum aku ceritakan padanya. Judulnya aku menikah tidak hanya mengenai cinta semata lebih dari aku ingin menuntun Desi menjadi manusia yang lebih baik.

Namun, semua rencanaku menjadi berantakan. Ketika umi dan Abah hendak menjodohkanku dengan Puspa. Wanita cantik, Sholeha, cerdas dan yang jelas bukan orang sembarangan. Dia adalah anak dari pak Hadi, penyandang dana terbesar di pesantren ini. Kata umi, jika aku menikah dengan Puspa aku bisa membantu banyak anak yatim piatu yang berprestasi untuk melanjutkan sekolah mereka hingga ke Kairo, Mesir dan sudah pasti kalau Puspa pun adalah lulusan terbaik dari Kairo.

Perasaan gamang menarik ulur hatiku. Bagaimana bisa aku menikahi Puspa sementara aku sudah berjanji akan meminang Desi sesegar mungkin. Meskipun sampai detik ini aku masih menyimpan rahasia besar tentang Desi kepada Abah dan umi.

BERSAMBUNG