Sepuluh menit berselang, akhirnya Nerisha dan Orion berkumpul dengan murid lainnya. Nerisha mengerutkan dahinya saat mendapati ruangan Sains nyatanya terkunci.
Guru yang bertugas berusaha menarik rantai yang melilit di daun pintu. Namun, rantai itu terpasang sebuah gembok yang sejak tadi tidak dapat dibuka. Orion ikut bertanya-tanya, bagaimanapun ruangan ini sudah lama tidak terpakai, tetapi gembok yang terpasang terlihat masih baru, seolah ada yang telah membukanya.
"Bagaimana, Pak? Apa bisa terbuka?" Salah satu murid bertanya sementara itu pria yang menjadi pengawas mereka berusaha untuk membuka gembok tersebut dengan segala cara. Nyatanya kunci yang dia bawa tidak cocok dengan gembok tersebut.
"Aku sedang berusaha. Kalian semua harap tenang. Jangan ada yang membuat keributan."
Ada sekitar sepuluh anak kunci yang ada di tangannya. Namun, dari keseluruhan kunci yang ada, tidak ada yang berhasil melepaskan gembok itu dari sana.
Nerisha yang berada tidak jauh dari bibir pintu merasakan ada sesuatu yang aneh. Bukan dari gemboknya, melainkan jantungnya yang mendadak terasa sakit.
Ketika jantungnya berdegup kencang, saat itu juga Nerisha memilih menepi dan menjauhi kerumunan sambil memegangi dadanya yang terus terguncang.
"Ais, mengapa harus sekarang." Nerisha mengumpat kesal. Rasa sakitnya datang tidak pada waktu yang tepat.
Melihat hal janggal yang terjadi pada Nerisha, membuat Orion mendatanginya dan bertanya. "Kamu baik-baik saja?"
Pemuda itu melihat Nerisha neringis seolah sedang menahan rasa sakit dan wajahnya pula berubah pucat dengan cepat. Tangan Orion ingin menyentuh bahu Nerisha. Namun, gadis itu langsung menghentikannya dan menjelaskan situasi yang terjadi.
Nerisha beralasan ingin pergi ke kamar kecil karena dia tidak lagi bisa menahannya, maka gadis itu segera pergi tanpa memberi penjelasan jelas pada Orion.
"Dia kenapa?"
Pemuda itu menggaruk pipinya yang tidak gatal, merasakan keanehan yang terjadi. Dia sempat melihat Nerisha berubah pucat beberapa saat lalu, mungkinkah masih berlanjut?
Orion tidak bisa berspekulasi terutama urusan wanita. Dia sudah sering terkena masalah karena menempatkan diri di antara para wanita dan sekarang pemuda itu berpikir untuk tidak mengulanginya lagi.
Orion tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya, sementara itu Nerisha berlari menuju kamar kecil segera masuk ke salah satu bilik yang ada di sana.
Dirinya masih merasakan sakit yang begitu hebat di bagian dada hingga ponselnya pun berdering dan membuat dia terkejut. Nyatanya itu panggilan dari Natasha. Jari telunjuknya segera menekan tombol hijau dan berbicara pada Natasha.
"Halo, Kakak." Nerisha berkata sambil menahan sakit luar biasa di dadanya sementara Natasha belum mengatakan sesuatu.
"Untung saja Kakak menelpon, aku ingin bertanya. Apakah suratnya tiba pada Kakak sekarang?"
"Iya, suratnya sudah ada di tanganku andai surat ini datang padaku, itu tandanya saat ini kamu sedang kesakitan, apa itu benar?" balas Natasha yang terdengar suaranya dari balik sambungan telepon.
"Iya Kakak. Seperti biasa jantungku merasa sakit secara mendadak, tetapi rasa sakitnya mulai berangsur berhenti ketika Kakak mengatakan surat itu sudah ada padamu."
Nerisha menjelaskan, meskipun dia tadi sempat menahan sakit yang luar biasa. Namun, itu semua dapat diatasinya dan sekarang berangsur membaik berkata sambungan telepon dengan Natasha.
Keduanya berbincang di sana dan Nerisha tidak bisa melihat Surat yang ada di tangan Natasha secara langsung, sebab saat ini Kakaknya itu berada di kampus sedangkan dirinya berada di sekolah. Jarak sekolah dengan kampus cukup jauh memakan waktu hampir satu jam dengan mengendarai mobil.
Jadi, tidak mungkin Nerisha meninggalkan sekolah hanya demi sepucuk Surat untuk sekarang. Natasha berpesan agar dia mau menahan diri untuk tidak pergi dari sekolah seperti beberapa hari yang lalu. Nerisha pun menerimanya meski tidak ada banyak kata yang bisa dia ucapkan.
"Lalu, bagaimana keadaanmu sekarang? Apa sudah baik? Apa perlu Kakak menjemputmu?"
"Tidak perlu Kak. Ini sudah lebih baik. Setidaknya rasa sakitnya sudah tidak seperti tadi. Kakak tidak usah menjemputku. Aku bisa mengatasinya sendiri, terpenting surat itu sudah ada pada Kakak," balas Nerisha yang merasa dirinya sudah lebih baik dari sebelumnya meski masih memegangi dada yang sesekali terasa berdegup.
"Syukurlah andai memang seperti itu. Kakak lega mendengarnya."
"Iya, Kakak. Dirimu tidak usah cemas lagi. Aku sudah lebih baik dari sebelumnya. Rasa sakitnya tidak lagi menyakitkan. Aku sudah bisa mengendalikannya."
Nerisha memandang wajahnya yang terpantul dari cermin sambil berbincang dengan Natasha dari sambungan telepon. Sudah terlihat wajahnya yang kembali normal, tidak seperti beberapa saat lalu yang berubah pucat pasif.
Napasnya pula telah berangsur membaik dan tidak lagi terasa sesak seolah ada yang mencekik lehernya.
"Baiklah. Kakak tutup hulu teleponnya, nanti aku sambung kembali. Saat ini diriku sedang ada kelas. Kita lanjutkan nanti."
"Baik Kak. Jaga dirimu baik-baik. Kita akan bertemu selepas pulang sekolah. Aku menyayangi Kakak."
"Kakak juga menyayangimu, Adikku."
"Sampai jumpa, Kakak."
"Sampai jumpa juga untukmu."
Nerisha menyudahi sambungan teleponnya dan meletakkan ponselnya di depan cermin. Kembali dia memandang maniknya sendiri, seolah gadis itu melihat pantulan wajah orang lain dari sana.
"Mengapa suratnya datang secara tiba-tiba di saat seperti ini? Apakah ada misi baru untukku dan Kakak, tetapi apa?"
Nerisha tidak bisa menahan dirinya untuk tidak penasaran. Nyatanya setiap kali surat itu datang saat itu juga pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan. Seolah hidupnya sekarang dibalut misteri.
Bagaimana tidak? Kerap kali dia dan Natasha harus berurusan dengan hal-hal yang tidak akan pernah mereka pikirkan sebelumnya, terutama saat penculikan Bintang beberapa waktu lalu.
Siapa yang menduga, berabrakan di gedung konser menimbulkan permasalahan yang besar, terutama Bintang yang hampir saja kehilangan nyawanya tanpa alasan jelas.
Nerisha masih memandangi wajahnya dari balik pantulan cermin, seketika suara yang memanggil namanya menyadari dia dari lamunan.
"Nerisha!"
Suara yang tidak pernah asing di telinga. Panggilan yang sudah Nerisha dengar selama hampir lima tahun. Namun, dia sama sekali tidak bosan dengan hal tersebut.
"Iya, sebentar, aku akan keluar!"
Nerisha meraih ponselnya dan segera berjalan meninggalkan bilik tersebut. Ketika dia hendak membuka pintu betapa terkejutnya gadis berponi tebal itu mendapat bahwa Orion sudah di depan pintu saja.
"Orion? Sedang apa kamu di sini? Di toilet wanita?"
Nerisha melihat kiri dan kanannya, tidak ada satu orang murid wanita yang berada di sana. Namun, keberadaan Orion dapat menimbulkan pertanyaan besar andai ada yang melihat mereka di sana.
"Aku datang karena mencemaskanmu. Apa ada sesuatu yang terjadi? Tadi aku melihat kamu, seperti sedang menahan sakit? Benar 'kan kamu sakit?"
Orion tidak bisa menahan dirinya untuk bertanya meskipun dia harus memasuki toilet wanita. Namun, demi mengetahui kondisi Nerisha, Orion tidak memedulikan pandangan orang lain terhadap dirinya nanti.
Alis Nerisha bergetar ketika tahu bagaimana Orion sangat peduli padanya. Pemuda itu rela mendatnginya hanya untuk menanyakan kondisi yang mungkin bisa dia dengar nanti.
"Ah, kamu saja yang terlalu berlebihan. Aku baik-baik saja, tidak ada yang perlu dicemaskan. Diriku hanya merasa sedikit sakit saja dan sekarang sudah lebih baik."
Nerisha berkata sambil menepuk bahu Orion. Bagaimana juga pemuda itu sudah sangat perhatian padanya dan Nerisha harus menghormatinnya.
Dari sekian banyak pria, nyatanya hanya Orion satu-satunya pemuda yang memperlakukan dia lebih dari seorang teman. Namun, Nerisha menganggap semua itu hanya sebatas persahabatan.
"Oh, syukurlah jika demikian. Aku lega mendengarnya." Orion tersenyum tipis meskipun dia tahu bahwa Nerisha tidak pernah menganggap setiap tindakannya sebagian perasaan cinta.
"Oh, iya Orion. Omong-omong, bagaimana dengan kelas Sains-nya? Lalu, ruangannya sudah terbuka atau belum?"
Nerisha membahas hal lain untuk mengalihkan pembicaraan yang terasa canggung itu. Kendati demikian Nerisha merasa penasaran dengan ruangan Sains yang terkunci itu.
"Entahlah, aku juga tidak mengerti. Bagaimana bisa ruangan Sains-nya masih terkunci seperti itu? Petugas sekolah sampai turun tangan berusaha untuk membuka gemboknya. Sudah banyak kunci yang dipakai. Namun, tidak ada satu anak kunci pun yang dapat membukanya."
Penjelasan Orion sungguh tidak masuk diakal. Nerisha sampai menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lalu, berpikir bagaimana cara untuk membuka gembok yang terpasang di pintu itu?
"Itu sangat aneh terdengarnya. Bagaimana bisa ruangan Sains terkunci dan tidak ada satupun kunci yang bisa membukanya? Aku tidak mengerti."
Jangankan Nerisha, Orion yang sejak tadi melihat petugas berusaha membuka gembok tersebut dibuat pusing, maka dari itu dia memutuskan untuk mencari keberadaan Nerisha.
Namun, gadis itu menyangkut pautkan peristiwa yang terjadi di ruang Sains sebagai misi yang mungkin tertulis di dalam Surat Misi Rahasia.
Nerisha memikirkan bagaimana cara dia membuka gembok tersebut dan mencari tahu penyebab terkuncinya ruanga Sains?
"Ayo Orion! Kita harus cepat. Aku ingin memastikan sesuatu!"
"Memastikan apa?"
Orion dibuat kebingungan. Tangannya ditarik begitu saja oleh Nerisha tanpa mendengar penjelasan yang jelas dari gadis tersebut.
"Nanti saja penjelasannya! Sebaiknya kita harus cepat, aku memiliki firasat buruk tentang hal ini!"
Nerisha tidak menjelaskannya secara gamblang apa rencana dan arti dari firasat buruk tersebut.
Orion tidak bisa membantahnya. Mulutnya terbuka lebar. Namun, tidak ada komentar dari pemuda itu. Tangannya ditarik dan Nerisha mengajaknya untuk berlari.
Gadis berponi tebal itu tidak memiliki cukup waktu untuk menjelaskannya. Baru saja dia teringat akan sesuatu, tetapi Nerisha tidak bisa memastikannya dengan jelas sebelum ruangan Sains itu terbuka