webnovel

Sampai Jumpa, Lana

Hujan deras ketika Lana berada dalam perjalanan pulang dari sekolah. Selama dalam perjalanan itu pun ia hanya melamun sambil terus menatap ke arah luar jendela hingga tidak sadar bahwa mobil sudah sampai di depan rumahnya.

Pak Diding menghentikan mobil cukup lama di depan pos satpam rumahnya karena satpamnya itu berkata bahwa tadi ada pemuda asing yang datang, lalu menitipkan sebuah bingkisan untuk Lana.

Lana ikut mendengarkan percakapan itu pun langsung bertanya, "Dari siapa, Pak?"

"Dari Furi, Non."

"Mana?" Lana langsung berbinar dan senyumnya merekah sempurna begitu nama Furi disebut. Akan tetapi, senyum di wajahnya seketika memudar ketika titipan dari Furi yang diberikan oleh satpamnya adalah kotak hijau tua yang ia berikan kepada Furi.

Lana membuka kotak itu dengan tangan gemetar dan dada bergemuruh menahan tangis. Isinya masih sama seperti saat ia membungkusnya semalam, hanya ada tambahan pesan yang ditulis pada secarik kertas lusuh, 'Maaf, saya tidak bisa menerimanya'.

Lana merasa dadanya seperti baru saja dihantam oleh batu yang sangat besar. Tanpa sadar, air matanya menetes dan jatuh ke pipi. Pesan dari Furi sangat menyakiti hatinya lebih dari apa pun. Ribuan pertanyaan pun bermunculan di kepala. Mengapa Furi menolak pemberian darinya? Apa hadiah itu tidak cukup bagus? Atau Furi menginginkan uang dan bukan barang?

Lana mengusap air mata di pipinya, meletakkan kembali pesan dari Furi ke dalam kotak, dan menutup kotak itu kembali. Ia tidak bisa terus bertanya-tanya dan mengira-ngira sendiri apa yang ada di pikiran Furi. Dan untuk mengetahui itu hanya ada satu cara, ia harus berbicara langsung dengan pria itu.

Ia membutuhkan jawaban secara langsung dari Furi atau dirinya tidak akan bisa tidur sepanjang malam nanti. Lalu, ia pun meminta kepada sopirnya untuk putar balik.

"Ke mana, Non?"

"Jurang Akhir," jawab Lana singkat.

Lana tidak tahu dan tidak peduli apa yang ada di pikiran Pak Diding. Bahkan, ketika sopirnya itu nanti akan mengadu kepada orang tuanya. Saat ini, ia hanya butuh untuk ditenangkan. Sikap Furi benar-benar membuat perasaannya menjadi tidak keruan.

Sepuluh menit kemudian, mobilnya berhenti di depan pos penjaga di Jurang Akhir. Dari dalam mobil ia melihat Furi sedang berjuang melawan derasnya hujan demi mengatur jalan di Jurang Akhir agar para pengendara bisa melewati tanjakan itu dengan aman.

Lana langsung turun, mengabaikan derasnya air hujan yang mengguyur tubuhnya. Ia berdiri di pinggir jalan sambil berteriak memanggil Furi, tapi pemuda itu hanya menoleh sebentar, lalu kembali fokus mengatur jalan.

Lana kembali berteriak. Kali ini lebih kencang. Bahkan, ia bisa merasakan tenggorokannya sakit setelahnya. Namun, Furi tetap tidak menoleh dan bersikap seolah tak melihat kehadirannya atau mendengar teriakannya.

Sekali lagi hantaman rasa sakit itu menyerang dadanya. Hatinya terluka oleh sikap dingin Furi, tetapi ia membutuhkan alasan masuk akal mengapa Furi mengembalikan ucapan terima kasih darinya. Itu seperti menampar wajahnya dengan sangat keras.

Kemudian, Lana memutuskan bahwa dirinya tidak bisa terus menunggu karena Furi akan terus bersikap tak peduli. Ia pun nekat berlari menembus hujan, menghampiri Furi yang berdiri di tengah jalan. Ia langsung meninju lengan Furi dengan keras begitu sampai di samping pemuda itu. "Kenapa kamu mengabaikan aku!?"

Furi menoleh. Matanya membelalak melihat Lana sudah berdiri di hadapannya dengan kondisi basah kuyup.

"Apa yang kamu lakukan?!" Ia menggeram marah. Tanpa banyak bicara, ia segera melepas jas hujan yang ia kenakan, kemudian menutupi kepala Lana dengan jas hujan itu. "Cepat kembali ke mobilmu!"

"Tidak, sampai kamu mau bicara denganku."

"Tidak ada yang perlu dibicarakan."

"Ada." Lana menjawab dengan suara gemetar dan tubuh yang mulai menggigil. Hal itu rupanya tak luput dari perhatian Furi karena sesaat kemudian pemuda itu mengangkat tangan untuk memanggil kawannya yang sedang duduk-duduk di pos, memberi isyarat kepada temannya itu agar menggantikan posisinya sementara waktu.

Kemudian, dengan sebelah tangan masih memegang jas hujan agar tetap menutupi kepala Lana, sebelah tangan yang lain merangkul pundak Lana dan memaksa gadis itu menepi. Ia langsung membawa Lana ke tempat mobil gadis itu diparkir. Tangannya sudah membuka pintu belakang mobil itu, ketika Lana justru melepaskan diri dari rangkulannya dan berlari ke pos.

Furi memejamkan mata untuk mengendalikan emosinya. Inilah salah satu alasan mengapa dirinya harus mengembalikan hadiah mahaldari Lana. Orang kaya seperti Lana suka berbuat semaunya tanpa mempedulikan perasaan dan kepentingan orang lain. Dan sekarang, apa yang ada di pikirannya terbukti dengan kehadiran Lana yang tiba-tiba, mengacaukan jam kerjanya.

"Dapa?" Salah seorang teman Furi datang menghampiri sambil memakai jas hujan.

"Tolong gantikan sebentar." Furi memberi isyarat dengan lirikan matanya ke arah Lana dan temannya pun langsung paham.

"Oke, hajar aja." Dia mengedipkan sebelah matanya ke arah Furi dengan raut wajah meledek."Dia cantik banget, kan. Sayang kalau dilewatkan gitu aja."

"Jan ngaco, Woy!" Furi memukul lengan temannya itu, kemudian menyusul Lana yang sudah berdiri di luar pos dengan sikap keras kepala. Ia berdiri di hadapan gadis itu dengan tangan di pinggang.

"Kenapa kamu kembalikan jam tangannya?" Lana bertanya tanpa basa-basi.

Furi sudah menduga bahwa Lana pasti menanyakan hal itu dan dia pun sudah menyiapkan jawabannya. "Jam itu tidak cocok untuk saya."

"Apa kamu sudah mencobanya?"

"Belum, tapi-"

"Coba saja dulu, kalau memang tidak cocok, nanti aku tukar dengan model lain."

Furi tidak menjawab. Tatapannya tertuju ke arah bibir Lana yang mulai membiru karena kedinginan. Hatinya berdesir melihat itu. Ia pun mendesah pelan.

"Tunggu sebentar," ujarnya kemudian sambil melangkah masuk ke dalam pos.

Lana menatap kepergian Furi dengan perasaan tak keruan, tetapi karena Furi memintanya menunggu, ia pun tetap bertahan di sana meski sopirnya sudah turun dari mobil sambil membawa payung dan meminta agar ia masuk ke dalam mobil.

Tepat saat itu Furi kembali sambil membawa sebuah jaket biru dongker berbahan kaus tebal yang sudah pudar warnanya.

"Saya hanya punya ini. Kalau mau, di dalam ada toilet untuk mengganti baju yang basah itu."

Furi ragu untuk menyerahkan jaketnya. Ia tahu Lana anak orang berada dengan segudang fasilitas mewah yang pasti selalu tersedia untuknya, sementara jaket lusuhnya tak akan lebih baik dari keset di rumah gadis itu. Namun, ia tetap menawarkan jaket lusuh itu karena tidak sampai hati melihat Lana menggigil kedinginan.

"Non, di bagasi ada-"

"Aku pakai," ucap Lana cepat sambil meraih jaket di tangan Furi, memotong perkataan sopirnya.

Lana tahu sopirnya hendak berkata bahwa di bagasi ada persediaan baju ganti untuknya. Akan tetapi, ia tak bisa melewatkan perhatian Furi begitu saja. Entah mengapa perhatian sepele itu terasa begitu berarti untuknya.

"Di mana toiletnya?" Lana bertanya sambil memberi isyarat dengan kedipan mata agar sopirnya kembali ke mobil.

"Di dalam." Furi tersenyum ke arah sopir Lana dengan sikap tak enak hati. Dan ketika sopir Lana hanya mengangguk pasrah, ia pun meminta Lana mengikutinya ke dalam.

Obrolan dan tawa di dalam pos seketika berhenti ketika Furi dan Lana masuk.

"Cieeee ... Ada yang bawa ceweknya, nih."

"Kenalin napa, Fur."

"Bening amat, nemu di mana, Fur?"

Berbagai celetukan itu membuat Lana takut. Ia tidak menyangka bila di dalam pos itu ternyata ada begitu banyak lelaki. Secara spontan, ia menarik lengan Furi memeluknya erat seolah lengan itu bisa memberikan perlindungan padanya.

"Abaikan saja. Mereka memang suka begitu, tapi sebenarnya mereka orang-orang baik, kok." Furi menenangkan Lana. Ia terus berjalan  dengan Lana yang memegang erat lengannya dan berhenti tepat di depan toilet. 

"Ehh, pintu toiletnya sedikit rusak, jadi, tidak bisa dikunci dari dalam."

"Lalu?" Lana menatap Furi dengan raut polos, membuat pemuda itu menelan ludah dengan susah payah. Apalagi ketika melihat baju seragam Lana yang basah menempel di tubuh gadis itu, menampilkan lekuk dan bentuk tubuhnya dengan sangat jelas.

Furi buru-buru memalingkan wajah dari dada Lana. "Aku akan menjaga dan menahan pintu itu dari luar. Kamu bisa ganti bajumu di dalam. Itu, kalau kamu percaya padaku atau mungkin aku panggilkan saja sopirmu untuk menjaga?"

"Nggak usah." Lana menahan lengan Furi yang sudah siap berbalik badan. "Aku percaya, kok."

Lana pun langsung masuk ke dalam toilet tanpa menunggu jawaban Furi. Ia percaya bahwa pemuda itu akan menjaganya. Meski baru berkenalan, tapi Lana yakin sekali jika Furi adalah orang yang baik, jujur, dan tidak suka memanfaatkan situasi. Itu semua terbukti saat Furi mengembalikan Rolex pemberian darinya.

Selepas berganti baju, Lana keluar dari kamar mandi membawa bajunya yang basah.

"Sepertinya kebesaran. Aku Carikan pinjaman jaket yang lebih kecil." Furi berkata sambil menyodorkan tas kresek untuk tempat baju basah Lana.

"Enggak usah." Lana menahan Furi. "Aku suka ini. Makasih, ya."

Lana menerima kresek dari tangan Furi sambil memasang senyum manis. Lalu, ia berusaha memasukkan bajunya yang basah ke dalam kresek. Namun, karena kresek itu kecil dan ia memaksa semua bajunya untuk masuk, akhirnya kresek itu pun robek, membuat bajunya berhamburan di lantai.

"Aduh!" Lana yang sudah siap membungkuk untuk memunguti bajunya, ketika ia tahu bahwa bra yang juga ia lepas jatuh tepat di kaki Furi.

Gerakan tubuhnya terhenti seketika dengan posisi setengah membungkuk. Saat itu, ia berharap bahwa dirinya bisa menghilang atau mungkin bumi menelan tubuhnya daripada harus menanggung malu. Ohh, Tuhan!

Furi mengerutkan dahi melihat Lana diam tak bergerak. Baru saja ia hendak bertanya apa yang terjadi ketika matanya menangkap bayangan benda dengan dua gundukan berwarna pink cerah tergeletak di kakinya.

Furi mengulum senyum, kemudian membungkuk untuk memungut barang pribadi Lana itu dan menyerahkannya pada gadis itu. "Tidak perlu malu. Aku tidak akan membicarakan itu pada siapa pun."

"Kreseknya kekecilan," cicit Lana dengan kepala menunduk dalam.

"Enggak juga. Kalau dilipat rapi pasti muat."

"Dilipat?" Lana mendongak dengan wajah memelas seperti anak kecil yang ketahuan berbuat salah. "Aku tidak bisa."

"Ahh." Furi paham. Lalu, tanpa banyak bicara, ia mengumpulkan baju yang masih berserakan di lantai itu dan melipatnya dengan rapi hingga menjadi potongan kecil, lalu memasukkannya ke dalam kresek.  "Nah, sudah," tambahnya sambil menyerahkan kresek itu kepada Lana.

"Makasih." Lana berkata lirih, masih menunduk.

"Maaf, jaketnya jelek."

"Tidak, kok. Jaketnya bagus. Aku suka."

Furi tersenyum tipis, tetapi ia tidak bisa sepenuhnya memercayai ucapan Lana. Ia hanya diam untuk menghargai basa-basi Lana.

"Sopir kamu masih ada di depan, sebaiknya kamu tidak membuatnya menunggu lebih lama lagi."

Mendengar ucapan Furi, Lana langsung teringat akan tujuannya datang ke tempat itu. Ia maju mendekati Furi. Kepalanya menengadah, menatap laki-laki di hadapannya itu dengan sorot bingung. "Mengapa kamu mengembalikan hadiahnya?"

Furi tidak langsung menjawab. Ia memilih untuk mengamati setiap inci wajah Lana, menyimpan kecantikan itu dalam benaknya. Lana sangat cantik. Sungguh munafik jika dirinya berkata bahwa ia sama sekali tidak tertarik pada Lana, tetapi ia harus sadar diri. Lana bagaikan langit yang berada jauh di atas, sementara dirinya bumi yang tak akan pernah bisa menggapai langit itu.

"Sebaiknya kita ke depan." Furi membalikkan badan, kemudian berjalan lebih dulu ke bagian depan pos jaga. Ia harus menjaga agar kewarasannya tetap terjaga. Berdua saja dengan Lana bisa membuat akal sehatnya berhenti berfungsi dan ia tak mau menyesali apa yang mungkin akan ia lakukan kepada Lana.

"Tunggu!"

Furi tidak menghentikan langkah meski mendengar teriakan Lana. Ia menghampiri sopir Lana yang duduk di bangku batu depan pos dan berkata bahwa  Lana sudah selesai ganti baju dan siap pulang.

Sopir Lana mengangguk, kemudian menyerahkan payung yang tadi ia bawa kepada Furi. "Tolong berikan ini pada Non Lana. Saya bisa dimarahi Ibu sama Bapak kalau sampai Non Lana jatuh sakit nanti."

"Baik, Pak." Furi mengambil alih payung itu, lalu menghampiri Lana yang masih berdiri di pintu pos. "Mari," ujarnya.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku."

"Saya ikhlas."

"Dan aku paling tidak suka mempunyai hutang budi pada siapa pun. Terima saja hadiahnya dan selesai semua."

"Jam itu terlalu mahal. Saya tidak bisa menerimanya."

"Tapi tetap tidak sebanding dengan nyawaku yang sudah kamu selamatkan!"

"Ucapan terima kasih saja sudah cukup."

"Baik. Kalau begitu terima kasih."

Lana berkata dengan suara bergetar, lalu tanpa mengatakan apa pun lagi, ia berlari menembus hujan ke arah mobilnya. Air matanya mengalir deras seiring dengan tusukan yang terasa begitu menyakitkan dalam dadanya.

Ia berharap derasnya hujan bisa sedikit mengobati sakit itu sekaligus mengaburkan air matanya yang mengalir deras. Namun, ternyata Furi pun berhasil menyusulnya, memayungi dirinya, lalu membukakan pintu mobil untuknya. Ia tak kuasa menolak atau mengatakan apa pun. Jadi, ia membiarkan Furi tetap berdiri di samping mobil, memegang payung sampai ia bisa duduk dengan nyaman dalam mobil.

"Selamat tinggal, Lana."

Lana memejamkan matanya dengan erat ketika Furi mengatakan itu. Hatinya teriris perih. Ia tak bisa membalas ucapan itu dengan satu kata pun. Hanya air matanya yang mengalir makin deras yang menggambarkan betapa terluka hatinya oleh hal itu.

Furi tertegun dan terdiam selama beberapa saat. Wajah Lana yang basah air mata membuat hatinya berdenyut nyeri. Tanpa ia sadari tangannya sudah terulur untuk menghapus air mata di wajah cantik itu.

"Sayang sekali jika wajah cantik ini harus dihiasi oleh air mata. Sampai bertemu lagi, Lana." Furi memberikan senyum terbaiknya sebelum kembali menegakkan badan dan langsung menutup pintu mobil Lana.

Setelah mengembalikan payung ke sopir Lana, ia berlari ke tengah jalan untuk menghentikan kendaraan yang melintas agar mobil Lana bisa masuk ke jalan. Hatinya dipenuhi oleh bunga-bunga bermekaran yang membuat senyumnya terus mengembang saya melakukan itu. Apalagi ketika sudut matanya menangkap bayangan Lana yang membuka kaca mobil dan melambai ke arahnya.

Sisa-sisa air mata masih membekas di wajah cantik itu, tapi senyuman yang dilemparkan Lana padanya membuat segala beban berat yang selama ini membebani kehidupannya sedikit menguap.

"Furi!" Lana memanggil. Tangannya melemparkan sebuah kotak berwarna hijau tua yang sempat menjadi perdebatan di antara mereka itu ke arah Furi. Lalu, sebelum Furi sempat melempar kotak itu kembali ke dalam mobil, ia menutup kaca mobil dan meminta sopirnya untuk melaju lebih kencang. Setidaknya, Furi harus membaca pesan baru yang ia sematkan di dalam kotak itu.

'Terima ini atau aku akan terjun ke jurang!'

***