webnovel

Cinta Arrogant Sang Editor

Menjadi editor terbaik di Indonesia ketika usianya dua puluh tahun, membuat Sander Brandt melejit. Muda, kaya dan berkuasa untuk sebuah perusahaan media yang besar. Namun ketika dia berhadapan dengan kenyataan bahwa dirinya ditinggalkan oleh Arinda, cinta yang dianggapnya sejati, hanya karena seorang yang tidak sebanding dengannya. Sander menjadi pribadi yang tidak percaya diri dan penuh luka. Semua itu dia tutupi dengan sikapnya yang arogan dan selalu keras saat berhadapan dengan wanita dan cinta. Sebuah proyek berita dengan nilai besar dan penuh rahasia memaksa Sander keluar dari meja kerjanya dan terjun langsung. Dia menuju ke sebuah desa terpencil untuk mendapatkan berita itu. Tempat itu mempertemukan Sander dengan Wuri. Seorang Bidan yang sedang mengabdikan diri di desa tersebut. Keberhasilan Sander membuat berita itu melejit, malah memberikan masalah pada Wuri dan seluruh penduduk desa. Membuat Wuri terseret ke dalam penjara. Usaha Sander untuk menyelamatkan Wuri justru membuat keduanya jatuh cinta dan mengetahui rahasia kelam masing-masing. Karakter insecure dibalut arogansi yang dipertemukan dengan karakter yang penuh rasa benci dan curiga. Dua orang dari dua profesi dan latar belakang kehidupan yang berbeda untuk jatuh cinta dan melupakan perbedaan. Bisakah dua hati dengan luka masa lalu bersatu dalam cinta? Cinta Arrogant Sang Editor! Silahkan terhubung dengan Author di: FB: Ans Afriana IG: Ans Afriana Tiktok: Ans_Afriana Linkedln: Afriana Setiawan

Ans_Afriana · Urban
Zu wenig Bewertungen
404 Chs

8. Gadis Kecil

Sander baru saja terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara denting piring beradu. Dengan segan dia membuka mata dan melangkah keluar kamar.

"Ratna, kapan kau datang?"

"Selepas maghrib saya tiba di sini. Saya mengetuk pintu beberapa kali, tapi Tuan tidak menjawab. Jadi saya putuskan untuk langsung masuk ke dalam."

Sander melihat penampilan Ratna dari atas ke bawah. Seperti biasa, Ratna mengenakan make up tebal dan kali ini dia memakai baju tidur tipis dengan ukuran jauh di atas paha. Kerutan wajah Sander menandakan bahwa dia tidak senang dengan apa yang dilihatnya.

"Ratna, aku pernah mengatakan padamu, gunakan baju yang wajar saat kau datang ke rumah ini."

"Ta-tapi Tuan, tadi siang anda yang memintaku untuk tinggal malam ini bersama anda." Ratna mulai salah tingkah dengan tatapan Sander yang seolah jijik melihat penampilannya.

"Lalu?"

"La-lalu saya berusaha tampil sebaik mungkin di depan anda malam ini. Anda telah memberikan saya uang dalam jumlah besar. Tentu saya harus,…."

Sander menggosok kepalanya frustasi, "Kau membawa baju lain selain yang kau pakai sekarang?"

Ratna dengan mimik wajah hampir menangis mengangguk perlahan. Tiba-tiba dia merasa sangat malu dengan penampilannya yang terlalu seksi. Semula dia merasa di atas awan karena berpikir Sander menginginkannya dengan meminta Ratna tinggal di rumah itu malam ini

"Ganti bajumu dengan yang lebih layak. Pakailah baju yang sesuai dengan usiamu. Aku akan mandi, setelah aku keluar kamar mandi pastikan kau sudah melakukan apa yang aku minta."

Dengan wajah tertunduk dalam Ratna mematung di tempatnya. Sander yang akan menuju kamar mandi melewatinya begitu saja. Butiran air mata jatuh membasahi wajah Ratna.

Sekilas Sander melirik ke atas meja, melihat beberapa piring telah berisi makanan. Aroma sedap memenuhi ruangan, menyulut rasa lapar. Pandangannya beralih ke jam di dinding, pukul delapan, memang sudah waktunya makan malam.

Sementara Sander masuk ke kamar mandi, Ratna terduduk di kursi.

'Jadi benar yang semua orang katakan tentangku. Bahkan orang sebaik Tuan Sander pun tidak menginginkan aku.' Pikirannya melayang, mengingat perkataan teman dan tetangga yang membuat semangat Ratna hilang begitu saja.

Satu jam kemudian mereka telah menyelesaikan makan malam. Sander dan Ratna duduk di meja makan.

"Ratna, kenapa kau tidak bersekolah?"

"Aku ingin mencari uang, Tuan. Ibu dan adikku membutuhkan uang untuk kehidupan kami."

"Dengan cara?"

"Dengan cara … aku menjadi pegawai Tuan Ganda."

"Tunggu sebentar,"

Sander masuk ke dalam kamar dan kembali keluar dengan sebuah laptop dan kotak hitam kecil sebesar korek api, alat perekam suara.

"Kau tahu apa pekerjaanku?"

Ratna menggeleng gelisah, dia melihat alat-alat di hadapannya tanpa dia mengerti. Ini kali pertama dia melihat alat-alat seperti itu.

"Kau tahu apa ini?" tanya Sander sambil menunjuk laptop yang mulai loading di depannya.

Kembali gadis belia itu menggeleng.

"Kau punya televisi di rumah?"

Sekali lagi Ratna menggeleng. Sander mulai memijat pelipisnya, sejenak terdiam mencari cara untuk menjelaskan pada Ratna.

"Baiklah, aku akan menjelaskan semua padamu nanti. Kita akan berbincang sepanjang malam ini. Kau boleh menyampaikan apa pun dengan bebas dan jawab pertanyaanku secara jujur. Kau mengerti, Ratna?"

Meski bingung dan gugup tapi Ratna mengangguk, untuk kesekian kalinya.

"Ceritakan padaku bagaimana desa ini menurutmu?"

"Aku lahir di desa ini, Tuan. Desa ini menyenangkan, indah dan damai. Sayangnya di desa ini tidak ada banyak uang."

Ketukan-ketukan jari Sander di laptop mulai terdengar seiring dengan penjelasan Ratna. Wajah Sander terlihat sangat serius, dan sebaliknya Ratna mulai merasa nyaman. Selama ini Ratna menyimpan banyak hal dan perasaan tentang hidupnya. Malam ini dia memiliki Sander sebagai orang yang mau membayar mahal untuk mendengarnya.

"Lanjutkan,…!" perintah Sander dingin. Matanya tidak bergeming dari laptop di hadapannya.

"Para pria di Desa ini pergi merantau, sebagian mengirimkan uang dan sebagian lagi hilang tanpa jejak. Mereka tidak pernah kembali. Salah satunya ayahku, kami tidak tahu kemana harus mencari. Yang bisa kami lakukan hanyalah berdoa semoga ayah masih hidup dan baik-baik saja."

"Lalu bagaimana kalian memenuhi kebutuhan hidup?"

"Ibuku seorang petani di perkebunan. Sebagian besar perkebunan di desa ini adalah milik Tuan Ganda. Lalu aku juga menghasilkan uang, meski … tidak setiap minggu aku mendapatkan tamu. Tapi, jika aku mendapatkan tamu maka uang dari menemani tamu dua tiga malam itu akan kami simpan untuk kebutuhan keluarga selama satu bulan."

Suara Ratna mulai bergetar, dia sendiri pun terkejut kenapa suaranya menjadi tercekat di tenggorokan.

"Ambil dua gelas air putih!" perintah Sander pada Ratna untuk memecah ketegangan di antara mereka.

Ratna beringsut dari duduknya menuju meja dapur dan kembali dengan dua air putih di gelas kaca. Sander terlihat sangat serius mengetikkan apa yang baru saja dia dengar dari Ratna di ponselnya.

"Apa maksudmu dengan tamu? Apa yang kau lakukan untuk orang yang kau sebut tamu itu?"

"Ini adalah desa wisata, begitu yang aku tahu sejak kecil dulu. Beberapa tamu datang jika sudah membuat janji dengan tuan Ganda. Kebanyakan mereka adalah pria asing. Anda tahu Tuan? Mereka yang datang ke desa ini pasti membawa banyak uang. Jika kami melayani dengan baik maka selain bayaran dari Tuan Ganda, kami juga akan mendapatkan banyak tips dari para tamu."

Mata Ratna kembali berbinar membayangkan uang yang akan mengalir kekantongnya jika melakukan pekerjaannnya dengan baik.

"Apa saja yang kau lakukan untu para tamu?"

"Sama seperti anda Tuan, menyediakan makanan, mencuci pakaian mereka dan terutama menemani mereka 'tidur'." Kata terakhir Ratna ucapkan dengan sangat lirih, hampir tidak terdengar. Namun berhasil ditangkap dengan baik oleh telinga Sander.

Bersamaan dengan itu, terdengar suara orang mendekat di luar rumah yang mereka tempati. Seceat kilat Sander menyambar tombol lampur dan memadamkannya. Di depan cahaya laptop wajah Sander menatap ke arah Ratna dan memberikan isyarat jari di tangan. Isyarat agar Ratna diam, tidak bersuara.

Mereka mendengar orang di depan rumah mereka berbicara.

"Apakah bayi itu masih hidup?" suara Ganda bertanya pada seseorang.

"Hidup, Tuan. Wuri membawanya ke rumah sakit." Seorang pria menjawabnya.

"Baiklah, biarkan saja dia melakukan apa yang ingin dia lakukan selama itu bisa membuatnya tutup mulut dan berguna untuk desa kita."

"Lalu bagaimana dengan Ratna, Tuan?"

"Ini kesempatan terakhirnya. Kalau Ratna tidak berhasil, bawa saja dia keluar. Berapa pun harga yang mereka minta lepaskan saja."

"Baik Tuan,"

Langkah-langkah kaki dan suara mereka telah mulai beranjak menjauh. Sander melihat Ratna yang bergetar menahan tangis agar tidak bersuara. Air mata telah mengalir deras di pipinya.

Sander menutup laptopya, menarik nafas dan mengusap wajah dengan kedua tangannya.

"Ratna, tidurlah di kamarku. Aku akan tidur di sofa."

"Anda tidak akan tidur bersamaku?"

Sander menggeleng, segilanya Sander dia tidak tertarik dengan gadis kecil seperti Ratna.