webnovel

Teman Curhat

Makanan di atas meja yang terhidang kini hanya tinggal sisa hiasannya dan lemak. Arsyid menahan tawanya melihat piring yang telah kosong. Seira sendiri tampak kekenyangan sambil me-lap bibirnya.

"Nikmat sekali, terima kasih Tuhan," ucap Seira lalu tersenyum.

Asryid mengaminkannya. Dia menurunkan tangan dari wajah, menaruhnya di atas meja. Suasana yang kian malam tak membuat tempat itu sepi, justru semakin ramai pengunjung. Alunan musik yang mengalun terdengar merdu, bercampur dengan celoteh pengunjung.

"Kenyang?" tanya Arsyid setelah mendengar serdawa Seira.

Cewek itu mengangguk, mengiyakan pertanyaan Arsyid yang kembali menahan tawanya. Selalu takjub dengan Seira yang besar makan tapi tidak pernah gemuk sekalipun dia makan saat tengah malam. Mobilisme tubuhnya cukup bagus.

"Kau mau apa lagi? Pulang?" Arsyid kembali bertanya. Melihat Seira kekenyangan seperti itu, dia tahu apa yang akan dilakukan gadis itu.

"Ho'oh. Pulang aja. Males jalan lagi, dah malam," jawab Seira.

Dia adalah calon dokter, tapi gaya makannya selalu sama. Sebenarnya tidak usah heran karena saat Seira sedang kesal dia pasti banyak makan. Tidak ada yang bisa menghentikannya, tapi gaya hidupnya cukup sehat.

"Baiklah." Arsyid mengiyakannya. Dia bangun lebih dulu dari duduknya, melangkah menghampiri Seira lalu mengulurkan tangannya untuk menuntun gadis itu.

Melihatnya di perlakukan seperti itu, Seira persis seperti ibu muda yang sedang hamil. Cara dia menyambut uluran tangan Arsyid dan kemudian bangun dari duduknya, mirip sekali. Seira terkekeh geli begitu menyadarinya. Kemudian mengalihkan pegangannya pada cowok itu

"Terima kasih," ucapnya tanpa melepaskan tangannya dari Arsyid.

Pria itu mengangguk, tersenyum pada Seira lalu mereka pergi dari sana setelah membayar.

Arsyid memperlakukan Seira bak seorang putri, mendengar celotehnya bahkan tertawa kecil ketika ada sesuatu yang lucu. Seira memang lebih terbuka pada Arsyid dibanding pada Alvin.

Mereka meninggalkan tempat itu. Gemintang tampak bersinar terang di langit malam. Seira tak banyak bicara lagi di mobil, pandangannya terfokus pada langit. Tangannya bergerak menurunkan kaca jendela untuk melihat lebih jelas lagi benda langit yang begitu indah dipandang. Orang bilang, bintang bisa dijadikan teman curhat.

"Indah," gumam Seira dengan senyuman di bibirnya. "Kau tahu, bintang bisa dijadikan teman curhat," katanya melirik Arsyid sekilas yang sedang mengemudi.

"Bagaimana bisa?" tanggapnya sedikit tak percaya. Seira selalu mempercayai apapun meskipun hanya mitos. Dia pernah bilang, itu menyenangkan.

Teramat sangat indah sekali ciptaan Tuhan pada semesta. Kelipannya seolah menyapa penghuni bumi. Bagaimana seseorang bisa menjadikan bintang sebagai teman curhat?

"Itu mudah, katakan saja apa yang ingin dikatakan, lihatlah gemintang sampai semua luah rasa dalam dadamu terangkat," katanya tanpa mengalihkan pandangan dari bintang.

Ada bintang yang begitu terang di beberapa sudut langit. Seira tidak begitu paham rasi-nya, tapi selalu mengagumi benda langit yang bersinar itu. Selalu takjub dengan kehadirannya, kadang dia mengikuti jajarannya dengan tangan menggambarnya dengan suka cita, seperti yang sedang dilakukannya sekarang. Tangannya bergerak ke arah langit.

Di tempatnya, Arsyid hanya memperhatikan sesekali. Dia tetap fokus pada jalanan demi keselamatan. Melihat apa yang dilakukan Seira itu menjadi hiburan tersendiri untuknya. Sudah sejak lama mengenal gadis itu, dan hampir setiap melihat bintang selalu berceloteh dengan tangan yang bergerak, mirip sekali dengan anak kecil.

Tiba-tiba raut wajah Arsyid menjadi sendu. Entah apa yang tengah dia pikirkan tapi sepertinya itu berhubungan dengan Seira dan kejadian di lapangan itu. Alvin sepertinya mengetahui sesuatu tapi dia meminta Arsyid untuk diam.

"Ar, kok diem?" teguran dari Seira menyadarkan Arsyid. Rupanya dia melamun. "Kenapa? Ada yang mengganggu pikiranmu?" tanyanya sambil menutupkan jendela mobil dan menatap pria itu.

"Tidak ada. Hanya sedikit stress aja. Aku bentar lagi ngadepin sidang," katanya berkilah. Apa yang dia katakan terlalu jauh dari raut wajahnya.

"Betul juga, sih," Seira menanggapi. Menganggukkan kepalanya pelan. "ck. Bagaimanapun, tetap semangat. Kamu gak bakal lama lagi di kampus, kan, itu adalah hal yang bagus," lanjutnya dengan wajah yang seperti biasa, ceria.

Mobil terus melaju membelah jalanan kota di malam hari. Tampak ramai kendaraan meskipun kian larutnya kegelapan menyapa. Tidak ada yang peduli seberapa gelapnya dunia ketika matahari tak lagi bertugas. Hanya ada gemintang tanpa rembulan malam ini. Tapi mereka yang sudah akrab dengan malam pasti tidak akan melewatkan setiap detiknya.

Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya dan bagaimana hubungan akan terjalin atau justru terputus. Tidak. Untuk malam yang masih berlangsung adalah bagian dari hari ini, dan mungkin esok hari akan berubah lagi apa yang akan terjadi.

Arsyid cukup menikmati kebersamaannya dengan Seira. Lihatlah gadis itu bersenandung riang sambil bermain dengan ponselnya.

"Ra," panggil Arsyid. Ada yang ingin dia katakan.

"Hem?" Seira menyahut, melirik sekilas pria itu lalu kembali pada ponselnya. "Ada apa?' tanyanya ketika Arsyid tak kunjung mengatakan apa-apa lagi. "Arsyid?" Dia menoleh heran. Pria itu selalu begitu, memanggil, bertanya tapi tidak pernah selesai membuat orang lain jengkel dan kesal karenanya.

"Itu, aku lupa," akunya sambil cengengesan tanpa dosa.

Buk!

Pukulan mendarat manis di lengannya.

"Aw!" Arsyid mengaduh saat tangan gemas Seira mencubitnya. "Sakit, Ra," keluhnya tapi gadis itu tampak kesal.

"Kau memang selalu mengelin, Arsyid! Cuma manggil doang tanpa jelasin apa-apa. Siapa yang gak dongkol coba," cerocosnya kesal. Beberapa kali Seira memberengut, menatap Arsyid sekilas dan melipat kedua tangannya di dada.

Tidak ada pembelaan dari Arsyid. Pria itu hanya menggeleng, tertawa kecil, merasa lucu dengan tingkah gadis itu meskipun ya, Arsyid akui bila sudah marah Seira pasti akan menjadi buas.

Hening. Tampaknya perjalanan masih jauh untuk mereka sampai di tujuan. Arsyid tak mengindahkan Seira yang masih tampak kesal.

"Sorry, Ra. Tadi mau ada yang disampein, sungguh. Tapi kemudian lupa, makanya enggak jadi," jelas Arsyid tanpa melirik gadis itu yang memilih bungkam.

"Kau senang, ya mempermainkan aku. Kau tahu, aku benci rahasia," kata Seira ketus. Arsyid mengangguk. Ya dia tahu. Tapi dia harus melakukan itu supaya Seira baik-baik saja. Arsyid sendiri bimbang apa yang harus dia lakukan.

Seira memalingkan wajahnya, enggan melihat Arsyid. Selalu begitu, emosinya sering naik turun ketika dengan pria itu. Entah apa yang akan terjadi kedepannya, esok atau lusa, bahkan setelah mereka tiba di rumah Seira. Bisakah Arsyid mengembalikan mood gadis itu atau tetap membiarkannya seperti itu sampai waktunya tepat ketika dia harus memberitahu Seira.

Mobil melambat saat mereka tiba di kompleks rumah Seira. Arsyid menghentikan mobilnya menunggu gerbang dibuka. Dia memberitahu penjaga lebih dulu kalau Seira yang palang.

"Aku turun di sini," ujar Seira dingin. Arsyid menatapnya tanpa bisa menghentikan. Dia sendiri kebingungan.

Seira melepas sabuk pengamannya, mengambil tas lalu bersiap untuk turun tapi Arsyid menahan tangannya sebelum Seira membuka pintu mobil.

"Maaf. Aku sedang tidak baik saja," katanya.

Pandangan Seira lurus pada tatapan Arsyid mencari kebohongan dari sana dan dia terdiam.

"Tak apa. Ini sudah biasa. Tapi kuharap, kau tak mempermainkanku lagi, Arsyid."

Diam. Tidak ada kata dari pria itu. Dia kemudian mengangguk kecil.

"Baiklah. Aku turun. Hati-hati mengemudinya," pesan Seira. Arsyid mengangguk.

Gadis itu turun dari mobil, berjalan meninggalkan Arsyid tanpa menoleh. Meninggalkan sesak di dadanya.

"Kenapa begitu berat untuk memberitahumu?" gumamnya serak.