Mungkin karena aku yang tak dapat bercerita tentang apa saja kepadamu kala itu. Bukan karena aku tak mau lagi bersenandu kata denganmu, namun rasa sakit ini terlalu menyayat seluruh raga hingga mampu membungkam bibir dan menguras banyak sekali jeritan dalam hati. Dari situ aku tidak terlalu peduli dengan hiruk pikuknya sudut kota yang saat ini kita singgahi dan lalu lalang manusia yang tak satu dua mata yang melihat kita hanya membisu tak sekata. Matamu kian melemah tak bisa tajam seperti biasanya, alismu mengerut tanda berfikir keras ini harus disudahi atau tidak, tanganmu mengepal seperti menghantam sesuatu namun harus kamu tahan. Bertarung hebat antara logika dan perasaan, jika untuk kedepannya kita saling memberatkan, lebih baik lepaskan. Karena suatu hal yang selalu dipaksakan itu tidak sangat baik. Pintaku hanya satu, kamu harus bahagia tanpa direnggut waktu, sekali pun tanpa diriku.
Usai, namun tak ingin selesai. Adalah kita sepasang kekasih yang selalu meributkan suatu hal kecil namun berujung isak tangis. Saling merindukan namun tak saling berpelukan. Kita adalah sepasang kekasih yang selalu jadi tontonan favorit para semesta, selalu melontarkan kata seolah akan berpisah selamanya namun tak ada jeda untuk bertemu.
Sudut kota yang semakin menggerlapkan cahaya bulan, kita yang selalu takut kehilangan namun juga selalu nekat untuk saling melepaskan. Pada akhirnya kita kembali lagi seperti sedia kala. Namun saat ini mungkin akan berbeda, kali ini memang harusnya saling melepaskan. Tak ada lagi alasan untuk kita berpelukan seperti sebelumnya. Baik aku dan kamu, melupakan itu adalah harus. Untuk terus itu tidak mungkin lagi jadi hal yang serius.
10/09/22 — Frizka Anggraini