webnovel

CATATAN KELAM

Adelia Putri Danis. Anak yatim piatu yang memiliki kelebihan khusus, terjebak dalam kasus penyiksaan gadis-gadis muda oleh sosok yang mereka sebut, 'Si Perobek Mulut'. Korbannya tak pernah tahu apa salah mereka, bahkan tak ditemukan tanda-tanda kekerasan seksual yang selalu dikhawatirkan. Hanya ... mulut yang robek! Mampukah Adel memecahkan misteri si Perobek Mulut? Siapa sosok itu sebenarnya? Dan siapa hantu anak kecil yang selalu mengikuti Adel?

Rachma_Nurlela · Teenager
Zu wenig Bewertungen
28 Chs

Part 4. Hantu Anak Kecil

Paginya mereka bangun kesiangan, Adel tak sempat sarapan. Diandra masuk shift siang, jadi masih ada waktu untuk mengisi perut setelah mengantar Adel. Tiba di sekolahan, gerbang sudah mulai ditutup, namun berkat negosiasi Diandra dan seorang wali kelas, Adel di izinkan masuk dan mengikuti upacara bendera yang akan segera di mulai.

"Ssttt ... kenapa telat?" bisik Zahra di samping Adel yang ngos-ngosan.

"Bangun kesiangan. Nanti aku ceritain, deh," balas Adel sambil merapikan dasinya yang miring. Zahra mengacungkan jempolnya.

Selesai upacara, Adel memegangi perutnya yang melilit. Tak sempat sarapan dan dijemur 30 menitan membuat ia nyaris pingsan.

"Nggak sempat sarapan, ya? Nih makan rotiku, buruan sebelum guru datang," ujar Zahra menjejalkan sebungkus roti ke genggaman Adel. Gadis itu pun makan dalam tiga kali gigitan.

"Minum ... ," gumamnya kepayahan. Zahra terkikik, lalu memberikan sekotak susu coklat.

"Alhamdulillah, kenyang," desah Adel tersenyum. "Makasih, Ra. Hehe,"

Adel mengikuti pelajaran dengan tenang. Ia melupakan kejadian tadi malam dan fokus belajar. Pelajaran jam ini mengenal nama-nama provinsi di Indonesia. Saat guru mengatakan pulau Jawa, darah Adel berdesir. Ia teringat aksara jawa yang baru saja dipelajari. Pesan itu pun berdengung di telinganya.

Tiba-tiba susana kelas mendadak ramai. Bisikan-bisikan aneh muncul, hawa di ruangan pun terasa panas dan pengap. Adel mengedarkan pandangan, semua teman-temannya tak ada yang bersuara. Semua tekun mendengarkan penjelasan guru. Lalu siapa tadi yang berbisik?

Ia beralih ke pojok ruangan, di bangku paling belakang yang kosong. Sosok itu! Anak kecil berwajah muram dengan luka jeratan di leher, memandangnya dengan tatapan kosong.

Adel berpaling. Ia tidak ingin menatap matanya yang seolah meminta pertolongan. Namun kini sosok itu di dekatnya, di sebelah kiri mengahadap langsung ke telinganya.

'To ... long ... ka ... kakku,' bisiknya lirih. Adel merasakan hawa dingin meniup daun telinga.

'Jangan mendekat,' gumam Adel nyaris berteriak.

'To..long ... .' Sosok itu makin mendekatkan bibirnya yang hitam dan kering. Adel merasa hal seperti tadi malam akan terulang. Ia merasa seluruh energi menguap, meluruhkan sendi-sendi di tubuh dan menyesakkan paru-paru.

"Jangan ...!"

Tubuhnya ambruk seiring teriakan nyaring yang membuat seisi kelas gaduh. Guru yang sedang menghapus papan tulis langsung membopongnya ke UKS.

"Bu, biar Zahra temani Adel, ya," pinta Zahra prihatin.

"Baiklah. Kamu kemasi dulu barang-barang kalian, masukkan tas. Lalu susul ibu ke UKS."

Zahra mengelap keringat di dahi Adel. Penjaga UKS mengoleskan minyak angin di tengkuk dan belakang telinganya. Lima menit kemudian ada respon, Adel menggetarkan bibirnya.

"Del, Adel ... ," panggil Zahra. Adel membuka matanya dengan ragu.

"Kenapa? Masih laper ya?" bisik Zahra.

Adel menggeleng pelan. Ia mengedarkan pandangan kesekeliling ruangan.

"Syukurlah," gumamnya. Zahra semakin bingung.

"Ada apa, Del?" desak Zahra penasaran.

"Nanti dulu, tunggu penjaga UKS keluar," bisik Adel. Zahra menautkan alisnya.

"Nah, kamu sudah sadar? Kalau gitu ibu ke ruang guru dulu. Jangan lupa tehnya diminum," pamit guru penjaga UKS. Mereka mengangguk serempak.

Adel pun menyuruh Zahra mendekat. Ia membisikkan sesuatu.

"Apa? Jadi kamu bisa liat gituan?" seru Zahra tertahan. Adel mengangguk. Tapi ia tidak menceritakan kapan mulai bertemu hantu anak kecil yang mengikutinya. Mungkin belum sekarang.

"Kakekku guru ngaji. Kalau kamu mau, kita tanya yuk kenapa kamu bisa begitu," ajak Zahra.

"Ya sudah, nanti aku bilang tante Dian dulu kalau mau main ke rumahmu. Aku mau di jemput nanti malam saja bareng pulang kerja. Takut di rumah," keluh Adel. Zahra menepuk punggungnya.

"Tapi ... di sini bagaimana? Apa ada sesuatu?" Zahra mengedarkan pandangan ke ruangan UKS. Bahkan kolong tempat tidur pun ia intip dengan penasaran.

"Nggak ada yang seram," tukas Adel.

"Serius?"

"Hmm, ada mbak-mbak berwajah sendu. Tapi ia terlihat seperti orang biasa yang pucat. Matanya mengarah ke ruang kelas kita," ucap Adel lirih.

"Dimana?" Zahra celingak-celinguk sambil menggenggam ujung sprei.

"Sekarang di belakangmu."

Zahra pun melompat ke ranjang tempat Adel berbaring.

**

Diandra menerima pesan dari ibunya Zahra, Adel akan di sana sampai dirinya pulang kerja. Ia menghela nafas lega, karena sejak tadi memang kepikiran Adel jika harus menunggunya pulang kerja di rumah sendirian.

"Kenapa, Di?" Sekar membuyarkan lamunannya.

"Nggak apa-apa. Keponakanku mau main ke rumah temannya. Yah, aku kasihan sebenarnya kalau kerja gini, ia sering di rumah sendirian."

"Tapi kamu hebat, loh. Bisa ngasuh anak kecil gitu sambil kerja," puji Sekar. Diandra tersenyum kecut.

"Mau gimana lagi? Cuma aku keluarga satu-satunya. Dan aku pun hanya punya dia."

Mereka kembali sibuk melayani pembeli yang mengantri tanpa henti. Swalayan satu-satunya di kota itu memang selalu ramai. Selain menyediakan harga grosir, ada arena bermain anak yang cukup luas. Diandra langsung nyaman saat pertama kali diterima kerja di sana.

Saat antrian mereda, Diandra merapihkan uang di laci. Sekar pun melakukan hal yang sama.

"Di, aku tuker uang lima ribuan, dong." Sekar mengulurkan dua lembar warna merah.

"Sebentar," sahut Diandra menghitung jumlah uang lima ribuan sebanyak empat puluh lembar. "Cuma ada seratus lima puluh ribu," lanjutnya.

"Ya udah nggak apa-apa."

Saat menerima uang dari Sekar, Diandra melihat tangan gadis itu terluka. Beberapa ada yang di plester.

"Tanganmu kenapa?"

"Ah, cuma kena gunting," tukas Sekar yang langsung menarik tangannya dan melakukan kesibukan lain.

"Gunting?" gumam Diandra heran.

"Mbak ... saya mau bayar," ujar sebuah suara dari antrian. Diandra langsung meraih sekotak sereal, susu dan beberapa bungkus roti lalu men-scannya.

"Totalnya enam puluh lima ribu. Eh, Sandra?"

Gadis itu terkejut. Ia pun menyadari kalau kasir tersebut orang yang waktu itu datang ke rumahnya.

"Ah, iya. Mbak kerja di sini?"

"Iya. Kamu nggak sekolah?" Diandra mengamati pakaian Sandra yang hanya mengenakan jaket, celana jeans dan kerudung hitam.

"Nggak. Saya lusa mau pindah ke rumah nenek di Jakarta," jawab Sandra sambil menghitung uang kembalian.

"Loh, kamu mau pindah? Kenapa?"

Sandra tak menjawab, tapi ia memberikan nomor telepon yang dengan tergesa ia tulis di secarik kertas.

"Itu nomor saya. Barangkali keponakan Mbak butuh."

Ia pun pergi dengan mengenakan masker sebelumnya. Diandra menatap gadis itu dengan heran.

Di rumah Zahra.

Adel bersiap berboncengan sepeda dengan teman sebangkunya tersebut. Kedua anak itu akan ke rumah kakek Zahra yang berada di rt lain. Mereka melewati daerah persawahan yang terbentang sepanjang jalan. Beberapa petani sedang beristirahat di gubuk, lainnya mencuci cangkul dan peralatan lain di parit.

Zahra memacu sepedanya dengan tergesa-gesa, selain matahari yang masih terik ia juga tak sabar ingin bertemu kakeknya.

Melewati sebatang pohon kersen, Zahra menghentikan sepedanya. Ia mendengar seseorang memanggil.

"Kakek?"

"Kamu mau kemana? Naik sepeda sambil melamun gitu, kalau nabrak orang gimana?" tegur seorang laki-laki sepuh bercaping.

"Kebetulan banget, Zahra mau ketemu kakek," seru gadis itu sambil menggandeng Adel.

"Hmm ... ada apa?"

Adel melirik Zahra, keduanya pun saling pandang dan sikut-sikutan.

"Itu ... teman Zahra bisa lihat hantu," bisik Zahra ke telinga kakeknya. Laki-laki berjanggut putih itu tidak heran sama sekali.

"Terus?"

"Ih, kakek! Apa nggak bahaya dia begitu? Kasihan tau, tadi pingsan di sekolahan karena ketakutan," seru Zahra. Kakek Ahmad terkekeh melihat raut cucunya yang mendadak kesal.

Adel mencolek pinggang Zahra. Ia dari tadi hanya diam, namun kurang setuju dengan pernyataan Zahra yang menyebut dirinya ketakutan. Tidak. Ia sebenarnya tidak terlalu takut, hanya saja energinya serasa terkuras jika berkomunikasi dengan sosok itu.

"Nama kamu Adel kan?" tanya Kakek Ahmad menatap Adel. Anak itu hanya mengangguk, mungkin Zahra pernah cerita tentang dirinya ke Kakek Ahmad.

"Nggak apa-apa. Kamu bisa hanya belum terbiasa."

"Tapi kenapa setiap kali sosok itu mengajak komunikasi, tenaga Adel hilang? Apa dia jahat?"

Kakek menatap sebentar lalu tersenyum penuh wibawa. "Mereka memiliki aura yang berbeda, tergantung niatnya. Mungkin ada yang ingin minta tolong ke Adel. Berlatihlah untuk tenang dan coba tatap titik tengah dahinya, jangan matanya."

Adel mencoba mencerna kalimat itu, memahaminya dengan lebih sederhana. Tenang dan menatap titik tengah dahinya. Apa bisa?

"Baiklah, nanti Adel coba," gumamnya setengah tak yakin. Kakek tertawa dan mengusap kepalanya.

"Jangan dipaksa. Kalau kamu tak yakin, tutup matamu, tahan nafas. Dia akan hilang dengan sendirinya. Dan ingat, kalau bisa jangan terlalu terlibat dengan mereka."

Zahra mendengarkan percakapan mereka dengan bergidik. Ia tak menyangka Adel bisa melihat hal-hal mengerikan yang bahkan ia sendiri tidak sanggup membayangkan.

"Pulang, yuk," bisik Adel menyenggol lengan Zahra.

"Ya sudah. Kami pulang dulu, Kek. Nanti kalau ada apa-apa boleh kan, Adel minta tolong Kakek?" pamit Zahra sambil melirik Adel.

"Loh, nggak main ke rumah dulu?"

"Kapan-kapan saja, Kek," sahut Adel buru-buru. Ia pun menarik tangan Zahra sebelum kemudian menyalami Kakek Ahmad dan kembali pulang berboncengan sepeda.

**

Diandra memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Ia baru saja mendapat kabar dari ibunya Zahra, Adel pingsan di kamar mandi.

"Duh, kenapa lagi dengan anak itu?" batinnya cemas. Ia tiba di rumah Zahra dengan wajah kalut.

"Del ... kenapa?" bisiknya saat melihat Adel terbaring lemas di kamar Zahra.

Adel mengerling, memberi kode agar segera membawanya pulang. Diandra buru-buru mengemasi barang-barang Adel dan menuntunnya keluar.

"Bu, makasih banyak ya sudah menampung Adel seharian ini. Maaf banyak merepotkan," ujar Diandra canggung.

"Nggak apa-apa, Mbak. Saya senang Adel di sini. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan-sungkan hubungi kami, ya." Ibunya Zahra tersenyum. Zahra memandang Adel dengan cemas.

"Kamu yakin nggak apa-apa, Del?" bisiknya menggamit lengan Adel.

"Iya. Aku pulang dulu ya," balas Adel yakin. Zahra mengangguk.

Tiba di rumah, Diandra merebus air untuk minum dan cuci muka Adel. Anak itu duduk di meja makan sambil meletakkan kepalanya di bibir meja.

"Sebenarnya ada apa?" tanya Diandra penasaran.

"Tadi aku ketemu hantu anak kecil itu lagi, di kelas. Dan setelah dipikir-pikir, ternyata ia muncul tiap kali aku memikirkan soal pesan dalam aksara jawa itu," ucap Adel serius. Diandra tertegun.

"Adel masih nggak kuat sama energinya. Kata Kakek Ahmad, Adel harus menatap titik tengah di dahinya. Tadi di kamar mandi Zahra, Adel coba lakuin itu. Tapi ...."

"Kakek Ahmad? Siapa dia?"

"Eh, itu ... Kakeknya Zahra. Tadi Zahra yang ngajak kesana buat tanya-tanya."

Diandra memijit kepalanya yang pening. Ia tidak ingin keponakannya terlibat dengan sesuatu yang membahayakan.

"Tante ...." panggil Adel lirih namun nadanya sangat serius.

"Hmm ...."

"Adel berhasil melihat masa lalu hantu anak kecil itu. Dia ... bunuh diri diusia 6 tahun, tepatnya setahun yang lalu."

Diandra melompat dari tempat duduknya. Suara ketel yang menjerit membuatnya terkejut. Air sudah mendidih. Ia segera menyeduh teh dan menuang sisanya ke dalam ember kecil.

"Cuci muka dan jangan pikirkan apapun," perintahnya. Adel beranjak dengan malas.

Setelah Adel selesai, Diandra segera membersihkan diri dan menyusul anak itu di kamar. Adel sedang menyiapkan buku pelajaran untuk besok.

"Del ... tadi kamu bilang hantu anak kecil itu bunuh diri. Kenapa?"

Adel memejamkan matanya. Berusaha mengingat sesuatu, namun buntu.

"Entahlah. Adel baru tahu sampai di situ. Karena auranya belum bisa ternetralisir seluruhnya. Adel belum cukup kuat."

Diandra menghela nafas, mengoles minyak angin ke pelipisnya yang memanas. Ditatapnya gadis itu dengan bimbang.

"Del, kamu yakin nggak apa-apa?"

Adel mengangguk. Tangannya meraih kertas berisi pesan aneh itu, namun urung. Sudah terlalu malam, pikirnya.

"Oh ya, tadi tante ketemu sama Sandra di toko. Ternyata dia mau pindah."

"Pindah? Kenapa?" Adel menatap Diandra.

"Entahlah. Dia menitipkan ini." Diandra mengulurkan secarik kertas berisi nomor telepon gadis itu. Adel menyimpannya ke dalam lipatan buku.

"Terus ada yang aneh dengan Sekar ...."

"Sekar? Teman tante yang dari Jogja?" potong Adel antusias. "Dia kenapa?"

"Tangannya ... ada luka. Katanya kena gunting. Ah, lupakan. Gara-gara masalah ini tante jadi parno, kan." Diandra menggeleng. Tapi Adel terlihat serius mencatat apa yang Diandra katakan.

"Tante tahu alamat Sekar? Eh, Mbak Sekar?"

"Buat apa? Jangan aneh-aneh, ya. Tante cuma khawatir, terbawa suasana teror perobek mulut itu," tukas Diandra kesal.

Adel nyengir. Tapi ia seperti menemukan titik terang. Ia harus melakukan sesuatu.

***