webnovel

Castilia Academy

••• Sebuah anak panah melesat cepat ke arah seorang gadis tanpa dapat dicegah pemuda itu, anak panah itu menggores lengan kiri sang gadis membuat luka sayatan menganga di sana. Sang gadis membuka matanya, ia meringis sambil memegangi lengannya yang terkena panah, bermaksud menutupi lukanya agar darah tidak keluar lebih banyak lagi. "Kau tak apa?" tanya pemuda itu masih melempari bola api dari tangannya. "Aku ... tak apa," kata sang gadis sambil merintih. "Awas!" seru pemuda itu saat melihat sebuah anak panah meluncur ke arah sang gadis yang saat ini terduduk di tanah. Gadis itu hanya mampu menutup matanya rapat, saat anak panah itu mengarah padanya. •••••

sasco_ryder · Fantasie
Zu wenig Bewertungen
7 Chs

Part 4 - Lauren

Kegiatan di academy telah berlangsung sekitar satu jam yang lalu, Miss Anne yang menjabat sebagai ketua Dewan Academy mempunyai tugas yang menumpuk.

Mr Liam sebagai wakil ketua tidak membantu banyak, karena ia terlalu sibuk mengurus kelas strategi di tingkat menengah dan atas.

"Huh, kapan ini selesai? Aku ingin melihat Maggie," gumamnya.

Melihat meja kerjanya yang berantakan, keinginan dirinya untuk melihat kondisi Maggie sepertinya tidak akan terlaksana dalam waktu dekat ini. Mungkin beberapa jam lagi.

Sedangkan di depan gerbang academy, berdiri seseorang dengan memakai jubah berwarna cokelat yang menutupi seluruh tubuhnya.

Penjaga berusaha menghalangi langkahnya, tapi dengan mudah ia lolos. Ia langsung menghilang begitu tahu ia akan tertangkap, penjaga itu bingung harus apa.

Bagaimana bisa penyusup menghilang dalam sekali kedipan mata?

Sosok itu tiba-tiba muncul di depan ruang Dewan Academy, langkahnya pelan tapi tegas. Begitu pintu terbuka, terlihat Miss Anne yang terkejut oleh kunjungan dari tamu tak terduga.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Miss Anne masih terkejut.

"Apa kau tidak merindukan aku?"

Sosok itu berjalan ke depan, memperkecil jaraknya dengan Miss Anne. Setelah itu tudung yang sedari tadi menutupi kepalanya ia singkap hingga terlihatlah wajahnya.

Rambut hitam legam yang panjang, bola mata berwarna ungu yang dipayungi bulu mata lentik. Tidak mungkin Miss Anne lupa.

"Lauren! Bagaimana kau bisa sampai sini? Jangan bilang kau menyusup?" Miss Anne menatap tajam orang di depannya.

"Ah, aku tidak menyusup. Buktinya aku lewat gerbang depan, tapi penjaga di depan tidak membolehkan aku masuk, jadi aku teleport saja ke sini," jawab Lauren santai.

Mendengar perkataan Lauren membuat Miss Anne memijat pelipisnya, pening. Mereka sudah sekian lama tidak berjumpa, tapi kelakuannya sama sekali tidak berubah.

"Ada apa kau datang ke sini jauh-jauh dari Zallakah? Apa ada berita penting?"

Lauren duduk tanpa disuruh, tergambar raut serius di wajahnya. "Aku mendapat ramalan," ucapnya langsung ke inti pembicaraan. "Tapi, bisakah kau suruh penjaga itu pergi dari depan pintu?"

Sontak Miss Anne menoleh ke arah pintu, di sana berdiri seorang penjaga. Sepertinya ia akan melaporkan jika ada penyusup, dan penyusupnya sekarang telah duduk di depannya.

"Kau bisa pergi penjaga, ia tamuku," perintahnya.

Sang penjaga lalu membungkuk hormat dan segera berjalan pergi.

"Kau membuat panik penjaga Lauren," katanya pelan.

"Terserah, oke, kembali ke topik. Aku semalam mendapat ramalan akan ada seseorang, eh, bukan, seorang gadis yang dapat mengendalikan empat element-" Belum selesai Lauren bicara, Miss Anne telah menyambar.

"Apa?! Mustahil!" Miss Anne berucap tak percaya.

"Biarkan aku selesai bicara Anne," kata Lauren ketus.

Miss Anne mengangguk.

"Seorang gadis yang dapat mengendalikan empat element dan gadis itu juga pemilik kalung Crystal." Lauren berhenti, mengambil napas. "Dialah orang yang akan menghentikan Ertogrul, dan berita baiknya dia ada di sini, di Academy."

Syok, Miss Anne sungguh syok mendengar perkataan Lauren. Mana mungkin seorang gadis yang dapat mengendalikan empat element sekaligus. Dan juga kalung Crystal? Bukankah kalung itu hilang sejak kakaknya meninggalkan academy ini?

"Kau harus tahu ini Anne, jika bukan karena ini menyangkut kita semua aku tidak akan mau jauh-jauh datang ke sini. Jadi sebaiknya mulai dari sekarang kau mencari anak itu, agar semua cepat selesai," nasehat Lauren.

"Tapi kenapa baru semalam kau mendapat ramalan ini? Bukan sejak dulu?" tanya Miss Anne penasaran.

Lauren memutar kedua matanya malas, Miss Anne jika sedang bingung memang mengesalkan. Bagaimana tidak, beginian saja ia masih bertanya.

"Hei Anne, jika saja aku bisa, sudah dari dulu aku ingin ramalan seperti ini. Tidak perlu menunggu bertahun-tahun lamanya." Lauren memberengut kesal.

"Ya, kau benar Lauren, lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Kita tidak memiliki petunjuk sama sekali," tanyanya pada Lauren.

"Adakan rapat dengan Dewan Academy, kurasa itu cukup membantu," saran Lauren.

"Itu ide bagus, aku akan memanggil semua anggota Dewan dan meliburkan academy. Kau harus datang Lau."

"Tidak, terima kasih. Aku akan menunggumu di sini," tolaknya.

"Tidak, kau datang bersamaku. Tidak ada penolakan."

"Kalau mereka melihatku bagaimana? Apa yang harus aku lakukan?" Lauren masih berdebat.

"Nanti saat semua anggota sudah datang, kau langsung teleport saja ke ruang rapat," saran Miss Anne.

"Dan langsung membuatku ditangkap. Begitu rencanamu Anne?"

Lauren tidak habis pikir, punya dosa apa ia sampai harus mempunyai sahabat macam Miss Anne ini.

Lauren menghela napas panjang. "Baiklah aku turuti keinginanmu, tapi kau harus menjelaskan kepada mereka tanpa membongkar identitasku."

Miss Anne mengangguk dan mulai menghubungi semua anggota Dewan.

🌷🌷🌷

Semua murid academy tengah sibuk dengan kegiatan di kelas. Maggie yang baru pertama kali melihat sihir tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Miss Camila. Miss Camila adalah guru sihir dasar untuk kelas pemula.

"Baiklah anak-anak, sepertinya pembelajaran kita kali ini harus kita akhiri," jelas Miss Camila.

Seorang gadis mengacungkan tangannya. "Memang kenapa Miss? Bukankah belum saatnya istirahat?" tanya gadis itu.

"Karena anggota Dewan akan mengadakan rapat mendadak, jadi kalian bisa kembali ke asrama sekarang."

Miss Camila keluar kelas, sebagian besar murid langsung membubarkan diri. Maggie sendiri masih membereskan peralatan tulisnya ketika Jessie dan Sofia menghampiri mejanya.

"Kita mau kemana? Kantin atau asrama?" tanya Maggie pada keduanya.

"Asrama saja, aku mau memasak," jawab Jessie.

Ketiganya mulai menapaki lantai marmer menuju asrama, sesekali suara gelak tawa terdengar dari mereka.

Lift terbuka, di dalamnya tidak ada orang. Ketiganya masuk dan Sofia memencet tombol angka empat. Lift terbuka, mereka keluar menuju kamar no 206.

Menghempaskan diri di sofa, mereka masih saling melirik. Jessie membuka suara dengan pertanyaan.

"Maggie, apakah kau sudah tahu tentang murid di sini?"

"Belum, aku belum sempat berkeliling," jawabnya.

"Oh, kau harus tahu yang satu ini. Di Academy ada senior di kelas menengah yang sangat tampan dan kedua temannya juga," kata Jessie dengan semangat.

"Jangan mulai lagi Jessie," kata Sofia memperingati Jessie.

"Diamlah Sofia, aku bicara dengan Maggie."

Sofia memutar kedua matanya bosan.

"Yang paling tampan bernama Conor, rambutnya pirang, matanya berwarna abu-abu. Orangnya cool sekali, badannya tinggi. Tapi sayang sekali Conor itu dingin dan anti terhadap cewek."

Maggie diam, menyimak cerita Jessie.

"Yang kedua adalah Jacob. Tubuhnya atletis sama seperti Conor, ia berambut cokelat dan matanya berwarna cokelat. Untungnya ia ramah kepada semua orang."

Sofia tampak mengantuk di sofanya, menunggu Jessie bercerita tentang lelaki tampan tidak akan membuatnya lelah.

"Dan yang terakhir Louis. Dia memiliki warna rambut sama seperti Jacob, dia memiliki mata hazel. Diantara ketiganya kurasa Louis yang paling bijak," cerita Jessie.

"Sifat mereka sebenarnya berbeda. Conor yang dingin dan tidak mudah disentuh, Jacob yang ramah pada semua, dan Louis yang bijak. Menjadikan mereka saling melengkapi-"

"Jesse, bisakah kau memasak sekarang? Rasanya aku ingin mati karna kelaparan," potong Sofia karna telah lelah mendengar perkataan Jessie.

Dengan wajah ditekuk Jessie melangkahkan kakinya menuju dapur.

Maggie menatap Sofia. "Tidak seharusnya kau begitu Sofia," tegur Maggie.

"Tapi jika tidak dihentikan ia akan terus mengoceh, telingaku sudah panas mendengarnya sedari tadi," kata Sofia.

"Yasudah lah, aku mau ke kamar dulu," pamit Maggie.

Sofia membalas dengan anggukan lalu menyalakan TV.

🌷🌷🌷