webnovel

Castilia Academy

••• Sebuah anak panah melesat cepat ke arah seorang gadis tanpa dapat dicegah pemuda itu, anak panah itu menggores lengan kiri sang gadis membuat luka sayatan menganga di sana. Sang gadis membuka matanya, ia meringis sambil memegangi lengannya yang terkena panah, bermaksud menutupi lukanya agar darah tidak keluar lebih banyak lagi. "Kau tak apa?" tanya pemuda itu masih melempari bola api dari tangannya. "Aku ... tak apa," kata sang gadis sambil merintih. "Awas!" seru pemuda itu saat melihat sebuah anak panah meluncur ke arah sang gadis yang saat ini terduduk di tanah. Gadis itu hanya mampu menutup matanya rapat, saat anak panah itu mengarah padanya. •••••

sasco_ryder · Fantasie
Zu wenig Bewertungen
7 Chs

Part 2 - Hidup Baru

"Itu adalah patnernya, karena kalung Crystal tidak ada. Singa putih hanya mampu melindungimu tanpa bisa melawan musuh, keberadaannya hanya sekedar menyelamatkan sesuatu yang berharga menurut pemiliknya."

Pertahanan Maggie bobol, air matanya sudah menerobos keluar sedari tadi. Papa dan mama mempertaruhkan nyawa untuknya, sedangkan ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia terisak pelan, mengingat wajah orang tuanya.

Miss Anne menenangkan Maggie, mencoba menguatkan walau nyatanya itu tidak membantu banyak.

"Apa mau Tante teruskan?" tanyanya.

Maggie mengangguk sambil menghapus air matanya.

"Ini terakhir, sebenarnya kamu juga penyihir Maggie. Suka tidak suka itulah kenyataannya, Tante harap kamu bisa menerima ini. Jika kamu mau, kamu bisa bersekolah di sini," tawar Miss Anne.

"Terima kasih Tante."

Maggie menghambur ke pelukan Miss Anne, pelukan ini juga hangat, tapi lebih hangat milik mamanya. Dielusnya rambut Maggie dengan rasa sesak memenuhi rongga dadanya, mengapa keluarganya harus mengalami ini?

"Jadi kamu mau sekolah di sini?" tawarnya lagi.

"Iya, Tante, Maggie tidak mau jauh dari Tante." Maggie tersenyum.

"Maggie sudah tahu, kekuatan apa yang Maggie punya?" Miss Anne mengalihkan pembicaraan.

Maggie menggeleng. "Belum, Tan, memang bagaimana caranya agar Maggie tahu?" tanyanya antusias.

"Dulu mama kamu pengendali element, kemungkinan kamu juga," pikir Miss Anne.

"Element? Apa itu?"

"Sihir element adalah sihir yang menggunakan alam sebagai kekuatan. Sihir dasarnya ada lima, ada air, api, tanah, udara dan roh. Kebanyakan orang hanya memiliki satu sihir element, hanya segelintir orang yang mempunyai dua sihir element dan mereka berada di kelas tingkat atas," terang Miss Anne.

"Bolehkah aku tahu, mama punya sihir element apa saja?"

Maggie penasaran, penasaran dengan semua kehidupan orang tuanya di academy selama ini.

"Mama kamu punya dua kalau tidak salah, sepertinya air dan udara." Miss Anne tampak mengingat. "Ya, benar, mama kamu pengendali air dan udara," jawabnya yakin.

"Aku ingin mencoba Tante," rengek Maggie.

"Besok saja, sekarang Tante antar kamu ke kamar asrama kamu. Ini sudah sore, ayo," ajak Miss Anne pada Maggie.

Dengan berat hati Maggie mengikuti langkah Miss Anne menuju asrama tempatnya akan tinggal.

Pa, ma, Maggie sudah pulang. Kalian tenang saja di sana.

Langkah Maggie dan Miss Anne beriringan, mengisi sepi di lorong. Ruang Dewan Academy terletak memisah dari bangunan academy jadi wajar saja jika di sini sepi.

Sesekali mata Maggie meneliti ruang demi ruang yang dilaluinya, bertanya dalam hati kegunaan dari ruang tersebut.

"Maggie, kamu tidak apa-apa jika kamu memiliki teman kamar? Soalnya tidak ada kamar kosong lagi di asrama?" tanya Miss Anne.

"Tidak, tidak apa-apa Tante. Justru Maggie senang punya teman sekamar, jadi Maggie tidak akan kesepian."

Miss Anne mengamati Maggie yang masih terpukau dengan bangunan academy, gadis itu masih polos. Entah takdir apa yang tengah mereka mainkan, rasanya jika Maggie pergi meninggalkan dirinya ia tidak akan rela.

Keluarga terakhirnya, satu-satunya, mana mungkin Miss Anne menempatkan Maggie dalam bahaya? Itu hanya ada pada mimpi terburuknya saja.

"Tante, apa masih jauh asramanya?" Pertanyaan Maggie berhasil memecah lamunan Miss Anne.

"Tidak, di belokan itu kita telah sampai di area asrama. Asrama di sini berada di belakang gedung mengajar, jadi sedikit tersembunyi."

"Nanti aku akan satu asrama dengan siapa Tante?"

Maggie mulai melihat asrama academy yang menjulang dengan empat lantai, dindingnya bercat biru laut. Asrama itu panjangnya dari ujung ke ujung, membuat Maggie terkagum-kagum.

"Nanti kamu tahu sendiri. Ayo Maggie, kamarmu di lantai empat."

Miss Anne membawa Maggie semakin masuk di area asrama, beranda asrama ditumbuhi berbagai macam tumbuhan yang ditata rapi.

Tersadar, Maggie baru menyadari bahwa sejak ia masuk ke area asrama semua mata menuju ke arahnya. Seakan ingin menguliti Maggie, ia lebih memilih meluruskan pandangan matanya ke depan, mengabaikan tatapan penuh tanya murid di sana.

Miss Anne membawanya ke arah lift menuju lantai empat, lift kosong hanya mereka berdua di dalam. Maggie menguatkan diri, ini sudah benar. Ia akan berjuang untuk orang tuanya.

Setelah keluar dari lift, Miss Anne membimbingnya menuju kamar 206. Di sanalah ia akan tinggal.

Miss Anne mengetuk pintu kamar hingga muncul seorang gadis berambut pirang menyambut mereka, sedangkan gadis itu tampak terkejut.

"Miss Anne? Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya setelah tersadar dari rasa terkejutnya.

"Bisakah kami masuk Jessie?" tanya Miss Anne.

"Silahkan."

Miss Anne dan Maggie masuk diikuti gadis bernama Jessie, sedangkan di depan TV seorang gadis berambut hitam tengah menikmati sebuah film dengan saksama.

"Sofia," panggil Jessie.

Gadis yang dipanggil Sofia itu menengok, matanya terbelalak melihat ada Miss Anne di sana.

"M-miss Anne?" tanya Sofia gugup seraya berdiri.

"Santai saja Sofia, saya kemari mau mengantarkan keponakan saya. Ia akan tinggal bersama kalian, apa kalian keberatan?" tanya Miss Anne pada Jessie dan Sofia.

"Tidak," jawab Jessica dan Sofia bersamaan.

"Baiklah, berarti semua beres. Maggie, Tante akan kembali ke kantor, jika ada apa-apa kau tinggal mencariku. Paham?" tanya Miss Anne.

"Baik Miss."

Miss Anne mengangguk puas, ia lalu meninggalkan kamar itu dengan tersenyum sambil sesekali menyapa murid di lorong asrama.

Sepeninggal Miss Anne ruangan itu menjadi sepi, Maggie yang canggung mencoba mencairkan suasana dengan memperkenalkan dirinya.

"Hmm, perkenalkan aku Maggie, maaf mengganggu waktu kalian." Maggie menunduk.

"Hei, aku Jessie dan yang itu Sofia." Jessie memperkenalkan dirinya dan Sofia.

"Hai, aku Sofia. Tidak perlu sungkan sama kami, di sini semua sama. Jadi kemarilah duduk dulu, kau pasti lelah."

Menurut, Maggie melangkah menuju sofa dan meletakkan kopernya disamping sofa.

"Apa kau baru saja datang?" tanya Sofia.

"Iya, baru tadi siang aku sampai," jawab Maggie pelan.

"Maggie, tidak perlu takut. Kami tidak menggigitmu, anggap saja kami teman atau sahabatmu di sini. Kami senang akhirnya mendapat teman baru," jelas Jessie.

"Benar, aku sebenarnya bosan harus bersama dengan Jessie. Kau tahu, kami sudah bersama sejak kecil. Jadi aku sudah bosan melihat wajahnya."

Sofia melanjutkan menonton film dengan wajah santai tanpa mempedulikan Jessie.

"Seharusnya yang lebih bosan aku, harus selalu melihat tingkahmu yang seperti monyet di pohon," balas Jessie bersungut.

"Berarti kau berteman dengan monyet kalau begitu," jawab Sofia tenang.

Jessie membuang muka, kemudian tersadar bahwa mereka tidak berdua lagi. Dilihatnya Maggie yang tersenyum melihat perkengkarannya tadi.

"Ah, maaf Maggie. Sofia memang begitu, menyebalkan," kata Jessie tidak enak hati.

"Tidak apa-apa, aku malah terhibur. Bisakah kalian menunjukkan di mana kamarku? Aku harus menata barangku," pinta Maggie.

"Kamarmu sebelah kanan, yang kiri punya Sofia, sedangkan yang tengah punyaku."

"Baiklah, aku akan menata bajuku dulu. Nanti aku akan menyusul kalian setelah selesai."

Maggie beranjak menuju kamarnya, langkahnya terhenti ketika Sofia memanggil. Ia menengok ke arah Sofia, menunggu gadis berambut hitam itu bicara.

"Jika kau butuh bantuan, bilang saja pada kami. Kami akan membantu," tawar Sofia.

Maggie mengangguk, meneruskan langkahnya yang tertunda.

💐💐💐

Meninggalkan Jessie dan Sofia di ruang depan, Maggie memilih masuk ke kamar barunya. Begitu Maggie masuk, yang terlihat adalah kamar mewah dengan dinding bercat warna peach, ranjang berukuran besar dengan nakas di samping kanan kirinya. Meja belajar yang tidak jauh dari ranjang, sebuah lemari besar dekat dengan meja belajar.

Ternyata setiap kamar mempunyai kamar mandi sendiri, letaknya di sudut ruangan. Jendela yang menghadap hutan belakang academy membuat perasaan Maggie tenang.

Dua puluh menit lamanya Maggie menatap baju, ia kemudian memilih berbaring di ranjang berusaha menghilangkan lelah yang hinggap di tubuhnya. Maggie memejamkan mata menikmati waktunya saat ini, tapi kesadaran Maggie mulai menipis saat kantuk datang menyerangnya.

Sebuah suara ketukan membangunkan Maggie dari tidurnya, ia mengucek mata dan berusaha bangkit. Dengan langkah sempoyongan ia membuka pintu kamar, ia mendapati Jessie ada di depannya.

"Ada apa Jessie?" Maggie menguap.

"Kau baru bangun? Aku ke sini ingin mengajakmu makan malam, aku tadi memasak di dapur karena aku dan Sofia sedang malas menuju ruang makan," jelas Jessie. "Lebih baik kau mandi dulu, aku dan Sofia akan menunggu."

Jessie pergi, segera Maggie masuk kamar dan mandi.

Lima belas menit kemudian Maggie ke luar kamar, ia memakai kaos hitam dan celana jeans selutut. Sesampainya di ruang makan ia sudah melihat Sofia dan Jessie menunggunya.

"Maaf lama," kata Maggie seraya menarik kursi yang kosong.

"Tak apa, lebih baik kita langsung makan," ajak Sofia.

Disela menyantap makanan, mereka saling lempar pertanyaan satu sama lain berusaha untuk menjadi lebih dekat lagi. Suara gelak tawa kadang terdengar, menandakan menghangatnya kedekatan mereka.

"Oh iya, besok kamu satu kelas dengan kami.

Di kelas pemula, kelas pertama adalah kelas Miss Camila, beliau mengajar materi sihir dasar. Dia guru yang baik, ramah kepada muridnya. Sepertinya kamu akan suka dengan Miss Camila," terang Jessie.

"Aku tidak sabar menunggu besok," jawab Maggie antusias.

"Tentu saja, apalagi para senior di kelas menengah dan atas. Mereka tampan," kata Jessie dengan mata berbinar.

"Tutup mulutmu, air liurmu nanti menetes," suruh Sofia.

"Apa kamu? Dasar cewek tidak normal. Di mana-mana kalau cewek bertemu cowok ganteng, mereka pasti senang. Tidak seperti kamu," ucap Jessie sinis.

"Hei, sudah dong. Kita lagi makan," lerai Maggie.

Mereka melanjutkan makan dalam diam, sesekali Jessie dan Sofia saling melirik sinis. Maggie menghela napas panjang, sepertinya tidak mudah berteman dengan mereka berdua. Lihat saja kelakuan mereka, kadang seperti kucing dan anjing. Suka bertengkar.