webnovel

Castilia Academy

••• Sebuah anak panah melesat cepat ke arah seorang gadis tanpa dapat dicegah pemuda itu, anak panah itu menggores lengan kiri sang gadis membuat luka sayatan menganga di sana. Sang gadis membuka matanya, ia meringis sambil memegangi lengannya yang terkena panah, bermaksud menutupi lukanya agar darah tidak keluar lebih banyak lagi. "Kau tak apa?" tanya pemuda itu masih melempari bola api dari tangannya. "Aku ... tak apa," kata sang gadis sambil merintih. "Awas!" seru pemuda itu saat melihat sebuah anak panah meluncur ke arah sang gadis yang saat ini terduduk di tanah. Gadis itu hanya mampu menutup matanya rapat, saat anak panah itu mengarah padanya. •••••

sasco_ryder · Fantasie
Zu wenig Bewertungen
7 Chs

Part 1 - Akhir yang Berujung Awal

Menatap jalanan dengan rasa sesak yang dalam, Maggie berusaha ikhlas. Kepergian orang tuanya memukul telak hatinya, menjatuhkannya ke jurang kegelapan. Rasa kehilangan masih menyelimuti, tapi ia harus bangkit. Kini ia akan pergi menjauh, meninggalkan kota kelahirannya.

Cadisia, aku datang.

🍀🍀🍀

Taksi berhenti tepat di depan gerbang academy, Maggie turun dari taksi dan mengambil kopernya. Taksi menjauh meninggalkannya sendiri di depan gerbang. Sesaat Maggie menatap gerbang dengan perasaan hampa, tujuannya telah hilang, pergi tak akan kembali lagi.

Gerbang perlahan terbuka menampilkan seorang penjaga academy tengah menatapnya penuh selidik.

"Maaf, ada perlu apa?" tanyanya saat melihat Maggie hanya diam.

"Aku ingin bertemu dengan Miss Anne, apakah dia ada?" Suara yang keluar dari mulut Maggie serak, menandakan ia terlalu banyak menangis.

"Miss Anne ada di dalam, mari saya antar," jawab penjaga.

Diseretnya koper itu mengikuti langkah penjaga, pandangannya menyapu area academy. Bangunan tiga lantai, dengan asrama di bagian yang lain. Ruangan-ruangan untuk latihan tampak saat Maggie menyusuri lorong menuju ruang Miss Anne.

Ruang Ketua Dewan Academy.

"Masuklah, beliau di dalam," kata penjaga yang kemudian pamit untuk melanjutkan tugas.

Maggie mengetuk pintu ruang kepala dewan, menanti jawaban dari dalam.

"Masuk."

Dibukanya pintu perlahan, tampak wanita usia kepala tiga tengah sibuk dengan beberapa berkas di tangannya. Wanita itu mendongak, menatap seorang gadis di depannya. Berusaha mengingat siapa gadis itu. Sebuah pekikan lolos dari mulut wanita itu ketika ia teringat.

"Maggie! Kaukah itu?" tanyanya memastikan.

"Benar, Tan," jawab Maggie ragu.

"Kemarilah," katanya, menyuruh Maggie mengikutinya ke sofa di samping meja kerjanya.

Dipeluknya keponakannya itu dengan sayang, sudah lama mereka tidak berjumpa. Rasa senang sekaligus sedih hinggap di hati kedua orang itu, menyadari seseorang yang berharga bagi mereka telah pergi dan tak bisa dicegah lagi. Takdir sudah berjalan, mereka hanya mampu menjalani sesuai peran mereka masing-masing.

"Bagaimana keadaanmu sayang?" tanya Miss Anne sambil membelai rambut cokelat Maggie.

"Kacau, bahkan lebih buruk dari itu." Maggie memaksakan senyumnya.

"Tenang dear, masih ada Tante. Kamu akan aman bersama Tante. Kita memang tidak bisa melupakan mereka, tapi kita harus ikhlas. Kamu juga harus bahagia, agar orang tua kamu ikut bahagia."

"Terima kasih Tante ada untuk Maggie." Dipeluknya sekali lagi keponakannya.

"Tante, sebelum mama pergi, mama bilang ada amanah untuk Tante. Mama bilang aku harus pergi ke Castilia Academy untuk bertemu Tante." Maggie berhenti, berusaha menguatkan hati.

Miss Anne tahu Maggie masih terpukul, terlihat dari pancaran matanya. Kesedihan masih pekat di sana. Dielusnya punggung Maggie, menenangkan.

"Mama bilang, Tante harus bilang yang sejujurnya sama Maggie."

Anne diam, sementara Maggie mengamati.

Menghela napas panjang, Miss Anne akan bicara. Menurutnya ini adalah waktu yang tepat untuk mengungkapkan kebenaran.

Anne menelisik ke dalam mata Maggie, di sana hanya ada kesedihan dan rasa penasaran. Baiklah ini saatnya.

"Apa kamu kuat dear? Ini akan panjang."

Maggie mengangguk mantap.

"Apa kamu tahu ini sekolah apa Maggie?" Maggie menggeleng.

"Ini sekolah sihir, di sini semua siswa dan guru yang mengajar memiliki kekuatan. Mereka semua penyihir, termasuk Tante." Miss Anne berhenti sejenak, menilai raut wajah Maggie yang cengo.

"Apa kamu tidak percaya sihir dear?" Maggie diam, tidak sanggup merespon. Terlalu terkejut.

Paham arti tatapan Maggie, Miss Anne menggerakkan tangannya pada kertas yang ada di meja kerjanya. Maggie terbelalak, ia melihat sihir. Pandangannya teralih pada sosok Miss Anne.

"Kamu percaya?" Maggie mengangguk perlahan.

"Kedua orang tua kamu sebenarnya juga seorang penyihir. David dan Emily adalah dua orang yang dulu disegani di sini, tapi mereka memilih kehidupan seperti manusia kebanyakan. Mereka memikirkan anak mereka yang akan terkena bahaya jika mereka masih menetap di sini."

Pandangan Miss Anne menerawang jauh, mengingat masa lalu.

"Dulu Kak Emily adalah Ketua Dewan Academy, tapi semenjak ia memiliki kamu ia berhenti. Mereka berdua menghilang, bersembunyi untuk sementara waktu. Sampai dirasa semua telah aman."

Miss Anne menghela napas berat, mengingat kenangan tentang orang tersayang.

"Beberapa tahun berlalu terasa damai, hingga Argus datang menyerang rumah kalian. David dan Kak Emily lengah saat itu hingga perlindungan mereka melemah. Saat itu juga Argus datang menyerang, membunuh mereka berdua. Argus sebenarnya juga akan membunuhmu, tapi di detik terakhir Emily mengeluarkan patnernya untuk melindungimu."

Maggie bergeming, dadanya kembali sesak mengingat kejadian mengerikan itu terjadi di depan matanya.

"Apa kau melihat singa putih saat Argus akan menyerangmu?" tanya Miss Anne.

"Ya," jawab Maggie parau, berusaha menahan gemuruh air mata yang siap meluncur.